A.
Pengertian Psikologi Lintas Budaya dan Dampaknya terhadap
Kebenaran-Kebenaran Psikologis
Psikologi
Lintas Budaya merupakan salah satu cabang psikologi yang menaruh perhatian pada
pengujian batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari berbagai
budaya yang berbeda. Menurut Matsumoto (2004), dalam pengertian yang paling sempit,
penelitian lintas budaya adalah dilibatkannya partisipan dari latar
belakang budaya yang berbeda dan pengujian terhadap kemungkinan terhadap adanya
perbedaan antar para partisipan tersebut. Dalam pengertiannya yang lebih luas,
psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman apakah kebenaran
dan prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua
budaya) atau khas budaya (culture
specific, berlaku bagi orang-orang tertentu dalam budaya-budaya tertentu). Psikologi lintas-budaya adalah
cabang dari psikologi yang melihat bagaimana faktor-faktor budaya mempengaruhi perilaku
manusia. The
International Association of Cross-Cultural Psychology (IACCP) yang didirikan
pada tahun 1972, menjadi lembaga yang terus tumbuh dan berkembang sejak saat
itu. Psikologi
lintas budaya tidak terbatas pada topik-topik tertentu saja, dengan kata lain,
ahli psikologi lintas budaya tertarik pada beragam fenomena, dari persepsi
sampai bahasa, dari pengasuhan anak sampai psikopatologi. Dengan demikian, yang
membedakan psikologi lintas budaya dengan psikologi “tradisional” atau
“mainstream” bukanlah pada fenomena yang diperhatikan, tetapi lebih kepada
pengujian apakah suatu pengetahuan dapat diterapkan pada berbagai orang dengan
latar belakang budaya yang berbeda (Matsumoto, 2004). Dengan begitu, para ahli
psikologi dapat menerapkan teknik-teknik lintas budaya untuk menguji
keuniversalan atau kekhasan budaya (cultural specifity) pada semua aspek
perilaku manusia.
Menurut
para ahli, pengertian psikologi lintas budaya meliputi :
Ecksenberger (1972)
Mengatakan bahwa penelitian lintas
budaya dalam psikologi adalah perbandingan variabel psikologis secara
sistematis dan jelas dalam kondisi budaya yang berbeda dalam rangka untuk
menentukan pendahulu dan proses yang menengahi munculnya perbedaan perilaku.
Brislin, Lonner, Thorndike (1973)
Mengatakan bahwa Psikologi Lintas
Budaya adalah studi empiris mengenai anggota berbagai kelompok budaya yang
telah memiliki perbedaan pengalaman yang mengarah pada tanda dan perilaku
berbeda yang dapat diprediksi. Mayoritas penelitian yang dilakukan adalah
penelitian pada kelompok yang berbicara dengan bahasa yang berbeda dan diatur
oleh unit politik yang berbeda.
Matsumoto (2004)
Mengatakan bahwa penelitian tentang
psikologi lintas budaya adalah berbagai macam tipe penelitian tentang perilaku
manusia yang memperbandingkan antara dua atau lebih budaya yg ada.
Berry (1992)
Mengatakan bahwa Psikologi Lintas Budaya
adalah studi tentang persamaan dan perbedaan fungsi psikologis individu dalam
berbagai budaya dan kelompok etnis, serta hubungan antara variabel psikologis
dan budaya sosial, ekologi, variabel biologi, serta perubahan variabel-variabel
tersebut. Psikologi
lintas budaya berkutat dengan kajian sistematis mengenai peilaku dan
pengalaman, sebagaimana pengalaman itu terjadi dalam budaya berbeda yang dipengaruhi
budaya yang bersangkutan.
Segall, Dasen, dan Poortinga (1990)
Mengatakan bahwa Psikologi Lintas
Budaya adalah kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya,
skaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh
kekuatan-kekuatan sosial budaya. Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua
hal pokok yaitu, keragaman perilaku manusia didunia dan kaitannya antara
perilaku individu dengan konteks budaya.
