Behavior Therapy
Behavior Therapy atau yang
disebut dengan terapi perilaku adalah jenis terapi yang populer dan sudah
sering kita dengar. Terapi ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap
psikoanalisa. Behavior Therapy memiliki
konsep yang sangat berbeda dan berlawanan dengan terapi psikoanalisa. Arnold A.
Lazarus adalah orang yang berkontribusi dalam behavioral therapy. Lazarus adalah anak terakhir dari empat
bersaudara, ia lahir di Johannesburg, Afrika Selatan. Ketika ia lahir, kakak
perempuannya berusia 17 dan 14 tahun, sedangkan kakak laki-lakinya berusia 9
tahun. Lazarus hidup di lingkungan tetangga yang hanya ada sedikit anak-anak,
dia ingat dulu sering merasa kesepian dan ketakutan. Awalnya ia mengambil
kuliah jurusan sastra inggris, tetapi karena dosennya tidak menarik dan
membosankan maka ia memutuskan untuk pindah ke jurusan psikologi dan sosiologi,
yang materinya menarik minat dan rasa ingin tahunya. Selain itu, dosen-dosennya
membuat Lazarus menjadi terinspirasi. Akhirnya tahun 1957 ia mendapatkan gelar
master dalam psikologi eksperimental dan tahun 1960 mendapatkan gelar Ph.D
dalam psikologi klinis. Behavior therapy lebih
menekankan kepada metode action-oriented untuk
membantu orang-orang mengubah perilaku dan pikiran mereka (Glass dan Arnkoff
dalam Corey, 1996). Tokoh-tokoh klasik yang juga berperan penting dalam behavioral therapy adalah B. F Skinner,
J.B Watson, Albert Bandura, dan lain-lain. Pendekatan behavioral muncul sejak tahun 1950 dan awal 1960 sebagai konsep
radikal yang bertentangan dengan perspektif psikoanalisa yang dominan. Behavior therapy dapat dipahami dengan
mempertimbangkan tiga area perkembangan, yaitu classical conditioning, operant conditioning dan cognitive therapy (Corey, 1996).
A.
Dinamika Kepribadian
Manusia
Menurut
pendekatan behavioristik, manusia dapat memiliki kecenderungan positif atau
negatif karena pada dasarnya kepribadian manusia dibentuk oleh lingkungan di
mana ia berada. Perilaku dalam pandangan behavioristik adalah bentuk dari
kepribadian manusia. Perilaku dihasilkan dari pengalaman yang diperoleh
individu dalam interaksinya dengan lingkungan. Perilaku yang baik adalah hasil
dari lingkungan yang baik, begitu juga sebaliknya. Jadi, manusia adalah produk
dari lingkungan. Pandangan behavioristik radikal memandang manusia pasif,
mekanistik, dan deterministik. Manusia merupakan "objek" yang dapat
diubah menurut keinginan orang yang ingin mengubahnya. Pandangan inilah yang
mendapat kritikan dari beberapa ahli. Selanjutnya, pandangan behavioristik yang
terbaru mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih perilaku
seseorang berdasarkan pemahamannya (Lubis, 2011).
Salah satu ahli
behavioristik yang sepakat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan
perilakunya adalah Albert Bandura yang merupakan tokoh teori sosial-belajar.
Bandura (dalam Lubis, 2011) menolak keras pandangan yang menyatakan bahwa manusia bersifat mekanistik dan deterministik, karena menurutnya manusia adalah pribadi yang memiliki kebebasan dalam menghadapi stimulus (rangsangan) dari lingkungan dan bukanlah subjek yang pasif. Adapun pengubahan (modifikasi) perilaku dilakukan untuk meningkatkan kemampuan individu agar memiliki kemampuan melakukan tindakan dan tidak terpaku sebagai individu yang hanya mampu memberi respons. Dustin dan George (dalam Lubis, 2011) mengemukakan pandangan mereka tentang konsep manusia sebagai berikut:
Bandura (dalam Lubis, 2011) menolak keras pandangan yang menyatakan bahwa manusia bersifat mekanistik dan deterministik, karena menurutnya manusia adalah pribadi yang memiliki kebebasan dalam menghadapi stimulus (rangsangan) dari lingkungan dan bukanlah subjek yang pasif. Adapun pengubahan (modifikasi) perilaku dilakukan untuk meningkatkan kemampuan individu agar memiliki kemampuan melakukan tindakan dan tidak terpaku sebagai individu yang hanya mampu memberi respons. Dustin dan George (dalam Lubis, 2011) mengemukakan pandangan mereka tentang konsep manusia sebagai berikut:
- Manusia bukanlah individu yang baik atau jahat sehingga memiliki kemampuan untuk berperilaku baik atau jahat.
- Manusia dapat mengkonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri.
- Manusia dapat memperoleh perilaku yang baru.
- Perilaku manusia dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh perilaku orang lain.
Pandangan ini
semakin menguatkan bahwa manusia dapat memiliki kemampuan untuk berkembang ke
arah yang lebih baik, apabila ia berada dalam situasi lingkungan yang
mendorongnya untuk menjadi individu yang baik. Adapun perilaku bermasalah dalam
konsep behavioristik adalah perilaku yang tidak sesuai/tepat dengan yang
diharapkan oleh lingkungan. Penetapan perilaku bermasalah mengacu pada
perbedaannya dengan perilaku normal yang menekankan aspek penyesuaian diri
dengan lingkungan. Perilaku yang salah ini dapat ditandai dengan munculnya
konflik antara individu dengan lingkungannya. Hal inilah yang mengakibatkan
ketidakpuasan dan kesulitan dalam diri individu.
A.
Karakteristik dan
Asumsi Dasar
Spiegler dan Guevremont (dalam Corey, 1996) mengemukakan
6 hal yang mengkarakterisasikan behavior
therapy, yaitu:
1. Behavior therapy didasarkan
pada prinsip dan prosedur penelitian ilmiah. Prinsip-prinsip pembelajaran
secara sistematis diterapkan untuk membantu orang-orang mengubah perilakunya
yang maladaptif. Hasilnya lebih didasarkan pada apa yang telah diobservasi
daripada keyakinan-keyakinan pribadi. Hal yang membedakan praktisi behavioral dengan yang lainnya adalah spesifikasi
yang sistematis dan dapat diukur. Mereka membuat tujuan dari treatment-nya secara konkret dan
objektif agar memungkinkan dilakukan pengulangan pada intervensi mereka. Metode
penelitian digunakan untuk mengevaluasi efektivitas dari prosedur pengukuran
dan treatment. Konsep dan prosedur behavioral dinyatakan secara eksplisit,
di tes secara empiris, dan diperbaiki secara terus-menerus.
2. Behavior therapy berhadapan
dengan masalah klien saat ini dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Terapis
berpendapat bahwa masalah klien dipengaruhi oleh kondisi sekarang. Mereka
kemudian menggunakan teknik behavioral untuk
mengubah faktor-faktor sekarang yang relevan yang mempengaruhi perilaku klien.
3. Dalam behavior therapy, klien diharapkan
melakukan tindakan-tindakan spesifik untuk menghadapi masalah mereka. Daripada
berbicara secara sederhana mengenai kondisi, mereka melakukan sesuatu yang
membawa perubahan. Mereka mengawasi perilaku klien selama dan diluar sesi
terapi, kemampuan untuk belajar dan praktik menyelesaikan masalah dan bermain
peran terhadap perilaku baru. Terapi ini adalah pendekatan yang mengarah pada
tindakan.
4. Secara umum, behavior therapy sebisa mungkin membawa
klien pada lingkungan yang natural (yang sebenarnya). Pendekatan ini menekankan
pada mengajari klien kemampuan mengatur dirinya (self-management), dengan harapan bahwa mereka akan bertanggung
jawab untuk menerima apa yang mereka pelajari dalam terapi dalam kehidupan
sehari-hari. Pekerjaan rumah menjadi bagian yang integral dalam behavioral therapy.
5. Prosedur behavioral dibuat agar cocok dengan
kebutuhan masing-masing klien yang unik. Beberapa teknik terapi digunakan untuk
mengatasi masalh klien.
6. Praktik terapi behavioral didasarkan pada hubungan
partner yang kolaboratif antara terapis dan klien. Pertama, selalu berusaha
untuk memberikan informasi pada klien tentang treatment yang akan diajalani. Kedua, klien sering dilatih untuk
mengawali, melakukan, dan mengevaluasi treatment
yang dijalaninya sesuai bimbingan terapis.
C.
Tujuan Behavior Therapy
Menurut Latipun (dalam Lubis, 2011) secara umum, tujuan
dari terapi behavioristik adalah menciptakan suatu kondisi baru yang lebih baik
melalui proses belajar sehingga perilaku simtomatik dapat dihilangkan.
Sementara itu tujuan terapi behavioristik secara khusus adalah mengubah tingkah
laku adaptif dengan cara memperkuat tingkah laku yang diharapkan dan meniadakan
perilaku yang tidak diharapkan serta menemukan cara-cara bertingkah laku yang
tepat.
Corey (1996) memiliki asumsi lain bahwa tujuan umum dari behavior therapy adalah membuat suatu kondisi
baru untuk belajar, dengan asumsi bahwa belajar dapat memperbaiki perilaku-perilaku
yang bermasalah. Pada terapi ini ditekankan bahwa klien memiliki peran yang
aktif dalam memutuskan treatment mereka.
Jadi klien diminta untuk menetapkan tujuan spesifik mereka sendiri. Terapis
membantu klien merumuskan tujuan-tujuan yang spesifik, tidak ambigu, dan dapat
diukur. Terapi ini meyakinkan bahwa hak-hak klien dilindungi (Corey, 1996). Spiegler
dan Guevremont (dalam Corey, 1996) mengatakan bahwa hal ini mencakup tujuan
yang spesifik dan perilaku yang ditargetkan, yang secara empiris berdasarkan
pada pengujian prosedur, treatment yang singkat dan apa adanya, dan hubungan
yang kolaboratif antara terapis dengan klien. Tujuan dari terapi ini harus ditunjukkan
dengan jelas, konkrit, dapat diapahami, dan disetujui oleh klien dan konselor.
Menurut Comier dan Comier (dalam Corey, 1996) pentingnya
hubungan kolaboratif adalah sebagai berikut:
1. Terapis menjelaskan
pentingnya dan kegunaan dari menetapkan tujuan.
2. Klien mengemukakan
perubahan positif yang ia inginkan dari terapi tersebut.
3. Klien dan terapis
menunjukkan apakah tujuan-tujuan tersebut menimbulkan keinginan klien untuk merubah dirinya.
4. Bersama-sama mereka
mengeksplor apakah tujuan-tujuan tersebut realistik.
5. Mereka mendiskusikan
adanya kemungkinan untung dan rugi dari tujuan-tujuan yang ditetapkan tersebut.
6. Mereka membuat suatu
keputusan mengenai: melanjutkan mencari tujuan-tujuan, mempertimbangkan lagi
tujuan klien, atau mencari pengganti tujuan lainnya.
Oleh karena itu, teknik behavioral tidak mengancam akan berkurangnya kebebasan untuk
memilih. Membebaskan orang-orang dari perilaku yang mengganggu agar mereka
dapat hidup sepenuhnya adalah konsisten dengan nilai-nilai demokratis individu
yang mampu menentukan tujuannya sendiri secara bebas selama tujuan tersebut
konsisten dengan norma-norma masyarakat (Corey, 1996).
D.
Fungsi dan Peran Behavior Therapy
Menurut Corey (1996) terapis dalam behavioral therapy memegang peranan aktif dan direktif dalam
pelaksanaan proses terapi. Dalam hal ini terapis harus mencari pemecahan
masalah klien. Fungsi utama terapis adalah bertindak sebagai guru, pengarah,
penasihat, konsultan, pemberi dukungan, fasilitator, dan mendiagnosis tingkah
laku maladaptif klien dan mengubahnya menjadi tingkah laku adaptif. Terapis
pada behavior therapy memperhatikan
tanda-tanda apapun yang diberikan klien, dan mereka bersedia untuk mengikuti prosedur
terapi. Terapis menggunakan teknik seperti summarizing,
reflection, klarifikasi, dan pertanyaan terbuka. Goldfried dan Davidson
(dalam Corey, 1996) mengatakan bahwa, akan tetapi terdapat dua fungsi yang
membedakan klinisi behavioral: mereka
fokus pada hal-hal spesifik, dan mereka secara sistematis berusaha untuk
mendapatkan informasi tentang situasi antecedents,
dimensi dari masalah-masalah perilaku, dan konsekuensi dari masalah.
Fungsi penting terapis lainnya adalah sebagai role model bagi klien. Bandura (dalam
Corey, 1996) mengatakan kebanyakan belajar itu terjadi melalui pengalaman
langsung. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa proses fundamental yang paling
memungkinkan klien dapat mempelajari tingkah laku baru adalah melalui proses
imitasi. Terapis dijadikan model pribadi yang ingin ditiru oleh klien karena
cenderung memandang terapis sebagai
orang yang patut untuk diteladani. Klien sering kali meniru sikap, nilai dan
tingkah laku terapis. Untuk itulah, seorang terapis diharapkan menyadari
perannya yang begitu penting dalam terapi sehingga tidak memunculkan perilaku
yang tidak semstinya untuk ditiru.
E. Hubungan antara
Terapi dan Klien
Granvold dan Wodarski (dalam Corey, 1996) mengatakan
bahwa hubungan terapi dalam konteks behavioral
secara signifikan dapat berkontribusi dalam proses mengubah tingkah laku. Corey
(1996) mengatakan hubungan terapi yang baik dapat meningkatkan kesempatan klien
untuk menerima terapi. Tidak hanya dari kerjasama klien dalam prosedur terapi,
tetapi harapan positif klien mengenai efektifitas terapi juga berkontribusi
terhadap hasil yang sukses. Kemampuan dan ketrampilan terapis behavior adalah salah satu yang dapat
mengkonseptualisasikan masalah perilaku.
Seperti yang sebelumya telah saya jelaskan mengenai
pendekatan humanistik, client centered
therapy, mereka menekankan dan mengutamakan keaslian hubungan terapis
dengan klien, artinya terapis bertindak apa adanya sebagai seorang manusia
(misal, mengutarakan dirinya marah ketika klien membuatnya tersinggung).
Kemudian terapi psikoanalisis, mereka menekankan hubungan transference. Berbeda dengan terapi-terapi lainnya, behavior therapy menurut Corey (1996)
tidak terlalu menekankan peran hubungan dengan klien. Faktor-faktor seperti
kehangatan, empati, keaslian, dan penerimaan juga butuh dipertimbangkan, namun
tidaklah cukup dalam membuat terjadinya perubahan perilaku. Jadi dalam behavior therapy, peran hubungan sebagai
hal yang mendasari strategi terapi dalam membantu klien berubah sesuai dengan
arah yang ia harapkan. Lazarus (dalam Corey, 1996) mengatakan bahwa tanpa
adanya rasa saling menghargai antara klien dengan terapisnya, maka akan sulit
untuk mengembangkan rasa percaya dan melakukan keterbukaan diri. Teknik dan
ketrampilan klinis dibutuhkan untuk membangun hubungan antara klien dan
terapis.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka jelas bahwa behavior therapy menekankan terapis yang
memiliki tingkat ketrampilan dan sensitivitas yang tinggi serta kemampuan untuk
membentuk hubungan kerja dengan klien. Corey (1996) mengatakan bahwa dalam
menerapkan teknik behavioral bergantung
pada kombinasi tingkat ketrampilan dan rapport
dengan klien. Terapis behavior cenderung aktif, direktif, dan berfungsi sebagai
pemecah masalah.
F.
Teknik-Teknik Behavior Therapy
Lesmana (dalam Lubis, 2011) membagi teknik terapi
behavioristik dalam dua bagian, yaitu teknik-teknik tingkah laku umum dan
teknik-teknik spesifik. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a.
Teknik-teknik
Tingkah Laku Umum
Teknik ini terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya
adalah:
1. Skedul penguatan
adalah suatu teknik pemberian penguatan pada klien ketika tingkah laku yang
baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien. Penguatan harus dilakukan
terus-menerus sampai tingkah laku tersebut terbentuk dalam diri klien. Setelah
terbentuk, frekuensi penguatan dapat dikurangi atau dilakukan pada saat-saat
tertentu saja (tidak setiap kali perilaku baru dilakukan). Istilah ini sering
disebut sebagai penguatan intermiten. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan
tingkah laku baru yang telah terbentuk. Misalnya, klien yang mengalami
kesulitan membaca akan diberikan pujian secara terus-menerus bila berhasil
membaca. Tetapi setelah ia dapat membaca, pemberian pujian harus dikurangi.
2. Shaping adalah
teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari tingkah laku baru secara
bertahap. Terapis dapat membagi-bagi tingkah laku yang ingin dicapai dalam
beberapa unit, kemudian mempelajarinya dalam unit-unit kecil.
3.
Ekstingsi adalah
teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku maladaptif tidak berulang.
Ini didasarkan pada pandangan bahwa individu tidak akan bersedia melakukan
sesuatu apabila tidak mendapatkan keuntungan. Misalnya, seorang anak yang
selalu menangis untuk mendapatkan yang diinginkannya. Terapis akan bertindak
tidak memberi perhatian sehingga anak tersebut tidak akan menggunakan cara yang
sama lagi untuk mendapatkan keinginannya.
b.
Teknik-teknik
Spesifik
Teknik-teknik spesifik ini meliputi:
1.
Desentisasi
Sistematik
Adalah
teknik yang paling sering digunakan. Teknik ini diarahkan kepada klien untuk
menampilkan respons yang tidak konsisten dengan kecemasan. Desentisasi
sistematik melibatkan teknik relaksasi di mana klien diminta untuk
menggambarkan situasi yang paling menimbulkan kecemasan sampai titik di mana
klien tidak merasa cemas. Selama relaksasi, klien diminta untuk rileks secara
fisik dan mental. Teknik ini cocok untuk menangani kasus fobia, ketakutan
menghadapi ujian, ketakutan secara umum, kecemasan neurotik, impotensi, dan
frigiditas seksual. Selanjutnya, Wolpe (dalam Lubis, 2011) menyimpulkan bahwa
ada tiga penyebab teknik desentisasi sistematik mengalami kegagalan, yaitu:
a) Klien mengalami
kesulitan dalam relaksasi yang disebabkan karena komunikasi terapis dan klien
yang tidak efektif atau karena hambatan ekstrem yang dialami klien.
b) Tingkatan yang
menyesatkan atau tidak relevan, hal ini kemungkinan disebabkan karena penanganan
tingkatan yang keliru.
c)
Klien tidak mampu
membayangkan.
2.
Pelatihan
Asertivitas
Teknik
ini mengajarkan klien untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan
asertif. Prosedur yang digunakan adalah permainan peran (role playing). Teknik ini dapat membantu klien yang mengalami
kesulitan untuk menyatakan atau menegaskan diri di hadapan orang lain.
Pelatihan asertif biasanya digunakan untuk kriteria klien sebagai berikut:
a)
Tidak mampu
mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung.
b) Menunjukkan
kesopanan secara berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk
mendahuluinya.
c)
Memiliki kesulitan
untuk mengatakan tidak.
d)
Mengalami kesulitan
mengungkapkan afeksi dan respons positif lainnya.
e)
Merasa tidak
memiliki hak untuk memiliki perasaan dan pikiran sendiri.
Melalui
teknik permainan peran, terapis akan memperlihatkan bagaimana kelemahan klien
dalam situasi nyata. Kemudian klien akan diajarkan dan diberi penguatan untuk
berani menegaskan diri di hadapan orang lain.
3.
Time-Out
Merupakan teknik aversif yang sangat ringan. Apabila tingkah laku yang tidak diharapkan muncul, maka klien akan dipisahkan dari reinforcement positif. Time-out akan lebih efektif bila dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya lima menit. Contoh kasus: seorang anak yang senang memukul adiknya akan dimasukkan dalam kamar gelap selama lima menit bila terlihat melakukan tindakan tersebut, karena takut akan dimasukkan ke kamar gelap kembali, biasanya anak akan menghentikan tindakan yang salah tersebut.
Merupakan teknik aversif yang sangat ringan. Apabila tingkah laku yang tidak diharapkan muncul, maka klien akan dipisahkan dari reinforcement positif. Time-out akan lebih efektif bila dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya lima menit. Contoh kasus: seorang anak yang senang memukul adiknya akan dimasukkan dalam kamar gelap selama lima menit bila terlihat melakukan tindakan tersebut, karena takut akan dimasukkan ke kamar gelap kembali, biasanya anak akan menghentikan tindakan yang salah tersebut.
4.
Implosion dan Flooding
Teknik
implosion mengarahkan klien untuk
membayangkan situasi stimulus yang mengancam secara berulang-ulang, karena
dilakukan terus-menerus sementara konsekuensi yang menakutkan tidak terjadi,
maka diharapkan kecemasan klien akan tereduksi atau terhapus. Menurut Stampfl (dalam
Lubis, 2011). Terapi implosion adalah
teknik yang menantang pasien untuk "menatap mimpi-mimpi buruknya." Ia
menambahkan bahwa teknik implosion
sangat bagus digunakan untuk pasien gangguan jiwa yang berada di rumah sakit,
klien neurotik, klien psikotik, dan fobia. Sementara itu menurut Corey (dalam
Lubis, 2011) flooding merupakan
teknik di mana terjadi pemunculan stimulus yang menghasilkan kecemasan secara
berulang-ulang tanpa pemberian reinforcement.
Klien akan membayangkan situasi dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan
klien tersebut. Flooding bersifat
lebih ringan karena situasi yang menimbulkan kecemasan tidak menyebabkan
konsekuensi yang parah.
Selain teknik-teknik yang telah dikemukakan di atas,
Corey (dalam Lubis, 2011) menambahkan beberapa teknik yang juga diterapkan
dalam terapi behavioristik. Diantaranya, adalah:
1.
Reinforcement
positif
Adalah teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran
segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Contoh: senyuman,
persetujuan, pujian, bintang emas, medali, uang, dan hadiah lainnya. Pemberian
reinforcement positif dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku
baru yang telah terbentuk.
2.
Modelling
Dalam teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam hal ini, terapis dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien .
Dalam teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam hal ini, terapis dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien .
3. Token Economy
Teknik ini dapat diberikan apabila persetujuan dan
penguatan lainnya tidak memberikan kemajuan pada tingkah laku klien. Metode ini
menekankan penguatan yang dapat dilihat dan disentuh oleh klien (misalnya
kepingan logam) yang dapat ditukar oleh klien dengan objek atau hak istimewa
yang diinginkannya. Token economy dapat dijadikan pemikat oleh klien untuk
mencapai sesuatu. Misalnya, pada anak pemalas, bila ia bersedia untuk menyapu
rumahnya, ia akan diberi satu logam. Bila berhasil mengumpulkan 10 logam, anak
tersebut akan dibelikan sepeda.
G.
Kelebihan dan Kelemahan
Behavior Therapy
Kelebihannya,
yaitu:
1. Ada hasil konkrit/ nyata yang didapat (yaitu perubahan
perilaku). Jika client centered therapy,
humanistik, dll lebih bersifat abstrak dan menakankan pada insight yang diperoleh klien.
2. Pembuatan tujuan terapi antara terapis dan klien di
awal sesi terapi dan hal itu dijadikan acuan keberhasilan proses terapi.
3.
Memiliki berbagai macam teknik konseling yang teruji dan selalu
diperbaharui.
4.
Waktu konseling relatif singkat.
5.
Kolaborasi yang baik antara konselor dan konseli dalam penetapan
tujuan dan pemilihan teknik.
Kelemahannya,
yaitu:
1.
Behavior therapy
dapat mengubah perilaku, tetapi tidak mengubah perasaan.
2.
Behavior therapy mengabaikan
faktor-faktor penting dalam hubungan terapi.
3.
Behavior therapy tidak
menimbulkan insight.
4.
Behavior therapy lebih
mementingkan memperlakukan simtom-simtomya daripada penyebab.
5.
Behavior therapy meliputi
kontrol dan manipulasi oleh terapis.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. (1996).
Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Brooks Cole.
Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar
Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar