Sabtu, 05 Januari 2013

Multikulturalisme

Multikulturalisme

  
Definisi Multikulturalisme
           Secara etimologis, multikultural berasal dari kata multi, yang artinya banyak/beragam dan kultural, yang berartikan budaya. Keragaman budaya, itulah arti dari multikultural. Keragaman budaya mengindikasikan bahwa terdapat berbagai macam budaya yang memiliki ciri khas tersendiri, yang saling berbeda dan dapat dibedakan satu sama lain. Paham atau ideologi mengenai multikultural disebut dengan multikulturalisme. Mengacu pada wikipedia (2012), multikulturalisme memiliki beberapa definisi sebagai berikut:
Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007).
Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).
                Berdasarkan pendapat para tokoh diatas, dapat disimpulkan bahwa multikulturalisme adalah suatu paham/ideologi mengenai pemahaman, penerimaan dan penghargaan terhadap realitas keragaman, pluralitas, terhadap berbagai macam budaya yang ada di dunia ini. Jadi, multikulturalisme adalah paham/pandangan yang tidak menjadikan berbagai macam budaya yang saling berbeda satu sama lain  sebagai sesuatu yang harus didiskriminasikan. Melainkan menjadikan perbedaan tersebut sebagai sesuatu yang unik, yang dapat dipelajari, diterima, dan dihargai.    

Multikulturalisme vs Bhineka Tunggal Ika
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices” (Parekh, dalam wikipedia, 2012). Multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia pada dasarnya merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau dimana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Hal ini menyebabkan keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat, hal ini terjadi karena kebanyakan masyarakat Indonesia belum memahami apa itu konsep multikulturalisme dan tiap sukunya memiliki identitas diri yang sangat kuat. Hal ini menyebabkan tiap suku saling mempertahankan budayanya sendiri dan membentuk perisai bagi suku lain sehingga kurang terbentuknya ikatan sosial antar suku yang satu dengan suku yang lain. Sebagai contoh, orang Aceh yang tinggal di pulau Jawa kemudian menjadi pengusaha sukses akan cenderung memilih dan menerima pegawai yang merupakan orang Aceh walaupun ketrampilannya kurang (jauh di bawah)  orang Jawa yang juga melamar pekerjaan di perusahaan tersebut.
Fenomena tersebut terjadi karena sesama masyarakat Aceh memiliki ikatan/ hubungan emosional yang sangat kuat serta kecenderungan untuk mempertahankan identitas yang tinggi. Hal seperti inilah yang membuat masyarakat Indonesia mudah dipecah belah, mudah diadu domba, mudah di rusak, karena pada diri setiap masyarakat Indonesia belum memiliki rasa identitas yang kuat sebagai masyarakat indonesia, belum memiliki kedekatan/ikatan emosional dengan sesama masyarakat indonesia. Mereka hanya memiliki identitas yang kuat dan ikatan emosional antar sesama suku mereka (misal antar orang Jawa dengan orang Jawa), bukan  antar suku Jawa dengan suku lainnya. Dari fenomena ini terlihat bahwa dari berbagai macam suku yang ada di Indonesia, ternyata beberapa masyarakat dari tiap sukunya belum dapat memahami, menerima, dan menghargai suku lainnya yang berbeda darinya. Padahal mereka berada dalam satu nama, satu wilayah, satu bangsa, satu bahasa, yaitu Indonesia.

Sayur Asem vs Kopi Susu 

              Berdasarkan artikel yang ditulis oleh Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (seorang guru besar UI) dari koran Sindo yang saya baca, beliau mengulas sesuatu yang menarik yang berkaitan dengan budaya. Seperti yang kita ketahui bahwa negara Amerika Serikat, dulunya merupakan sebuah daratan yang tidak berpenghuni yang ditemukan oleh Christoper Colombus. Awalnya disana  terdapat beberapa suku Indian (suku asli yang ada di daratan tersebut) yang pada akhirnya mereka semua terbunuh. Setelah itu berbagai macam orang dari berbagai negara dan budaya pindah ke daratan tersebut. Orang Inggris, Belanda, Afrika, Asia, dan lain-lain beberapa diantaranya pindah ke daratan kosong tersebut yang sekarang dikenal dengan nama Amerika Serikat. Hal itu membuat negara tersebut dihuni oleh berbagai macam orang dari budaya yang berbeda-beda.
Namun uniknya, negara Amerika Serikat memiliki masyarakat yang sangat kuat identitasnya sebagai warga negara Amerika, mereka memiliki rasa kesatuan yang kuat sebagai orang Amerika, bukan lagi sebagai orang Belanda, Inggris, Afrika ataupun Asia walaupun mereka dulu berasal dari salah satu negara tersebut. Istilah untuk fenomena tersebut adalah melting pot, yaitu meleburnya berbagai macam budaya menjadi satu kesatuan, yang memiliki satu identitas. Seperti halnya negara Amerika yang terdiri dari orang-orang dari berbagai macam budaya yang berbeda, yang kemudian melebur menjadi satu kesatuan yaitu sebagai warga negara Amerika.

Fenomena tersebut dianalogikan oleh  Dr. Sarlito Wirawan Sarwono seperti kopi susu. Kopi susu terdiri dari 4 unsur yaitu air, gula , kopi dan susu. Ketika keempat unsur tersebut dicampur akan menjadi kopi susu yang ketika diminum tidak terasa lagi yang mana kopinya, mana susunya, yang mana gula atau airnya, artinya kopi susu merupakan suatu rasa yang khas. Ketika keempat unsur (air, gula, kopi, dan susu) yang merupakan satu kesatuan yang berbeda dicampur menjadi satu, menjadi sebuah kopi susu, maka kita tidak akan dapat lagi menemukan masing-masing unsurnya. Hal itulah yang terjadi di Amerika Serikat. Negara Amerika yang terdiri dari orang-orang yang berasal dari negara dan budaya yang berbeda-beda, memunculkan suatu perasaan identitas dan kesatuan yang kuat sebagai warga negara Amerika. Tidak terlihat lagi yang mana orang Inggris, Belanda, Jerman, Afrika, ataupun Indonesia disana, yang terlihat adalah mereka semua sebagai orang Amerika.
                Hal tersebut mencerminkan Bhineka Tunggal Ika yang baik, yaitu meski berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Mereka merasa menyatu, memiliki ikatan emosional yang erat walaupun tadinya mereka berasal dari negara yang saling berbeda. Rasa kesatuan yang dimiliki bukan hanya  karena mereka berada dalam suatu wilayah/negara yang sama, melainkan mereka telah menganggap satu sama lain sebagai saudara atau sesama warga negara Amerika. Bhineka Tunggal Ika di Indonesia sangat berbeda sekali dengan yang ada di Amerika.  

Suku di Indonesia

          






  
Bhineka Tunggal Ika versi Indonesia dianalogikan oleh beliau seperti sayur asem. Jika tadi di Amerika seperti halnya kopi susu, yang sudah menjadi satu, tidak terlihat lagi masing-masing berasal dari negara mana, yang ada hanya warga bernegaraan Amerika, kalau di Indonesia seperti halnya sayur asem. Seperti yang kita ketahui bahwa di dalam sayur asem terdapat jagung, melinjo, labu, nangka, kacang-kacangan, dan daun-daunan. Masing-masing unsur tersebut berada dalam satu mangkok yang bernama sayur asem, namun masing-masing unsur masih dapat terlihat dan memiliki rasa khasnya masing-masing.
                Dalam semangkok sayur asem, jagung memiliki rasa khasnya tersendiri, begitu pula kita masih dapat merasakan labunya, nangkanya, melinjo, maupun daun-daunan yang masing-masing ketika di makan memiliki rasa yang berbeda satu sama lain. Hal ini seperti Bhineka Tunggal Ika yang ada di Indonesia, walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu. Namun di Indonesia, perbedaan-perbedaan tersebut masing-masing tetap kuat. Orang Jawa dengan budayanya yang halus, lembut dan memiliki wayang sebagai seni khas budayanya. Orang Aceh yang gigih, berbicara dengan suara yang lantang, dan memiliki masakan padang sebagai makanan khasnya.
                Rasa identitas yang kuat di masing-masing suku yang ada di Indonesia, dan merasa lebih bangga sebagai warga yang mewakili sukunya tersebut daripada menjadi warga yang mewakili negara Indonesia, menjadikan bangsa Indonesia terlihat kurang erat. Maka dari itu tidak heran jika banyak orang asing (orang luar) yang ingin mengadu domba atau memecah belahkan bangsa Indonesia. Masyarakat Eropa atau Asia sudah mengetahui kelemahan dari bangsa indonesia ini, dimana masing-masing masyarakatnya sangat rentan/rapuh jika sudah memasuki hal-hal yang berkaitan dengan etnis. Namun, antara Indonesia yang seperti sayur asem maupun Amerika yang seperti kopi susu, memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.  

Sejarah Multikulturalisme   

                Sejarah mengenai multikulturalisme ini mengacu pada wikipedia (2012). Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif. Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Afrika pada tahun 1999. Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit. Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Inggris dan Perancis, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan multikulturalisme. Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dan Jerman, dan beberapa negara lainnya.
Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, dalam wikipedia, 2012) meringkas uraian Parekh:
1.    Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2.   Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4.  Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5.    Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing.

Kesimpula
 

Dari penjelasan diatas maka dapat saya simpulkan bahwa memahami multikulturalisme itu sangatlah penting. Selain kita dapat memahami, menerima dan menghargai keragaman budaya yang ada, kita juga dapat memperkuat ikatan emosional antar suku dari budaya yang berbeda. Dengan menerima adanya keragaman budaya, kita tidak lagi memandang perbedaan budaya menjadi sesuatu yang ‘berbeda’ melainkan menjadikan perbedaan tersebut sebagai keragaman untuk memperkaya budaya. 
  
                Indonesia sebagai negara kepulauan yang terdiri dari banyak suku yang memiliki ciri khasnya masing-masing serta rasa identitas yang kuat, menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang kaya akan budaya. Mungkin jika Indonesia seperti halnya Amerika yang semua budaya di dalamnya melebur menjadi satu kesatuan, akan menjadi negara yang miskin budaya. Indonesia dapat menjadi negara yang unggul dari kekayaan budaya yang dimilikinya. Kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia ini merupakan hasil dari rasa identitas yang kuat dari tiap suku yang ada di Indonesia.   



Daftar Pustaka

Sarwono, Wirawan Sarlito. (2012). Kopi Susu. Seputar Indonesia, Hal. 1. Tanggal 2 Desember 2012
Pratama,Putra.(2008).MakalahMultikulturalisme.http://my.opera.com/Putra%20Pratama/blog/show.dml/2743875. Diakses tanggal 24 desember 2012
Anonim. (2012). Multikulturalisme. http://id.wikipedia.org/wiki/Multikulturalisme. Diakses tanggal 24 desember 2012.