Dengan begitu dapat disimpulkan, Psikologi Lintas Budaya adalah
suatu cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari dan menelaah setiap perilaku
manusia dalam budaya yang berbeda-beda sehingga diperoleh pemahaman yang
komprehensif mengenai perbedaan dan persamaan perilaku, pikiran, dan emosi
setiap manusia dalam budaya yang berbeda.
B.
Definisi Budaya
Budaya adalah sebuah
konsep yang cukup sulit didefinisikan secara formal. Menurut (Barnouw dalam
Matsumoto,2004) budaya adalah sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku
yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu
generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi
lain. Definisi budaya menurut tokoh tersebut bersifat “kabur”, artinya tidak
ada aturan yang baku dan ketat untuk menentukan siapa-siapa dan bagaimana
orang-orang yang termasuk dalam budaya tersebut. Jadi dalam pengertian budaya
di atas, bukan berarti orang dengan bangsa indonesia, misalnya, harus menganut
budaya indonesia (yang lebih dikenal dengan budaya timur). Tidak menutup
kemungkinan orang yang tinggal dan hidup di indonesia tetapi menganut sikap,
nilai dan keyakinan-keyakinan dari negeri barat.
Budaya tidak harus
berakar dalam biologi. Dengan kata lain, budaya tidak sama dengan ras. Memang
benar bahwa orang-orang dengan warisan ras yang sama secara umum mengalami
proses sosialisasi yang sama, dan enkulturisasi dengan cara yang mirip. Namun
juga benar bahwa ras tidak harus berkorespondensi satu lawan satu dengan
budaya. Terlahir dalam suatu ras (bangsa) tertentu tidak berarti harus
mengadopsi budaya yang secara stereotip tipikal khas ras tersebut.
Budaya juga bukan
kebangsaan (nasionalitas). Bila seseorang berasal dari korea, misalnya, belum
tentu ia akan bertindak sesuai dengan budaya dominan korea atau sesuai dengan
stereotip orang korea. Seperti halnya budaya tidak harus sesuai dengan ras atau
stereotip-stereotip rasial, budaya juga tidak harus sesuai dengan kebangsaan
atau kewarganegaraan. Dalam pengertian ini, budaya merupakan suatu konstruk
individual-psikologis sekaligus suatu konstruk sosial-makro. Artinya, sampai
batas tertentu, budaya ada di dalam masing-masing diri kita secara individual
sekaligus ada sebagai konstruk sosial-global.
C. Ruang Lingkup dan Kajian Psikologi Lintas Budaya
Ruang lingkup psikologi lintas
budaya, meliputi penelaahan terhadap perbedaan dan persamaan perilaku, pikiran,
dan emosi masyarakat dalam suatu etnis tertentu dalam konteks budaya. Sebagai
contoh, menelaah perbedaan perilaku dalam suatu kelompok etnis dengan kelompok
etnis lainnya, misalnya, suku dayak dengan suku badui. Sedangkan kajian psikologi
lintas budaya menurut Matsumoto (2004), terdiri dari:
1.
Pewarisan
dan perkembangan Budaya
2.
Budaya
dan Diri
3.
Persepsi
(Pengaruh Budaya terhadap Persepi)
4.
Kognisi
dan Perkembangannya
5.
Psikologi
Perkembangan
6.
Bahasa
7.
Emosi
8.
Psikologi
Abnormal
9.
Psikologi
Sosial
D. Tujuan Psikologi Lintas Budaya
Tujuan dari
psikologi lintas-budaya adalah untuk mengetahui, membedakan dan memperoleh
pemahaman mengenai fungsi psikologis (seperti, pikiran, emosi, dan perilaku
individu) dalam berbagai etnis dan budaya. Hal tersebut mencakup pengetahuan
mengenai apa saja perilaku yang bersifat universal (berlaku sama dalam semua
budaya di dunia, bersifat lintas budaya) dan apa saja perilaku yang bersifat spesifik
(hanya berlaku dalam suatu budaya tertentu). Selain itu juga untuk melihat dan
mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan budaya terhadap perilaku, pikiran dan
emosi tesebut. Secara garis besar, adanya psikologi lintas budaya adalah untuk
menguji apakah suatu pengetahuan dapat diterapkan pada berbagai
orang dengan latar belakang budaya yang berbeda.
E.
Etik, Emik, Etnosentrisme dan Stereotip
Etik
dan emik adalah kedua istilah yang sangat terkait dengan keuniversalan atau
kekhasan budaya pengetahuan dan kebenaran. Etik mengacu pada temuan-temuan yang
tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik
mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Emik sebaliknya, mengacu
pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan
demikian emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya (specific culture). Jika kita mengetahui
sesuatu tentang perilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal
itu adalah suatu etik (universal), maka kebenaran tersebut adalah kebenaran
bagi semua orang dari budaya apapun. Kemudian jika yang kita ketahui tetang
perilaku manusia ternyata adalah suatu emik (bersifat khas budaya), maka apa
yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang
dari budaya lain. Kebenaran dalam hal ini adalah hal yang relatif bukan
absolut.
Terdapat
banyak contoh etik dan emik dalam psikologi lintas budaya. Bahkan mungkin bisa
dikatakan bahwa tujuan utama psikologi lintas budaya sebagai sebuah disiplin
adalah untuk memeriksa mana aspek perilaku manusia yang merupakan etik dan mana
yang merupakan emik. Secara umum, sebagian besar ahli psikologi lintas budaya sepakat
bahwa jumlah emik sama dengan, atau bahkan lebih banyak dari etik. Artinya,
orang dari budaya yang berbeda menemukan cara yang berbeda dalam kebanyakan
aspek perilaku manusia. Setiap budaya berevolusi dengan cara khasnya
masing-masing untuk menangani perilaku manusia dengan gaya yang paling efisien
dan sesuai agar sukses bertahan hidup. Cara-cara ini akan berbeda tergantung
pada kepadatan penduduk, ketersedian makanan dan sumber-sumber lain, dst.
Adanya
banyak emik, atau perbedaan kultural bukan sesuatu yang problematis. Namun,
permasalahan secara potensial akan muncul ketika kita mencoba menafsirkan
alasan yang mendasari atau yang menyebabkan adanya berbagai perbedaan itu. Hal
itu terjadi karena setiap orang memiliki budaya yang berbeda-beda, untuk itu
kita cenderung melihat sesuatu dari kacamata latar belakang budaya kita
sendiri. Tidak jarang jika kita sering menarik kesimpulan mengenai perilaku
orang lain berdasarkan keyakinan atau budaya kita. Maka dari itu penafsiran
kita tentang perilaku orang lain dapat sangat melenceng jauh. Sebagai contoh
ketika kita sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita dari suatu budaya
lain. Kemudian wanita itu tidak melakukan kontak mata dengan kita ketika sedang
berbicara. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya bila antar mata saling
bertemu pandang. Jika dipandang dari budaya barat, mungkin wanita tersebut
merasa tidak nyaman dengan kita. Namun wanita tersebut bisa saja berasal dari
sebuah budaya dimana orang tidak dianjurkan untuk menatap/memandang secara
langsung, karena itu dianggap sebagai tanda keangkuhan atau penghinaan.
Terkadang
kita tidak bisa memisahkan diri kita dari latar belakang dan bias-bias budaya
kita sendiri dalam memahami perilaku orang lain. Hal ini disebut sebagai
etnosentrisme. Etnosentrisme berkaitan erat dengan stereotip, yaitu sikap,
keyakinan, atau pendapat yang baku tentang orang-orang yang berasal dari budaya
lain (Matsumoto,1994).
Hubungan Psikologi
Lintas Budaya dengan Disiplin Ilmu Lain
Adanya hubungan dengan
disiplin ilmu lainnya membuat psikologi lintas budaya menjadi lebih kaya akan
ilmu, lebih luas, lebih fleksibel, lebih berkembang dan tidak bersifat statis
dalam mempelajari perilaku manusia dalam konteks budaya yang beragam. Berikut
disajikan hubungan berbagai disiplin ilmu lainnya terhadap psikologi lintas
budaya.
·
Psikologi Lintas Budaya dengan Kepribadian
Pada
ranah individual, budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk
membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan
masing-masing dan saling memberikan pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk,
setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa
perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap
tempat dan situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain
dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat
bahwa budaya sangat mempengaruhi perilaku individu. Kajian lintas budaya
merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi
budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan. Salah satu tokoh psikologi, Kurt Lewin,
menjelaskan mengenai peranan penting hubungan pribadi dengan lingkungan.
Meksipun terdapat konstruk psikologis individu yang sulit ditembus oleh
lingkungan luar, lingkungan masih tetap memiliki kontribusi dalam perkembangan
individu. Dalam teori Medan yang digagas Lewin ini, pribadi tak dapat
dipikirkan secara terpisah dari lingkungannya. Sedangkan Kelly mendefinisikan
budaya sebagai bagian yang terlibat dalam proses harapan-harapan yang
dipelajari/dialami. Orang-orang yang memiliki kelompok budaya yang sama akan
mengembangkan cara-cara tertentu dalam mengonstruk peristiwa-peristiwa, dan
mereka pun akan mengembangkan jenis-jenis harapan yang sama mengenai
jenis-jenis perilaku tertentu. Terdapat suatu benang merah antara pendapat
Lewin dan Kelly. Individu senantiasa bersinggungan dengan dunianya
(lingkungan). Sementara itu, sebagai masyarakat dunia, manusia mungkin
saja mengembangkan kebudayaan yang hampir sama antara satu masyarakat dengan
masyarakat lainnya.
Jika
diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan yang disebabkan
oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya buruk mempengaruhi
kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya berbagai masalah yang tidak di
inginkan akan terjadi secara terus-menerus. Sebagai contoh, ketika budaya
berpakaian minim bagi kaum perempuan masuk ke Indonesia, muncul berbagai
perdebatan.
Hal
pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah
perbedaan diantara keberagaman budaya dalam memberi definisi kepribadian. Dalam
literatur-literatur Amerika umumnya, kepribadian dipertimbangkan sebagai
perilaku, kognitif dan predisposisi yang relatif abadi. Definisi lain
menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran,
perasaan dan perilaku yang berbeda antara individu dan cenderung konsisten
dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini, yaitu
kekhususan (distinctiveness) serta stablilitas dan konsistensi (stability and
consistency). Semua definisi di atas menggambarkan bahwa kepribadian didasarkan
pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan interaksi. Dalam
budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya
timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization).
Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu
berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.
Budaya dan Perkembangan Kepribadian
Kepribadian manusia
selalu berubah sepanjang hidupnya menuju arah karakter yang lebih jelas dan
matang. Perubahan-perubahan tersebut yang mempengaruhi lingkungan dengan
fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber Band
Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana
faktor-faktor genetik menentukan sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik
(direntangkan) dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban
karet tersebut akan ditarik atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat
disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian
seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal
bersama orangtua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan
perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan. Selain
itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin
bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin
pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of
control dirinya semakin mengarah keluar (eksternal).
Psikologi Indigenous dan Budaya
Suatu kenyataan merangsang perlunya kajian-kajian yang bersifat lokal atau
indigenous personality yang mampu memberi penjelasan mengenai kepribadian
individu dari suatu budaya secara mendalam. Indigenous Personality merupakan
konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya
tertentu dan relevan hanya pada budaya tersebut.Sebagai contoh kajian
indigenous personality adalah penelitian yang dilakukan Doi (1973). Doi
mengemukakan "Amae" yang dikatakan sebagai inti konsep dari
kepribadian orang-orang Jepang. Amae berakar pada kata ‘manis’, dan secara
perlahan dirujukkan sebagai sifat pasif, ketergantungan antar individu.
Dipaparkan pula bahwa Amae berakar pada hubungan antara bayi dengan ibunya.
Menurut Doi, hubungan seluruh orang Jepang dipengaruhi dan
berkarakteristik Amae, sebagaimana Amae ini secara mendasar mempengaruhi
budaya dan kepribadian orang Jepang. Suatu konsep yang memandang kepribadian
sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep hubungan sosial.
Temuan
mengenai Amae di atas menunjukkan adanya perbedaan konsep kepribadian antara
orang Jepang dan orang Amerika. Para Psikolog Amerika memandang bahwa yang
menjadi inti kepribadian adalah konsep Ego. Ego disebut ekslusif kepribadian
karena Ego mengontrol pintu-pintu kearah tindakan, memilih segi-segi lingkungan
kemana ia dan bagaimana caranya, serta memiliki kuasa mengontrol proses-proses
kognitif berupa persepsi, memori dan berpikir. Tujuan terpenting dari Ego
adalah mempertahankan kehidupan individu. Konsep yang memandang kepribadian
sebagai suatu yang bersifat otonom.
· Psikologi
Lintas Budaya dengan Psikologi Indigenous
Psikologi Indigenous sangat berkaitan erat dengan pengaplikasian teori psikologi
barat ke dalam psikologi timur. Membahas Psikologi
Indigenous maka berarti juga akan berbicara mengenai perkembagan ilmu
psikologi itu sendiri, kemudian mengarah kepada budaya orang setempat, dan
terakhir penelitian psikologi. Di satu sisi psikologi barat memang dibutuhkan,
namun di lain pihak karakteristik kultural budaya setempat juga mulai
mendapatkan perhatian. Artinya, untuk memahami perilaku manusia di belahan bumi
lain harus digunakan basis kultur dimana manusia itu hidup. Selain itu,
diperlukan juga adanya integrasi antara perspektif barat dan timur untuk
mencari kesamaan-kesamaan dan atau menjawab permasalahan yang tengah dihadapi
masyarakat setempat.
Kuang-Kuo
Hwang (2004) dalam artikelnya berjudul “The epistemological goal of
indigenous psychology: The perspective of constructive realism,” Psikologi
Indigenous muncul pertama kali pada tahun 1970an di kawasan Asia. Pada waktu
itu, banyak psikolog di negara non-barat yang mengadopsi konsep-konsep dan
metodologi penelitian yang berkembang di barat untuk diaplikasikan di tempat
asal mereka. Namun, setelah diterapkan di tempat asal, ditemukan adanya
ketidakrelevanan antara konsep barat dengan bahasan psikologi masyarakat di
bagian timur. Konsep dan metodologi penelitian dari barat juga tidak mampu
dalam memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi oleh masyarakat setempat
dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga, kemudian muncul Psikologi Indigenous sebagai jawaban
atas keprihatinan para psikologi non-barat.
· Psikologi
Lintas Budaya dengan Antropologi
Ilmu antropologi menekankan pada pengertian
tentang manusia dengan mempelajari aneka warna kulit, bentuk fisik, kepribadian
masyarakat serta kebudayaannya. Kaitannya dengan psikologi lintas budaya yaitu
bagaimana manusia dapat memahami adanya perbedaan aneka warna kulit, bentuk
fisik, dan kepribadian antara sesama manusia sehingga manusia itu dapat
menyesuaikan perilakunya dengan berbagai kebudayaan lainnya. Dengan begitu,
manusia dapat berelasi baik dan harmonis dengan manusia lainnya yang
memiliki budaya berbeda.
· Psikologi
Lintas Budaya dengan Sosiologi
Sosiologi
sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu Socius yang berarti kawan atau teman
dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan. Sosiologi bisa diartikan sebagai ilmu
pengetahuan tentang masyarakat, “ Cours De Philosophie Positive” karangan
August Comte (1798-1857). Menurut Allan Jhonson, sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu
sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana
pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Definisi lain
mengenai sosiologi dikemukakan oleh Emile Durkheim, sosiologi dalam definisinya
adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang
mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu
di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
Dari
penjelasan-penjelasan tersebut, terlihat jelas adanya keterkaitan yang erat
antara psikologi lintas budaya dengan ilmu sosiologi, pada dasarnya
kedua-duanya memiliki fokus yang tidak berbeda jauh, yaitu manusia secara
individu dan kelompok serta interaksi yang terjadi di dalamnya. Dari interaksi
itulah timbul sikap saling mempengaruhi antara satu dan yang lainnya, yang
lambat laun akan menghasilkan budaya-budaya unik berdasar pada kebiasaan
ataupun pola hidup yang secara terus-menerus dijalani sekelompok individu
bersama-sama.
Sumber Referensi:
Matsumoto,
David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas
Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Matsumoto,
David dan Linda Juang. 2004. Culture and
Psychology. Canada:Wadsworth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar