Rational Emotive
Behavior Therapy
Terapi Rasional Emotif diperkenalkan
pertama kalinya oleh seorang klinisi yang bernama Albert Ellis pada tahun 1955.
Pada Awalnya Ellis merupakan seorang psikoanalisis, tetapi kemudian ia
merasakan bahwa psikoanalisis tidak efesien. Ia juga seorang ahli terapi yang
sangat bersebrangan dengan penganut humanistis. Rasional Emotif menolak keras
pandangan psikoanalisis yang mengatakan bahwa pengalaman masa lalu adalah
penyebab gangguan emosional individu. Menurut Ellis (dalam Lubis, 2011) penyebab
gangguan emosional adalah karena pikiran irasional individu dalam menyikapi
pristiwa atau pengalaman yang dilaluinya. Terapi Rasional Emotif dalam perkembangannya
memiliki banyak nama, antara lain: Rational
Therapy, Semantic Therapy, Cognitive Behavior Therapy, dan Rational Behavior Trainning.
Dalam teori konseling, Terapi Rasional Emotif termasuk dalam kategori terapi cognitive behavior (Latipun dalam Lubis,
2011). Selanjutnya, Corey (2009) mengatakan Terapi Rasional Emotif termasuk
dalam kategori terapi cognitive behavior
karena Rasional Emotif lebih menitikberatkan pada proses berpikir, menilai,
memutuskan, menganalisis, dan bertindak. Rasional Emotif didaktif dan direktif
serta lebih banyak berhubungan dengan dimensi pikiran daripada perasaan.
Menurut pandangan Ellis (dalam Lubis,
2011) Rasional Emotif merupakan teori komprehensif karena menangani masalah-
masalah yang berhubungan dengan individu secara keseluruhan yang mencangkup
aspek emosi, kognisi, dan perilaku. Dalam Rasional Emotif masalah yang dimiliki
klien antara lain: kecemasan pada tingkat moderat, gangguan neurosis, gangguan
karakter, masalah psikosomatik, gangguan makan, ketidakmampuan menjalin
hubungan interpersonal, masalah perkawinan, adiksi, dan disfungsi seksual.
Individu yang tidak dapat ditangani Rasional Emotif adalah anak-anak (khususnya
autisme), gangguan mental tingkat bawah, schizhophrenia
jenis katatonik (gangguan penarikan diri berat), dan maniak atau mania-depresif
(Lubis, 2011).
1. Dinamika Kepribadian Manusia
Rasional Emotif
pada hakikatnya memandang manusia dilahirkan dengan potensi baik dan buruk.
Manusia memiliki kemampuan berfikir rasional dan irasional. Selain itu manusia
juga dapat memiliki kecenderungan mempertahankan perilaku yang destruktif dan
melakukan berbagai cara agar tidak terlibat dengan orang lain. Corey (2009)
menegaskan bahwa manusia memiliki potensi yang luar biasa untuk
mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya serta dapat mengubah diri dan
lingkungannya. Perilaku manusia di dorong oleh kebutuhan, hasrat, tuntutan,
keinginan yang ada di dalam dirinya. Bila hal tersebut tidak tercapai manusia
cenderung akan mempersalahkan dirinya dan orang lain. Pandangan Ellis (dalam
Lubis, 2011) terhadap konsep manusia adalah sebagai berikut:
- Manusia mengadaptasikan dirinya terhadap perasaan yang menggangu pribadinya.
- Kecenderungan biologisnya sama dengan kecenderungan kultural yang berpikir salah dan tidak ada gunanya, hanya akan mengecewakan diri sendiri.
- Memiliki kemampuan untuk memilih reaksi yang berbeda dengan yang biasanya ia lakukan.
- Menolak mengecewakan diri sendiri terhadap hal-hal yang akan terjadi.
- Melatih diri sendiri agar mempertahankan diri dari gangguan.
Selanjutnya
Ellis (dalam Lubis, 2011) juga mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi pada
individu akan direaksi sesuai dengan cara berpikir atau sistem kepercayaannya.
Jadi konsekuensi reaksi yang dimunculkan seperti senang, sedih, frustasi dan
sebagainya bukanlah akibat peristiwa yang dialami individu melainkan disebabkan
karena cara berpikirnya.
Menurut Latipun (dalam Lubis, 2011) ada tiga istilah
yang terkait dengan tingkah laku manusia berdasarkan pandangan Rasional Emotif,
yaitu: Antecedent Event (A), Belief (B), dan emotional consequence (C). Istilah ini lebih dikenal dengan konsep
A-B-C. Berikut adalah penjelasannya.
a. Antecedent Event
(A)
Adalah peristiwa, fakta, perilaku, atau
sikap orang lain yang terjadi di dalam maupun luar diri individu. Misalnya,
perceraian orang tua dan kelulusan ujian bagi siswa.
b. Belief (B)
Adalah keyakinan dan nilai individu
terhadap suatu peristiwa. Keyakinan atas dua bagian yaitu: pertama, keyakinan
rasional (rB) yang merupakan keyakinan yang tepat, masuk akal, dan produktif. Kedua,
keyakinan irasional (iB) yang merupakan keyakinan yang salah, tidak masuk akal,
emosional, dan tidak produktif. Keyakinan dapat berasal dari nilai agama, norma
masyarakat, dan aturan orang tua.
c. Emotional Consequence (C)
Adalah konsekuensi emosional baik berupa
senang ataupun hambatan emosi yang diterima individu sebagai akibat reaksi
dalam hubungannya dengan (A). Konsekuensi
emotional ini bukanlah akibat langsung dari A, tetapi juga B baik
dipengaruhi oleh iB maupuan rB individu. Misalnya, sedih, marah, bahagia, dan
bangga.
Setiap individu akan memiliki reaksi yang berbeda
walau menghadapi keadaan atau situasi yang sama. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
keyakinan (B) yang dimilikinya, baik keyakinan rasional (rB) maupun keyakinan irasional
(iB). Reaksi yang berbeda tentu saja akan melahirkan konsekuensi emosional yang
berbeda pula. Dua orang individu yang memiliki keyakinan yang berbeda akan
menyikapi peristiwa tertentu secara berbeda pula. Individu yang memiliki
keyakinan rasional cenderung bereaksi secara normal dan wajar, sementara
individu yang memiliki keyakinan irasional akan cenderung bereaksi secara
spontan dan tidak wajar (Lubis, 2011).
Ellis (dalam Corey, 2009) juga
menambahkan bahwa setelah konsep A-B-C, maka menyusul desputing (D) yang merupakan penerapan metode ilmiah untuk membantu
klien menantang keyakinan irasionalnya. Desputing(D) merupakan implementasi dari proses terapi yang dijalankan oleh terapis dan
klien melalui proses belajar mengajar (edukatif), dimana terapis menunjukkan
berbagai prinsip logika dan dapat diuji kebenarannya untuk menyanggah keyakinan
irasional klien. Ia menyatakan bahwa manusia yang memiliki kemapuan untuk
berpikir seyogianya mampu melatih dirinya untuk mengubah atau menghapus pola
keyakinan yang irasional dalam dirinya.
2. Peran dan Fungsi Terapis
Menurut
Lubis (2011) terapis dalam terapi Rasional Emotif harus meminimalkan hubungan
yang intens tetapi tetap menunjukkan penerimaan diri yang positif terhadap
klien. Terapis harus mendengarkan pernyataan klien dengan sungguh-sungguh dan
menunjukkan empatinya. Mereka perlu memahami keadaan klien sehingga
memungkinkan untuk mengubah cara berpikir klien yang tidak rasional. Mengubah
keyakinan yang telah mengakar dalam diri klien bukanlah sesuatu yang mudah.
Tugas utama seorang terapis adalah mengajari klien cara memahami dan mengubah
diri sehingga terapis disini harus bertindak aktif dan direktif.
Lesmana
(dalam Lubis, 2011) menyebutkan ciri-ciri khusus yang seharusnya menjadi syarat
seorang terapis Rasional Emotif, yaitu: pintar, berwawasan luas, empati,
peduli, konkret, gigih, ilmiah, berminat membantu orang lain dan menggunakan
teori Rasional Emotif dalam kehidupannya. Terapi Rasional Emotif adalah sebuah proses
edukatif karena salah satu tugas terapis adalah mengajarkan dan membenarkan
perilaku klien melalui pengubahan cara berpikir (kognisi) nya. Konselor
bertindak sebagai pendidik yang antara lain memberi tugas pada klien serta
mengajarkan strategi untuk memperkuat proses berpikirnya. Dalam menjalankan
fungsinya tersebut, Ellis (dalam Corey, 2009) memberikan gambaran tentang tugas
terapis, yaitu:
- Mengajak klien untuk berpikir tentang bentuk-bentuk keyakinan irasional yang memengaruhi tingkah laku.
- Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasan irasionalnya.
- Menunjuk ketidaklogisan cara berpikir klien.
- Menggunakan analisis logika untuk meminimalkan keyakinan irasional klien.
- Menunjukkan pada klien bahwa keyakinan irasionalnya adalah penyebab gangguan emosional dan tingkah laku.
- Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi keyakinan irasional klien.
- Menerangkan pada klien bahwa keyakinannya dapat diubah menjadi rasional dan memiliki landasan empiris.
- Mengajarkan pada klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah yang membantunya agar dapat berpikir secara rasional dan meminimalkan keyakinan yang irasional.
3. Tujuan Terapi Rasional Emotif
Secara umum, pandangan
Rasional Emotif memfokuskan diri pada cara berpikir manusia. Hal inilah yang
dijadikan acuan bagi terapis untuk mengubah tingkah lakunya. Tujuan utama yang
dicapai dalam Rasional Emotif adalah memperbaiki dan mengubah sikap individu dengan
cara mengubah cara berpikir dan keyakinan klien yang irasional menuju cara
berpikir yang rasional, sehingga klien dapat meningkatkan kualitas diri dan
kebahagian hidupnya (Lubis, 2011).
Ellis
(dalam Lubis, 2011) menambhakan kembali formula A-B-C menjadi A-B-C-D-E yaitu antecedent, belief, emotional consequence,
desputing, dan effect. Efek
adalah keadaan psikologis yang diharapkan terjadi pada klien setelah menjalani
terapi Rasional Emotif. Melalui terapi, klien diarahkan dapat memiliki dimensi
psikologis yang utuh dan sehat, dapat mengarahkan dirinya ke arah yang positif,
berpikir fleksibel, dan ilmiah serta dapat menerima keadaan dirinya secara
keseluruhan.Willis (dalam Lubis, 2011) mengatakan bahwa tujuan dari terapi
Rasional Emotif adalah untuk menghilangkan gangguan emosional yang dapat
merusak diri (seperti benci, rasa bersalah, cemas, dan marah) serta melatih dan
mendidik klien agar dapat menghadapi kenyataan hidup secara rasional.
Ellis
(dalam Lubis, 2011) mengatakan bahwa Rasional Emotif tidak hanya diarahkan
untuk menghilangkan gejala (simtom), akan tetapi juga membantu klien untuk
mengetahui dan merubah beberapa nilai dasar keyakinan klien terutama yang
menimbulkan gangguan. Sebagai contoh, klien menghadapi masalah takut melakukan
hubungan seksual dengan lawan jenis. Dalam hal ini peran terapis bukan hanya
melakukan pengurangan rasa takut klien melainkan melakukan penanganan atas rasa
takut menjalin hubungan secara umum. Jadi, peran fungsi terapis dalam Rasional
Emotif adalah membebaskan klien dari gejala yang disampaikan atau tidak
disampaikan secara jelas kepada terapis.
4. Teknik Terapi Rasional Emotif
Menurut
Corey (2009) pada dasarnya, terapi Rasional Emotif tidak membatasi diri pada
satu jenis teori tunggal. Terapis dibebaskan untuk menggunakan lebih dari satu
teori (pendekatan eklektik). Hal ini berdasarkan anggapan bahwa klien dapat
mengalami perubahan melalui berbagai macam cara seperti belajar dari pengalaman
sendiri, orang lain, menonton film, berpikir dan meditasi.
Teknik
Rasional Emotif yang paling utama adalah mengajar secara aktif-direktif. Lebih
dari itu, Rasional Emotif juga menekankan proses deduktif yang mengacu pada
aspek kognitif. Dalam keadaan ini, terapis lebih terlihat bertindak sebagai
guru dibandingkan fasilitator bagi klien (Lubis, 2011).
Menurut Ellis (dalam Corey, 2009)
terapis dapat menerapkan metode terapi tingkah laku seperti:
- Pelaksanaan pekerjaan rumah.
- Desentisasi Sistematis.
- Pengkondisian Operan.
- Hipnoterapi.
- Latihan Asertif.
Selain itu, Willis (dalam Lubis, 2011) menyebutkan
beberapa teknik Rasional Emotif lainnya antara lain:
- Sosiodarma, yaitu sandiwara singkat yang menjelaskan masalah-masalah di kehidupan sosial.
- Pencontohan (modelling).
- Teknik reinforcement.
- Relaxation.
- Self-control, yaitu klien diajarkan cara-cara mengendalikan diri dan menahan emosi.
- Diskusi.
- Simulasi, yaitu melalui berperan antara konselor dan klien.
- Bibliografi, yaitu dengan memberikan bahan bacaan tentang orang-orang yang mengalami masalah yang hampir sama dengan klien dan akhirnya dapat mengatasi masalahnya. Atau bahan bacaan yang dapat meningkatkan cara berpikirnya klien agar lebih rasional.
Dalam
terapi, terapis Rasional Emotif menggunakan teknik-teknik yang lebih direktif
dalam menghadapi klien seperti konfrontasi, pembantahan, deindoktrinasi, dan
reedukasi. Ellis (dalam Lubis, 2011) menjelaskan bahwa teknik-teknik yang
bervariasi tersebut dimanfaatkan untuk membantu klien mencapai suatu perubahan
kognitif yang mendasar.
5. Kelemahan dan Kelebihan Terapi Rasional
Emotif
Kelebihan
- Pendekatan ini jelas, mudah dipelajari dan efektif. Kebanyakan klien hanya mengalami sedikit kesulitan dalam mengalami prinsip ataupun terminologi REBT.
- Pendekatan ini dapat dengan mudahnya dikombinasikan dengan teknik tingkah laku lainnya untuk membantu klien mengalami apa yang mereka pelajari lebih jauh lagi.
- Pendekatan ini relatif singkat dan klien dapat melanjutkan penggunaan pendekatan ini secara swa-bantu.
- Pendekatan ini telah menghasilkan banyak literatur dan penelitian untuk klien dan terapis. Hanya sedikit teori lain yang dapat mengembangkan materi biblioterapi seperti ini.
- Pendekatan ini terus-menerus berevolusi selama bertahun-tahun dan teknik-tekniknya telah diperbaiki.
- Pendekatan ini telah dibuktikan efektif dalam merawat gangguan kesehatan mental parah seperti depresi dan kecemasan.
Kelemahan
- Pendekatan ini tidak dapat digunakan secara efektif pada individu yang mempunyai gangguan atau keterbatasan mental, seperti schizophrenia, dan mereka yang mempunyai kelainan pemikiran yang berat.
- Pendekatan ini terlalu diasosiasikan dengan penemunya, Albert Ellis. Banyak individu yang mengalami kesulitan dalam memisahkan teori dari keeksentrikan Ellis.
- Pendekatan ini langsung dan berpotensi membuat terapis terlalu fanatik dan ada kemungkinan tidak merawat klien se-ideal yang semestinya.
- Pendekatan yang menekankan pada perubahan pikiran bukanlah cara yang paling sederhana dalam membantu klien mengubah emosinya.
DAFTAR PUSTAKA
Corey,
Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling
dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama
Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar
Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar