Client Centered Therapy
Hey…
we meet again. The big smile and hug for you guys :D
Yesterday,
I’ve been disscused about what is psychoanalytic therapy and what is
humanistic-existencial approaches, now we will discussing about new materials
that still connect to the humanistic-existencial approaches, is “Client
Centered Therapy”. Who the pioneer that kind of therapy? Yeah… It’s Carl
Rogers. Okey guys, let’s check it out!
Client Centered Therapy… that sounds familiar right? Ya, bagi kalangan anak psikologi pasti
telah sering mendengar istilah terapi yang sangat populer ini. Bagi yang belum
atau baru mengetahuinya, tenang saja saya akan menjelaskannya disini. Client Centered Therapy memiliki istilah
lain yang disebut juga dengan Person
Centered Therapy, Non-Directive Therapy.
Inti dari ketiga istilah itu adalah bahwa jenis terapi ini memusatkan
perhatian sepenuhnya pada diri klien. Klien dipandang sebagai orang yang aktif
yang dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, klien dapat menemukan pencerahan (insight), sedangkan terapis disini
hanya berperan sebagai orang yang mengarahkan, yang membimbing klien agar
menemukan pencerahan. Terapis juga hanya memberikan pilihan, sedangkan yang memutuskan
adalah klien itu sendiri. Jadi disini terapis berperan secara tidak langsung untuk
membantu klien menemukan jalan keluar dari masalahnya.
Berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya, Carl Rogers memiliki
atmosfer keluarga yang dikarakterisasikan sebagai keluarga yang hangat dan
memiliki hubungan yang dekat tetapi juga memiliki standar agama yang ketat. Kedua
orang tuanya beragama protestan yang sangat taat beribadah. Jadi latar belakang
keluarganya itu juga ikut mendasari terbentuknya teori yang dikenal sampai
sekarang ini. Client Centered Therapy
biasanya digunakan untuk masalah-masalah yang ringan sampai sedang. Terapi ini
sering digunakan untuk orang yang ingin beraktualisasi diri, yang ingin
berkembang menjadi lebih baik lagi, yang ingin mengoptimalkan dirinya. Jadi
terapi ini biasanya digunakan oleh orang-orang yang normal yang menginginkan
dirinya berubah menjadi lebih baik lagi atau untuk orang-orang yang ingin
mengubah hidupnya yang kurang baik menjadi baik. Jarang sekali terapi ini
digunakan oleh orang yang memiliki masalah mental atau orang yang abnormal
karena caranya tidak tepat untuk menyembuhkan mereka. Sekilas, itulah gambaran
umum Client Centered Therapy, sekarang
kita akan masuk pada konsep dasar dari teori yang dikembangkan oleh Rogers ini.
Konsep-Konsep Dasar
Struktur
Kepribadian
Menurut Hall dan Lindzey (1978) terdapat dua konstruk dasar yang
penting pada teori Carl Rogers, yaitu organisme dan the self. Secara psikologis, organisme adalah pusat dari semua
pengalaman. Pengalaman termasuk segalanya yang ada secara potensial dalam
kesadaran organisme. Semua pengalaman terdapat pada lapangan fenomenal. Lapangan
fenomenal adalah kerangka referensi individu yang hanya dapat diketahui oleh
orang itu sendiri. Rogers (dalam Hall dan Lindzey, 1978) mengatakan “Hal itu
tidak akan bisa diketahui oleh orang lain kecuali dengan cara berempati, dan
tidak bisa diketahui dengan sempurna.” Bagaimana individu berperilaku
tergantung pada lapangan fenomenologinya (subjective
reality) dan bukan pada kondisi yang terstimulasi (external reality). Lapangan fenomenologi tidak identik dengan
alam kesadaran (consciousness). Alam
sadar adalah simbolisasi dari pengalaman kita. Sedangkan lapangan fenomenologi
dibuat dari pengalaman sadar (simbolisasi)
dan tak sadar (tidak simbolik). Organisme biasanya membedakan dan bereaksi
terhadap pengalaman yang bukan simbolik. Rogers menyebutnya sebagai subception.
Orang yang berperilaku dengan tidak tepat
menunjukkan bahwa pengalamannya tidak disimbolkan dengan benar. Seseorang
cenderung memeriksa apakah simbolisasi pengalamannya tidak bertentangan dengan
dunia. Pengujian pengalaman terhadap kenyataan tergantung dengan pengetahuannya
tentang dunia yang membuat seseorang mampu untuk berperilaku sesuai dengan
realitas. Bagaimanapun juga, banyak persepsi yang tidak teruji atau tidak cukup
teruji, sehingga menyebabkan perilaku yang tidak realistik dan mengakibatkan
diri menjadi rusak. Lalu muncul pertanyaan, bagaimana seseorang dapat
membedakan antara imajinasi subjektif yang tidak sesuai dengan realitas dan
yang sesuai dengan realitas. Bagaimana seseorang mampu memisahkan fakta dan
fiksi dari dunia subjektif mereka?
Seseorang yang ingin menambahkan garam pada makanannya, bingung
ketika dihadapkan pada dua botol kecil yang sama persis bentuknya. Untuk
memastikannya, dia berfikir apabila putih berarti garam, apabila agak hitam
berarti lada, kemudian dia berfikir bagaimana jika yang putih itu adalah lada
putih. Lalu dia mengujinya dengan mencicipinya, apabila asin berarti garam dan
apabila pedas berarti lada. Apa yang seseorang alami atau pikirkan biasanya
bukanlah realitas bagi orang itu, tetapi lebih kepada dugaan sementara tentang
realitas, dimana dugaan tersebut bisa saja salah atau benar. Contoh diatas
adalah kondisi yang ideal, dalam kebanyakan kasus seseorang menerima pengalaman
mereka sebagai realitas dan gagal menganggapnya sebagai dugaan akan realitas. Akibatnya,
seseorang sering mengalami misconceptions
(konsepsi yang salah) tentang dirinya dan dunia luar. Rogers (dalam Hall
dan Lindzey, 1978) mengatakan bahwa seseorang yang utuh adalah yang benar-benar
membuka informasi dari pengalaman internalnya dan pengalaman dunia
eksternalnya.
The self adalah
bagian dari lapangan fenomenologi yang berangsur-angsur akan berubah. Pernyataan
Rogers langsung (dalam Hall dan Lindzey, 1978) menunjukkan bahwa Self atau self concept adalah “The
organized, consistent conceptual gestalt composed of perceptions of the characteristic
of the ‘I’ or ‘me’ and the perception of the relationship of the ‘I’ or ‘me’ to
others and to various aspect of life, together with the values attached to
these perceptions. It is a gestalt which is available to awareness though not
necessarily in awareness. It is a fluid and changing gestalt, a process, but at
any given moment it is a specific entity.” Saya akan mencoba mengartikan
sepengetahuan saya, karena di dalam buku Hall dan Lindzey tidak dijelaskan,
hanya dikutip saja pernyataan rogers tersebut. Kurang lebih artinya adalah bahwa
diri atau konsep diri adalah struktur yang terorganisir, kesatuan konseptual
yang konsisten yang berisi persepsi tentang karakteristik ‘I’ atau ‘me’ dan
mengenai hubungan ‘I’ atau ‘me’ dengan orang lain serta berbagai macam aspek kehidupan
yang terkait dengan nilai-nilai. Diri adalah kesatuan yang ada melalui
kesadaran bukan di dalam kesadaran. Hal tersebut merupakan kesatuan yang cair
dan dapat berubah-ubah, sebuah proses, tetapi sewaktu-waktu merupakan kesatuan
yang spesifik (khusus). Itulah konsep mengenai the self dari Rogers, selanjutnya ia mengatakan bahwa diri itu
ambigu dan tanpa makna. Di dalam the self
terdapat ideal self (diri ideal) yang
mana seseorang ingin menjadi seperti itu.
Organisme
dan Diri: Congruence dan Incongruence
Ketika pengalaman
simbolik yang membentuk diri mencerminkan pengalaman organisme, maka seseorang
itu dapat dikatakan sebagi orang yang dapat beradaptasi, matang, dan berfungsi
penuh. Kebanyakan orang yang dapat menerima pengalaman tanpa ancaman dan rasa
cemas, ia akan mampu berfikir secara realistik. Adanya incongruence antara the self
dan organisme akan membuat individu merasa terancam dan cemas. Mereka akan
berperilaku secara defensif dan berfikir secara kaku (tidak fleksibel).
Secara implisit,
Rogers (dalam Hall dan Lindzey, 1978) mengatakan bahwa terdapat dua manifestasi
dari congruence dan incongruence. Salah
satunya adalah kesesuaian antara realitas subjektif (lapangan fenomenologi) dan
realitas eksternal (dunia sebagaimana adanya). Manifestasi lainnya adalah
tingkat kesesuaian antar self dengan ideal self. Jika terdapat
ketidaksesuaian, maka seseorang akan merasa tidak puas atau tidak dapat
menyesuaikan dirinya dengan baik.
Dinamika
Kepribadian
Organisme memiliki kecenderungan dasar dan berusaha untuk
beraktualisasi, memelihara dan meningkatkan pengalamannya (Rogers dalam Hall
and Lindzey, 1978). Aktualisasi ini cenderung selektif, menaruh perhatian pada
aspek-aspek lingkungan yang menjanjikan untuk merubah seseorang kearah
pemenuhan atau kekosongan. Organisme yang dapat beraktualisasi dengan
sendirinya disebabkan oleh keturunan (hereditas). Ia akan menjadi lebih
berbeda, lebih meluas, lebih mandiri, dan lebih sosial, hal itu disebut sebagai
kematangan.
Rogers menambahkan hal baru dalam konsep pertumbuhannya. Ia
mengatakan seseorang tidak dapat beraktualisasi apabila mereka tidak mampu
membedakan yang mana merupakan kemajuan dan kemunduran dalam berperilaku.
Seseorang harus tahu sebelum dia bisa memilih, tetapi jika mereka tahu, dia
akan selalu memilih kearah pertumbuhan bukan kemunduran.
Proses Terapi
A. Tujuan
Terapi
Menurut Corey (1996) tujuan dari person centered therapy berbeda dari
pendekatan lainnya. Fokus terapi ini adalah pada orang, namun bukan hanya pada
orang yang memiliki masalah. Dalam pandangan Rogers, hasil terapi tidak hanya
untuk menyelesaikan masalah, tetapi lebih kepada membantu klien untuk tumbuh,
berkembang, sehingga mereka dapat menyelesaikan masalah yang ada dihadapan
mereka dan masalah yang ada di masa yang akan datang dengan lebih baik.
Rogers menulis bahwa orang-orang yang
mengikuti terapi sering bertanya “Bagaimana bisa saya menemukan diri saya
sebenarnya? Bagaimana saya bisa menjadi orang yang benar-benar
saya inginkan?” Terapi ini berusaha menciptakan suasana yang kondusif
untuk membantu individu menjadi orang yang sesungguhnya. Sebelum klien
mengikuti terapi mereka harus melepaskan topeng yang mereka pakai sehingga
mereka dapat berkembang melalui prosesnya sosialisasi. Klien datang untuk
menyadari bahwa mereka kehilangan kontak dengan dirinya. Suasana yang aman
dalam sesi terapi menyebabkan mereka menyadari adanya peluang untuk berubah dan
berkembang.
Rogers (dalam Corey, 1996) mendeskripsikan
bahwa orang yang meningkat aktualisasinya memiliki sifat terbuka pada
pengalaman, mempercayai dirinya, mengevaluasi sumber yang ada didirinya, dan bersedia
untuk terus berkembang. Hal itu merupakan tujuan dasar dari client centered therapy. Jenis terapi
ini memandang bahwa hubungan klien dengan terapis memiliki kapasitas untuk
menemukan dan mengklarifikasi tujuan mereka sendiri. Banyak terapis yang
mengalami kesulitan dalam membimbing klien untuk memutuskan tujuan khusus yang
ingin mereka raih. Hal ini merupakan tugas terapis untuk mendorong klien
mendengarkan dirinya sendiri dan mengikuti ke arah yang dirinya inginkan,
sehingga ketika mereka membuat pilihan, hal itu bukanlah harapan dari
terapis melainkan dari diri mereka sendiri.
B.
Fungsi dan Peran Terapis
Peran
terapis dalam client centered therapy
menurut Corey (1996) berakar pada sikap, bukan pada teknik yang dirancang untuk
menyuruh klien melakukan sesuatu. Hal yang terpenting adalah sikap terapis
bukan pengetahuan, teori atau teknik untuk dapat mempermudah perubahan
kepribadian pada klien. Jadi terapi menggunakan dirinya sebagai alat untuk
mengubah klien. Fungsi terapis untuk membangun suasana terapi yang dapat
membuat klien untuk tumbuh atau berubah. Terapi ini membantu agar klien
memperoleh kebebasan untuk mengeksplor area kehidupannya yang sekarang di tolak
dalam kesadaran atau terdistorsi sehingga membantu mereka untuk kurang defensif
dan lebih terbuka terhadap peluang dirinya dan dunia.
Pertama,
terapis harus bersedia membangun hubungan yang nyata dengan klien. Terapis
bertemu dengan klien secara bertahap dan membantu mereka dengan mencoba memasuki
dunia mereka. Melalui sikap terapis yang apa adanya dalam merawat, menghargai, menerima
dan memahami, mereka akan mampu menghilangkan defensif pada klien dan persepsi
mereka yang tidak fleksibel sehingga dapat membuat klien untuk menjadi individu
yang dapat berfungsi penuh.
C. Pengalaman
Klien dalam Terapi
Menurut Corey (1996) perubahan yang
terjadi pada terapi tergantung pada persepsi klien mengenai pengalamanya saat
terapi dan sikap-sikap terapis. Apabila terapis membuat suasana yang kondusif
untuk mengeksplorasi diri, klien memiliki kesempatan untuk memahami dan
mengekplor perasaannya. Klien datang ke terapis dalam keadaan incongruence (ketidaksesuaian) antara
persepi dirinya dengan kenyataan. Salah satu alasan klien mencari terapi adalah
adanya perasaan yang tidak berdaya dan ketidakmampuan untuk membuat keputusan. Mereka
berharap menemukan 'jalan' melalui bimbingan terapis. Mereka segera belajar dan
mempu bertanya jawab pada diri mereka sendiri dan memiliki pemahaman diri.
Kemajuan terapi ditandai dengan klien
mampu mengekplor perasaan-perasaannya dan dapat mengekpresikan perasaan takut, cemas,
merasa bersalah, malu, marah dan emosi lainnya yang mereka pendam dengan
negatif yang kemudian masuk kedalam struktur dirinya (Lubis, 2011). Melalui
terapi, distorsi mereka lebih berkurang dan berubah untuk lebih dapat menerima
dan mengintergrasikan konflik dan perasaan yang membingungkan. Mereka dapat
menemukan aspek lain dari dirinya yang tersembunyi. Ketika klien merasa
dipahami dan diterima oleh terapis, defensif mereka menjadi berkurang, dan
mereka menjadi lebih dapat terbuka pada pengalaman-pengalaman mereka, karena
mereka tidak lagi merasa terancam, tidak aman dan tidak rentan. Mereka lebih
menjadi realistik, dapat merasakan sesuatu dengan tepat dan menjadi lebih mampu
memahami dirinya. Perilaku mereka lebih fleksibel dan kreatif. Mereka mulai
berperilaku apa adanya sesuai dengan diri mereka sendiri. Mereka mempercayai
diri mereka untuk mengatur dirinya sendiri.Dengan meningkatnya kebebasan mereka
menjadi lebih matang secara psikologis dan lebih beraktualisasi (Corey,1996).
D. Hubungan
antara Terapis dengan Klien.
Mengacu pada Rogers (dalam Corey, 1996) terdapat enam kondisi yang
dibutuhkan untuk terjadi perubahan kepribadian, yaitu:
1. Dua orang berada dalam kontak psikologis.
2. Pertama, kita menyebut klien sebagai orang mengalami
ketidaksesuaian.
3. Kedua, kita menyebut terapis sebagai orang yang congruence atau orang yang mampu
menciptakan hubungan.
4. Terapis memberikan unconditional positive regard atau benar-benar menjaga dan menerima
klien.
5. Terapis memahami klien dengan berempati.
6. Mencapai tingkat minimal untuk dapat berempati dan unconditional positive regard kepada
klien.
Apabila ke enam kondisi tersebut
terus ada dalam beberapa priode tertentu perubahan akan terjadi. Terapis tidak
membutuhkan pengetahuan khusus. Diagnosis psikologis yang akurat tidak terlalu
dibutuhkan dan tidak mengganggu keefektifan terapi (Lubis, 2011). Menurut Corey
(1996) terdapat tiga karakteristik personal atau sikap terapis sebagai bagian
yang utama dalam membangun hubungan dengan klien, yaitu:
a.
Congruence atau Genuiness.
Dari tiga
karakteristik tersebut congruence
adalah yang terpenting. Congruence
menunjukan bahwa terapis itu juga manusia, mereka meminta untuk menunjukan
dirinya apa adanya, ketika mereka tersinggung mereka boleh marah. Hal itu dapat
memberikan insight pada klien bahwa
terapis itu tidak sempurna, mereka juga manusia sama seperti diri klien.
b.
Uncondtional Positive Regarddan Penerimaan
Merupakan sikap kedua
yang dibutuhkan terapi. Disini konselor harus mengkomunikasikan pada klien
bahwa mereka benar-benar menjaga dan merawatnya sebagai manusia. Menjaga dan
merawat tidak dikondisikan, tidak terkontaminasi oleh penilaian atau judgment
perasaan, pikiran, perilaku sebagai diri yang baik atau buruk. Hal yang
tepenting lainnya adalah terapis tidak boleh posesif. Apabila mereka posesif
maka perubahan klien akan terhambat. Jadi Rogers mengindikasikan bahwa tingkat
tertinggi dalam menjaga dan menerima klien dengan cara yang tidak posesif akan
memberikan kesempatan yang besar untuk kesuksesan terapi tersebut.
c.
Emphaty
Salah satu tugas utama terapis adalah memahami apa
yang dialami klien dan dapat merasakannya secara sensitif. Terapis mencoba
untuk merasakan pengalaman sujektif klien saat itu dan sekarang. Terapis harus
dapat lebih dekat dengan dirinya dapat lebih merasakan dengan intens dan
mendalam serta dapat memahami dan mengenali juga menyelesaikan ketidaksesuaian
yang ada dalam diri mereka.
Kelebihan
dan Kekurangan Client Centered Therapy
Kelebihannya adalah sebagai berikut:
1. Pemusatan pada klien
dan bukan pada terapis.
2.
Identifikasi dan hubungan terapi sebagai wahana utama dalam mengubah
kepribadian.
3.
Lebih menekankan pada sikap terapi daripada teknik.
4. Memberikan
kemungkinan untuk melakukan penelitian dan penemuan kuantitatif.
5. Penekanan
emosi, perasaan, perasaan dan afektif dalam terapi.
6. Menawarkan perspektif
yang lebih up-to-date dan optimis.
7. Klien memiliki
pengalaman positif dalam terapi ketika mereka fokus dalam menyelesaiakan
masalahnya.
8. Klien merasa mereka
dapat mengekpresikan dirinya secara penuh ketika mereka mendengarkan dan tidak
dijustifikasi.
Kekurangannya adalah sebagai berikut:
1.
Terapi berpusat pada klien dianggap terlalu sederhana.
2.
Terlalu menekankan aspek afektif, emosional, perasaan.
3.
Tujuan sehingga sulit untuk menilai individu.
4. Tidak cukup
sistematik dan lengkap terutama yang berkaitan dengan klien yang kecil
tanggungjawabnya.
5. Sulit bagi therapist
untuk bersifat netral dalam situasi hubungan interpersonal.
6. Terapi menjadi
tidak efektif ketika konselor terlalu non-direktif dan pasif. Mendengarkan dan
bercerita saja tidaklah cukup.
7. Tidak bisa digunakan
pada penderita psikopatologi yang parah.
8. Minim teknik untuk
membantu klien memecahkan masalahnya.
9. Untuk setiap klien
yaitu memaksimalkan diri, dirasa terlalu luas dan umum.
Sekian penjelasan dari saya mengenai Client Centered Therapy, semoga bermanfaat dan dapat memberikan insight pada kita semua. Sampai berjumpa di pembahasan mengenai psikoterapi lainnya.
Daftar
Pustaka
Hall, S Calvin dan Gardner Lindzey.
(1978). Theories of Personality: Third Edition. New York: John Wiley & Sons
Lubis, LumonggaNamora. (2011). Memahami
Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar