Senin, 01 April 2013

Client Centered Therapy



Client Centered Therapy

                                                          
Hey… we meet again. The big smile and hug for you guys :D
Yesterday, I’ve been disscused about what is psychoanalytic therapy and what is humanistic-existencial approaches, now we will discussing about new materials that still connect to the humanistic-existencial approaches, is “Client Centered Therapy”. Who the pioneer that kind of therapy? Yeah… It’s Carl Rogers. Okey guys, let’s check it out!

Client Centered Therapythat sounds familiar right? Ya, bagi kalangan anak psikologi pasti telah sering mendengar istilah terapi yang sangat populer ini. Bagi yang belum atau baru mengetahuinya, tenang saja saya akan menjelaskannya disini. Client Centered Therapy memiliki istilah lain yang disebut juga dengan Person Centered Therapy, Non-Directive Therapy. Inti dari ketiga istilah itu adalah bahwa jenis terapi ini memusatkan perhatian sepenuhnya pada diri klien. Klien dipandang sebagai orang yang aktif yang dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, klien dapat menemukan pencerahan (insight), sedangkan terapis disini hanya berperan sebagai orang yang mengarahkan, yang membimbing klien agar menemukan pencerahan. Terapis juga hanya memberikan pilihan, sedangkan yang memutuskan adalah klien itu sendiri. Jadi disini terapis berperan secara tidak langsung untuk membantu klien menemukan jalan keluar dari masalahnya.
Berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya, Carl Rogers memiliki atmosfer keluarga yang dikarakterisasikan sebagai keluarga yang hangat dan memiliki hubungan yang dekat tetapi juga memiliki standar agama yang ketat. Kedua orang tuanya beragama protestan yang sangat taat beribadah. Jadi latar belakang keluarganya itu juga ikut mendasari terbentuknya teori yang dikenal sampai sekarang ini. Client Centered Therapy biasanya digunakan untuk masalah-masalah yang ringan sampai sedang. Terapi ini sering digunakan untuk orang yang ingin beraktualisasi diri, yang ingin berkembang menjadi lebih baik lagi, yang ingin mengoptimalkan dirinya. Jadi terapi ini biasanya digunakan oleh orang-orang yang normal yang menginginkan dirinya berubah menjadi lebih baik lagi atau untuk orang-orang yang ingin mengubah hidupnya yang kurang baik menjadi baik. Jarang sekali terapi ini digunakan oleh orang yang memiliki masalah mental atau orang yang abnormal karena caranya tidak tepat untuk menyembuhkan mereka. Sekilas, itulah gambaran umum Client Centered Therapy, sekarang kita akan masuk pada konsep dasar dari teori yang dikembangkan oleh Rogers ini.

Konsep-Konsep Dasar
Struktur Kepribadian

Menurut Hall dan Lindzey (1978) terdapat dua konstruk dasar yang penting pada teori Carl Rogers, yaitu organisme dan the self. Secara psikologis, organisme adalah pusat dari semua pengalaman. Pengalaman termasuk segalanya yang ada secara potensial dalam kesadaran organisme. Semua pengalaman terdapat pada lapangan fenomenal. Lapangan fenomenal adalah kerangka referensi individu yang hanya dapat diketahui oleh orang itu sendiri. Rogers (dalam Hall dan Lindzey, 1978) mengatakan “Hal itu tidak akan bisa diketahui oleh orang lain kecuali dengan cara berempati, dan tidak bisa diketahui dengan sempurna.” Bagaimana individu berperilaku tergantung pada lapangan fenomenologinya (subjective reality) dan bukan pada kondisi yang terstimulasi (external reality). Lapangan fenomenologi tidak identik dengan alam kesadaran (consciousness). Alam sadar adalah simbolisasi dari pengalaman kita. Sedangkan lapangan fenomenologi dibuat dari pengalaman sadar (simbolisasi) dan tak sadar (tidak simbolik). Organisme biasanya membedakan dan bereaksi terhadap pengalaman yang bukan simbolik. Rogers menyebutnya sebagai subception.
  Orang yang berperilaku dengan tidak tepat menunjukkan bahwa pengalamannya tidak disimbolkan dengan benar. Seseorang cenderung memeriksa apakah simbolisasi pengalamannya tidak bertentangan dengan dunia. Pengujian pengalaman terhadap kenyataan tergantung dengan pengetahuannya tentang dunia yang membuat seseorang mampu untuk berperilaku sesuai dengan realitas. Bagaimanapun juga, banyak persepsi yang tidak teruji atau tidak cukup teruji, sehingga menyebabkan perilaku yang tidak realistik dan mengakibatkan diri menjadi rusak. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana seseorang dapat membedakan antara imajinasi subjektif yang tidak sesuai dengan realitas dan yang sesuai dengan realitas. Bagaimana seseorang mampu memisahkan fakta dan fiksi dari dunia subjektif mereka?
Seseorang yang ingin menambahkan garam pada makanannya, bingung ketika dihadapkan pada dua botol kecil yang sama persis bentuknya. Untuk memastikannya, dia berfikir apabila putih berarti garam, apabila agak hitam berarti lada, kemudian dia berfikir bagaimana jika yang putih itu adalah lada putih. Lalu dia mengujinya dengan mencicipinya, apabila asin berarti garam dan apabila pedas berarti lada. Apa yang seseorang alami atau pikirkan biasanya bukanlah realitas bagi orang itu, tetapi lebih kepada dugaan sementara tentang realitas, dimana dugaan tersebut bisa saja salah atau benar. Contoh diatas adalah kondisi yang ideal, dalam kebanyakan kasus seseorang menerima pengalaman mereka sebagai realitas dan gagal menganggapnya sebagai dugaan akan realitas. Akibatnya, seseorang sering mengalami misconceptions (konsepsi yang salah) tentang dirinya dan dunia luar. Rogers (dalam Hall dan Lindzey, 1978) mengatakan bahwa seseorang yang utuh adalah yang benar-benar membuka informasi dari pengalaman internalnya dan pengalaman dunia eksternalnya.
The self adalah bagian dari lapangan fenomenologi yang berangsur-angsur akan berubah. Pernyataan Rogers langsung (dalam Hall dan Lindzey, 1978) menunjukkan bahwa Self atau self concept adalah “The organized, consistent conceptual gestalt composed of perceptions of the characteristic of the ‘I’ or ‘me’ and the perception of the relationship of the ‘I’ or ‘me’ to others and to various aspect of life, together with the values attached to these perceptions. It is a gestalt which is available to awareness though not necessarily in awareness. It is a fluid and changing gestalt, a process, but at any given moment it is a specific entity.” Saya akan mencoba mengartikan sepengetahuan saya, karena di dalam buku Hall dan Lindzey tidak dijelaskan, hanya dikutip saja pernyataan rogers tersebut. Kurang lebih artinya adalah bahwa diri atau konsep diri adalah struktur yang terorganisir, kesatuan konseptual yang konsisten yang berisi persepsi tentang karakteristik ‘I’ atau ‘me’ dan mengenai hubungan ‘I’ atau ‘me’ dengan orang lain serta berbagai macam aspek kehidupan yang terkait dengan nilai-nilai. Diri adalah kesatuan yang ada melalui kesadaran bukan di dalam kesadaran. Hal tersebut merupakan kesatuan yang cair dan dapat berubah-ubah, sebuah proses, tetapi sewaktu-waktu merupakan kesatuan yang spesifik (khusus). Itulah konsep mengenai the self dari Rogers, selanjutnya ia mengatakan bahwa diri itu ambigu dan tanpa makna. Di dalam the self terdapat ideal self (diri ideal) yang mana seseorang ingin menjadi seperti itu.

Organisme dan Diri: Congruence dan Incongruence


Ketika pengalaman simbolik yang membentuk diri mencerminkan pengalaman organisme, maka seseorang itu dapat dikatakan sebagi orang yang dapat beradaptasi, matang, dan berfungsi penuh. Kebanyakan orang yang dapat menerima pengalaman tanpa ancaman dan rasa cemas, ia akan mampu berfikir secara realistik. Adanya incongruence antara the self dan organisme akan membuat individu merasa terancam dan cemas. Mereka akan berperilaku secara defensif dan berfikir secara kaku (tidak fleksibel).
Secara implisit, Rogers (dalam Hall dan Lindzey, 1978) mengatakan bahwa terdapat dua manifestasi dari congruence dan incongruence. Salah satunya adalah kesesuaian antara realitas subjektif (lapangan fenomenologi) dan realitas eksternal (dunia sebagaimana adanya). Manifestasi lainnya adalah tingkat kesesuaian antar self dengan ideal self. Jika terdapat ketidaksesuaian, maka seseorang akan merasa tidak puas atau tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan baik.

Dinamika Kepribadian

Organisme memiliki kecenderungan dasar dan berusaha untuk beraktualisasi, memelihara dan meningkatkan pengalamannya (Rogers dalam Hall and Lindzey, 1978). Aktualisasi ini cenderung selektif, menaruh perhatian pada aspek-aspek lingkungan yang menjanjikan untuk merubah seseorang kearah pemenuhan atau kekosongan. Organisme yang dapat beraktualisasi dengan sendirinya disebabkan oleh keturunan (hereditas). Ia akan menjadi lebih berbeda, lebih meluas, lebih mandiri, dan lebih sosial, hal itu disebut sebagai kematangan.
Rogers menambahkan hal baru dalam konsep pertumbuhannya. Ia mengatakan seseorang tidak dapat beraktualisasi apabila mereka tidak mampu membedakan yang mana merupakan kemajuan dan kemunduran dalam berperilaku. Seseorang harus tahu sebelum dia bisa memilih, tetapi jika mereka tahu, dia akan selalu memilih kearah pertumbuhan bukan kemunduran.

Proses Terapi
A.  Tujuan Terapi 

Menurut Corey (1996) tujuan dari person centered therapy berbeda dari pendekatan lainnya. Fokus terapi ini adalah pada orang, namun bukan hanya pada orang yang memiliki masalah. Dalam pandangan Rogers, hasil terapi tidak hanya untuk menyelesaikan masalah, tetapi lebih kepada membantu klien untuk tumbuh, berkembang, sehingga mereka dapat menyelesaikan masalah yang ada dihadapan mereka dan masalah yang ada di masa yang akan datang dengan lebih baik.
Rogers menulis bahwa orang-orang yang mengikuti terapi sering bertanya “Bagaimana bisa saya menemukan diri saya sebenarnya? Bagaimana  saya bisa menjadi orang yang benar-benar saya inginkan?” Terapi ini berusaha menciptakan suasana yang kondusif untuk membantu individu menjadi orang yang sesungguhnya. Sebelum klien mengikuti terapi mereka harus melepaskan topeng yang mereka pakai sehingga mereka dapat berkembang melalui prosesnya sosialisasi. Klien datang untuk menyadari bahwa mereka kehilangan kontak dengan dirinya. Suasana yang aman dalam sesi terapi menyebabkan mereka menyadari adanya peluang untuk berubah dan berkembang.
Rogers (dalam Corey, 1996) mendeskripsikan bahwa orang yang meningkat aktualisasinya memiliki sifat terbuka pada pengalaman, mempercayai dirinya, mengevaluasi sumber yang ada didirinya, dan bersedia untuk terus berkembang. Hal itu merupakan tujuan dasar dari client centered therapy. Jenis terapi ini memandang bahwa hubungan klien dengan terapis memiliki kapasitas untuk menemukan dan mengklarifikasi tujuan mereka sendiri. Banyak terapis yang mengalami kesulitan dalam membimbing klien untuk memutuskan tujuan khusus yang ingin mereka raih. Hal ini merupakan tugas terapis untuk mendorong klien mendengarkan dirinya sendiri dan mengikuti ke arah yang dirinya inginkan, sehingga ketika  mereka membuat pilihan, hal itu bukanlah harapan dari terapis melainkan dari diri mereka sendiri.


B.   Fungsi dan Peran Terapis


Peran terapis dalam client centered therapy menurut Corey (1996) berakar pada sikap, bukan pada teknik yang dirancang untuk menyuruh klien melakukan sesuatu. Hal yang terpenting adalah sikap terapis bukan pengetahuan, teori atau teknik untuk dapat mempermudah perubahan kepribadian pada klien. Jadi terapi menggunakan dirinya sebagai alat untuk mengubah klien. Fungsi terapis untuk membangun suasana terapi yang dapat membuat klien untuk tumbuh atau berubah. Terapi ini membantu agar klien memperoleh kebebasan untuk mengeksplor area kehidupannya yang sekarang di tolak dalam kesadaran atau terdistorsi sehingga membantu mereka untuk kurang defensif dan lebih terbuka terhadap peluang dirinya dan dunia.
Pertama, terapis harus bersedia membangun hubungan yang nyata dengan klien. Terapis bertemu dengan klien secara bertahap dan membantu mereka dengan mencoba memasuki dunia mereka. Melalui sikap terapis yang apa adanya dalam merawat, menghargai, menerima dan memahami, mereka akan mampu menghilangkan defensif pada klien dan persepsi mereka yang tidak fleksibel sehingga dapat membuat klien untuk menjadi individu yang dapat berfungsi penuh.

C.  Pengalaman Klien dalam Terapi


Menurut Corey (1996) perubahan yang terjadi pada terapi tergantung pada persepsi klien mengenai pengalamanya saat terapi dan sikap-sikap terapis. Apabila terapis membuat suasana yang kondusif untuk mengeksplorasi diri, klien memiliki kesempatan untuk memahami dan mengekplor perasaannya. Klien datang ke terapis dalam keadaan incongruence (ketidaksesuaian) antara persepi dirinya dengan kenyataan. Salah satu alasan klien mencari terapi adalah adanya perasaan yang tidak berdaya dan ketidakmampuan untuk membuat keputusan. Mereka berharap menemukan 'jalan' melalui bimbingan terapis. Mereka segera belajar dan mempu bertanya jawab pada diri mereka sendiri dan memiliki pemahaman diri.
Kemajuan terapi ditandai dengan klien mampu mengekplor perasaan-perasaannya dan dapat mengekpresikan perasaan takut, cemas, merasa bersalah, malu, marah dan emosi lainnya yang mereka pendam dengan negatif yang kemudian masuk kedalam struktur dirinya (Lubis, 2011). Melalui terapi, distorsi mereka lebih berkurang dan berubah untuk lebih dapat menerima dan mengintergrasikan konflik dan perasaan yang membingungkan. Mereka dapat menemukan aspek lain dari dirinya yang tersembunyi. Ketika klien merasa dipahami dan diterima oleh terapis, defensif mereka menjadi berkurang, dan mereka menjadi lebih dapat terbuka pada pengalaman-pengalaman mereka, karena mereka tidak lagi merasa terancam, tidak aman dan tidak rentan. Mereka lebih menjadi realistik, dapat merasakan sesuatu dengan tepat dan menjadi lebih mampu memahami dirinya. Perilaku mereka lebih fleksibel dan kreatif. Mereka mulai berperilaku apa adanya sesuai dengan diri mereka sendiri. Mereka mempercayai diri mereka untuk mengatur dirinya sendiri.Dengan meningkatnya kebebasan mereka menjadi lebih matang secara psikologis dan lebih beraktualisasi (Corey,1996).

D.  Hubungan antara Terapis dengan Klien.


Mengacu pada Rogers (dalam Corey, 1996) terdapat enam kondisi yang dibutuhkan untuk terjadi perubahan kepribadian, yaitu:
1.    Dua orang berada dalam kontak psikologis.
2.    Pertama, kita menyebut klien sebagai orang mengalami ketidaksesuaian.
3.    Kedua, kita menyebut terapis sebagai orang yang congruence atau orang yang mampu menciptakan hubungan.
4.    Terapis memberikan unconditional positive regard atau benar-benar menjaga dan menerima klien.
5.    Terapis memahami klien dengan berempati.
6.    Mencapai tingkat minimal untuk dapat berempati dan unconditional positive regard kepada klien.
Apabila ke enam kondisi tersebut terus ada dalam beberapa priode tertentu perubahan akan terjadi. Terapis tidak membutuhkan pengetahuan khusus. Diagnosis psikologis yang akurat tidak terlalu dibutuhkan dan tidak mengganggu keefektifan terapi (Lubis, 2011). Menurut Corey (1996) terdapat tiga karakteristik personal atau sikap terapis sebagai bagian yang utama dalam membangun hubungan dengan klien, yaitu:
a.    Congruence atau Genuiness.
Dari tiga karakteristik tersebut congruence adalah yang terpenting. Congruence menunjukan bahwa terapis itu juga manusia, mereka meminta untuk menunjukan dirinya apa adanya, ketika mereka tersinggung mereka boleh marah. Hal itu dapat memberikan insight pada klien bahwa terapis itu tidak sempurna, mereka juga manusia sama seperti diri klien.

b.    Uncondtional Positive Regarddan Penerimaan
Merupakan sikap kedua yang dibutuhkan terapi. Disini konselor harus mengkomunikasikan pada klien bahwa mereka benar-benar menjaga dan merawatnya sebagai manusia. Menjaga dan merawat tidak dikondisikan, tidak terkontaminasi oleh penilaian atau judgment perasaan, pikiran, perilaku sebagai diri yang baik atau buruk. Hal yang tepenting lainnya adalah terapis tidak boleh posesif. Apabila mereka posesif maka perubahan klien akan terhambat. Jadi Rogers mengindikasikan bahwa tingkat tertinggi dalam menjaga dan menerima klien dengan cara yang tidak posesif akan memberikan kesempatan yang besar untuk kesuksesan terapi tersebut.

c.    Emphaty
Salah satu tugas utama terapis adalah memahami apa yang dialami klien dan dapat merasakannya secara sensitif. Terapis mencoba untuk merasakan pengalaman sujektif klien saat itu dan sekarang. Terapis harus dapat lebih dekat dengan dirinya dapat lebih merasakan dengan intens dan mendalam serta dapat memahami dan mengenali juga menyelesaikan ketidaksesuaian yang ada dalam diri mereka.

Kelebihan dan Kekurangan Client Centered Therapy


Kelebihannya adalah sebagai berikut:
1.      Pemusatan pada klien dan bukan pada terapis.
2.      Identifikasi dan hubungan terapi sebagai wahana utama dalam mengubah kepribadian.
3.      Lebih menekankan pada sikap terapi daripada teknik.
4.      Memberikan kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif.
5.      Penekanan emosi, perasaan, perasaan dan afektif dalam terapi.
6.      Menawarkan perspektif yang lebih up-to-date dan optimis.
7.      Klien memiliki pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan masalahnya.
8.      Klien merasa mereka dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak dijustifikasi.
                                                                                                    
Kekurangannya adalah sebagai berikut:
1.      Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana.
2.      Terlalu menekankan aspek afektif, emosional, perasaan.
3.      Tujuan sehingga sulit untuk menilai individu.
4.      Tidak cukup sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil tanggungjawabnya.
5.      Sulit bagi therapist untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal.
6.      Terapi  menjadi tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan bercerita saja tidaklah cukup.
7.      Tidak bisa digunakan pada penderita psikopatologi yang parah.
8.      Minim teknik untuk membantu klien memecahkan masalahnya.
9.      Untuk setiap klien yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas dan umum.
           

            Sekian penjelasan dari saya mengenai Client Centered Therapy, semoga bermanfaat dan dapat memberikan insight pada kita semua. Sampai berjumpa di pembahasan mengenai psikoterapi lainnya.

              
            


Daftar Pustaka

Hall, S Calvin dan Gardner Lindzey. (1978). Theories of Personality: Third Edition. New York: John Wiley & Sons
Corey, Gerald. (1996). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Brooks Cole
Lubis, LumonggaNamora. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar