Sabtu, 13 Oktober 2012

Pengaruh Transmisi Budaya terhadap Perkembangan Psikologis Individu

Transmisi Budaya


Transmisi Budaya adalah suatu upaya atau proses dalam menyampaikan sikap, keyakinan, nilai-nilai, pengetahuan dan juga ketrampilan dari suatu generasi kepada generasi selanjutnya, sehingga budaya tersebut dapat tetap dipertahankan nilai-nilainya. Pengertian transmisi budaya, juga mencakup bagaimana menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Fungsi transmisi budaya masyarakat kepada anak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) transmisi pengetahuan dan ketrampilan, (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma. 

Tarnsmisi pengetahuan mencakup pengetahaun tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, dan penemuan-penemuan teknologi. Dalam masyarakat industri yang komplek, fungsi transmisi pengetahuan tersebut sangat penting sehingga proses belajar di sekolah memakan waktu lebih lama, yang membutuhkan guru-guru serta lembaga khusus. Dalam arti yang sempit, transmisi pengetahuan dan keterampilan itu berbentuk vocasional training, sebagai contoh: di masyarakat ayah mengajarkan kepada anaknya cara membuat panah untuk perburuan binatang, sedangkan di sekolah teknik, anak belajar bagaimana caranya meperbaiki mobil. Perlu diingat bahawa sesungguhnya penegertian transmisi budaya tidak hanya terbatas pada mengajarkan kepada anak bagaimana cara belajar, melainkan juga bagaimana menemukan dan meciptakan sesuatu yang baru (4shared). 

Secara tradisonal, pengetahuan mengenai transmisi budaya berasal dari keluarga. Transmisi budaya melalui hubungan keluarga dan biologis dapat dijelaskan melalui budaya dan makna psikologis. Sebagai contoh, dalam budaya tertentu hubungan biologis kurang penting dalam transmisi budaya apabila tidak melahirkan anak laki-laki. Pengadopsian anak (biasanya laki-laki) dapat menjadi dasar untuk membentuk suatu keturunan (group family). Menurut Shore dalam  Schonpflug (1978) transmisi dilihat sebagai ‘penyebab’ dari etnopsikologi. Hal ini berkaitan dengan pendapat Bruner dalam Sconpflug (1978) yang memandang adanya hubungan antara budaya dan pikiran (mind): “.... How a people belive the mind works will ... have a profound effect on how in fact it is compelled to work if anybody is to get on in a culture” (p.xvii), yang kemudian menjelaskan bahwa kepercayaan subjektif (subjective beliefs) dari agen sosialisasi (orang tua dan guru) sebagai bagian dari sistem budaya akan mempengaruhi kepercayaan generasi selanjutnya.

Transmisi sebagai bentuk dari pengetahuan meliputi operasi kognitif primer. Namun, emosi yang tepat dan bagaimana mengekspresikannya juga berbeda-beda dalam budaya dengan beberapa tingkatan, seperti apa yang menjijikan dan apa yang tidak, bagaimana untuk menyadari hinaan dan bagaimana cara meresponnya, siapa yang dapat menjadi target afeksi dan bagaimana untuk menunjukan perasaan tersebut (Nisbett dan Cohen dalam jurnal Schlegel, 2011). Dasar dari emosi manusia juga berbeda-beda berdasarkan budaya.

Menurut Tomasello, Kruger, dan Ratner dalam Matsumoto dan Juang (2008) kemampuan unik dari manusia adalah dapat melihat berbagai perspektif (sudut pandang) dengan belajar mengenai budaya, belajar disini bukan hanya ‘dari’ orang lain tetapi juga ‘melalui’ orang lain. Seorang anak bukan hanya belajar dengan meniru orang dewasa tetapi juga dengan menginternalisasi pengetahuan dari orang lain melalui kognisi sosial mereka. Kita dapat melakukan hal tersebut karena kita memiliki kemampuan untuk memahami perspektif, keinginan, dan tujuan orang lain; kemudian kita menginternalisasinya dan belajar darinya. Budaya adalah sesuatu yang secara unik dipelajari oleh manusia (Tomasello dalam Matsumoto dan Juang, 2008). 

Mempelajari budaya tidak sederhana seperti membaca buku disuatu tempat dan mempelajarinya. Budaya harus dipelajari dalam proses yang panjang dengan banyak praktik. Dalam mempelajari budaya, kita sering membuat kesalahan, akan tetapi masyarakat, kelompok atau lembaga selalu berada di sekitar kita untuk membantu kita untuk mengoreksi kesalahan tersebut.  

Bentuk-Bentuk Transmisi Budaya

1.   Enkulturasi
Enkulturasi adalah proses dimana anak-anak muda belajar dan mengadopsi sikap dan tingkah laku dari lingkungan budaya mereka (Matsumoto dan Juang, 2008). Enkulturasi mengacu pada proses dimana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari budaya, bukan mewarisinya. Budaya ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang budaya. Enkulturasi terjadi melalui mereka (wikipedia).

2.   Sosialisasi
Sosialisasi adalah proses dimana kita belajar dan menginternalisasi aturan-aturan dan pola-pola yang ada di masyarakat dimana kita tinggal. Proses ini terjadi sepanjang waktu meliputi pembelajaran norma-norma sosial, sikap-sikap, nilai-nilai, dan sistem kepercayaan. Proses sosialisasi dimulai lebih awal, kemungkinan dari hari pertama ketika kita hidup (Matsumoto dan Juang, 2008). Jadi sosialisasi merupakan sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan, nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat.

3.   Akulturasi
Akulturasi adalah proses adaptasi pada suatu budaya yang berbeda dimana salah satu mengalami enkulturasi (Matsumoto dan Juang, 2008). Akulturasi sudah ada sejak dulu dalam sejarah budaya manusia. Akulturasi timbul sebagai akibat adanya kontak langsung yang terus-menerus antara kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda, sehingga diperolehnya unsur-unsur kebudayaan lain (Soejono Soekanto, 1982). Namun kebudayaan asli tetap dipertahankan nilai-nilainya, jadi pada akulturasi hanya timbul nilai-nilai dari kebudayaan lain tetapi tidak mengikis nilai-nilai yang terdapat pada kebudaya asli. Akulturasi dapat terwujud melalui kontak budaya yang bentuknya bermacam-macam antara lain: pertama, kontak budaya bisa terjadi antara seluruh anggota masyarakat atau sebagian saja, bahkan individu-individu dari dua masyarakat. Kedua, kontak budaya berjalan melalui perdamaian diantara kedua kelompok masyarakat yang bersahabat, maupun melalui cara permusuhan antar kelompok. Ketiga, kontak budaya timbul diantara masyarakat yang mempunyai kekuasaan, baik dalam politik maupun ekonomi (Imadiklus, 2012).
Terdapat sedikit perbedaan antara pengertian enkulturasi dan sosialisasi menurut Matsumoto dan Juang. Sosialisasi lebih kepada proses dan mekanisme dimana orang-orang mempelajari aturan-aturan masyarakat. Sedangkan enkulturasi lebih kepada produk/hasil dari proses sosialisasi tersebut, yang bersifat subjektif, pokok yang mendasari, dan aspek-aspek psikologis dari budaya yang kemudian terinternalisasi seiring dengan perkembangan (Matsumoto dan Juang, 2008).  


Pengaruh Bentuk-Bentuk Transmisi Budaya terhadap Perkembangan Psikologis Individu

Masa kanak-kanak adalah periode dinamis kehidupan. Pada periode ini salah satu aspek yang kemungkinan konstan dalam hal lintas budaya adalah bahwa setiap orang berkeinginan, berharap, anak mereka dapat tumbuh menjadi anak yang bahagia dan produktif ketika dewasa nanti. Akan tetapi arti dari ‘bahagia’ dan ‘produktif’ dalam berbagai budaya itu berbeda-beda. Namun hal itu tetap merupakan tujuan utama dalam perkembangan (Matsumoto dan Juang, 2008).
Masing-masing budaya memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenai ‘kebutuhan kompetensi’ anak agar mereka dapat berfungsi dengan baik. Sebagai contoh, budaya yang memiliki keyakinan bahwa pendidikan formal merupakan kebutuhan untuk menjadi sukses, maka nilai tersebut kemungkinan akan di tekankan pada masa kanak-kanak. Anak tersebut kemungkinan besar akan dikenalkan buku sejak usia muda. Kemudian pada budaya lain, yang memiliki keyakinan bahwa memintal dan menenun sebagai bagian dari kehidupan di masa dewasa nanti. Kemungkinan anak mereka akan menerima (diajari) keahlian tersebut lebih awal.
Masyarakat tidak menerima pengetahuan mengenai budaya secara pasif. Menurut (Bronfenbrenner dalam Matsumoto dan Juang, 2008) perkembangan manusia itu dinamis, artinya merupakan proses interaktif antara individu dengan lingkungannya dalam berbagai tingkatan. Tingkatan ini terdiri dari Microsystem (lingkungan yang berhubungan secara langsung, seperti keluarga, sekolah, teman sebaya, dimana anak berinteraksi secara langsung), Mesosystem (hubungan antara microsystem, seperti antara sekolah dan keluarga), Exosystem (konteks yang secara tidak langsung mempengaruhi anak, seperti tempat kerja orang tua), Macrosystem (budaya, agama, masyarakat) dan Chronosystem (waktu yang mempengaruhi sistem-sistem lainnya). Berdasarkan teori bronfenbrenner, dapat disimpulkan bahwa kita juga berkontribusi terhadap perkembangan diri kita, jadi kita ini juga aktif dalam menghasilkan diri yang berkembang. 
Agen dari sosialisasi dan enkulturasi adalah masyarakat, lembaga, dan organisasi. Agen yang pertama dan paling penting adalah orang tua, yang membantu menanamkan adat istiadat dan nilai-nilai kepada anak-anak mereka. Orang tua biasanya akan memberikan reward ketika anak-anak mereka mempelajarinya dan mempraktikannya dengan baik, sebaliknya akan memberikan hukuman ketika mereka melakukan kesalahan. Orang tua bukanlah satu-satunya agen sosialisasi. Saudara kandung, keluarga besar, dan teman sebaya juga merupakan agen sosialisasi dan enkulturasi yang tak kalah penting bagi kebanyakan orang. Kemudian organisasi-organisasi seperti sekolah, agama, dan kelompok sosial juga berperan penting.

Pola Asuh dan Keluarga
         Dengan mengamati pola asuh orang tua, maka kita akan melihat esensi dari budaya. Aturan-aturan budaya diperkuat (reinforced) dan berlalu dari generasi yang satu kepada generasi yang lain melalui interaksi orang tua kepada anak (Mead dalam Matsumoto dan Juang, 2008). Mempelajari bagaimana pola asuh orang tua, memberikan informasi mengenai apa yang penting dalam budaya tersebut. Beatrice dan John whiting mengadakan penelitian pada anak-anak dari enam budaya yang berbeda, meliputi Mexico, India, Kenya, Amerika, Okinawa, dan Filiphina. Fokus dari penelitian mereka adalah memahami bagaimana pengasuhan anak dan perilaku anak dalam konteks budaya yang berbeda-beda. Menurut Whiting dan Whiting dalam Matsumoto dan Juang (2008) perilaku sosial anak-anak dibagi menjadi beberapa range dimensi, yaitu:
  •  Nurturant-Resonsible ( perilaku merawat dan berbagi)
  • Dependent-Dominant (mencari bantuan dan tegas/dominan)
  • Sociable-Intimate (bertindak sosial)
  • Authoritarian-Aggressive (bertindak secara agresif)
Budaya dengan nuclear family, dimana suami dan istri tidur dan makan bersama dan suaminya juga ikut membantu dalam mengurus anak, maka skor kemampuan sosial (sociability) anaknya akan tinggi, sedangkan skor agresinya rendah. Sebaliknya pada keluarga patrilineal dengan keluarga besar (extended family), dimana suami dan istri tidak tidur dan makan bersama dan suaminya tidak diperbolehkan dalam mengurus anak, maka skor anak dalam kemampuan sosial akan rendah sedangkan skor agresinya akan tinggi. Wanita yang berperan sebagai pekerja juga memiliki kontribusi terhadap perilaku sosial anak. Dalam budaya dimana wanita sangat besar sekali perannya sebagai dasar dalam keluarga, anak-anaknya akan belajar berbagi tanggung jawab keluarga, dan skor akan ketergantungan (dependence) rendah. Sebaliknya, dalam budaya dimana wanita tidak memiliki kontribusi sebagai dasar keluarga dan tergantung pada pendapatan suami, anaknya akan belajar untuk lebih tergantung. 
Wu dan Chao dalam Matsumoto dan Juang (2008), meneliti mengenai bagaimana persepsi mengenai kehangatan pengasuhan berubah sebagai proses dari akulturasi terhadap remaja Cina di Amerika. Secara tradisional pada budaya Cina, dalam mengasuh tidak diperbolehkan menunjukan afeksi (rasa kasih sayang) kepada anak mereka secara langsung, seperti memeluk dan mencium. Remaja Cina di Amerika, sangat merasakan sekali perbedaan pola asuh dimana kasih sayang orang tua sangat terbuka dan ditunjukan. Remaja tersebut kemudian akan mengembangkan orang tua yang ideal. Wu dan Chao kemudian menemukan bahwa remaja Cina Amerika meyakini bahwa orang tua mereka tidak sehangat orang tua yang mereka idealkan.

Budaya dan Kelekatan (Culture and Attachment)

Kelekatan (attachment) adalah hubungan atau pertalian yang spesial yang berkembang antara bayi dengan pengasuh utamanya, yaitu ibu (Matsumoto dan Juang, 2008). Para ahli psikologi percaya bahwa kualitas kelekatan memiliki efek jangka panjang terhadap hubungan antara ibu dan bayi. Kelekatan memberikan rasa aman secara emosional. Seorang bayi akan merasa stres jika dipisahkan oleh ibunya.
Bowlby dalam Matsumoto dan Juang (2008) mengemukakan teori evolusi mengenai kelekatan, yang menjelaskan bahwa bayi telah di program sebelumnya atau memiliki dasar secara biologis untuk menjadi lekat (attached) dengan pengasuh utama mereka (ibu). Perilaku yang telah terbentuk secara bawaan ini mencakup perilaku tersenyum dan mendengkur yang diperoleh dari kelekatan fisik dengan ibu mereka. Bowlby juga berpendapat bahwa hubungan antara pengasuh dengan anak berfungsi sebagai strategi untuk bertahan hidup, dimana bayi mendapatkan kenyamanan dan perlindungan.

Pengklasifikasian Kelekatan (Attachment) 
Ainsworth dalam matsumoto dan Juang (2008) mengklasifikasikan pola kelekatan menjadi 3 jenis, yaitu: secure, ambivalent, dan avoidant. Ambivalent dan avoidant dapat dikatakan sebagai kelekatan yang tidak memiliki rasa aman. Bayi yang kelekatannya menimbulkan rasa aman (secure) akan menjadi stres ketika ibunya pergi meninggalkannya, tetapi mereka akan cepat merasa nyaman ketika ibu mereka kembali. Pada bayi yang kelekatannya bersifat ambivalent, juga akan mengalami stres ketika ibu mereka pergi, namun ketika ibu mereka kembali, mereka mengirimkan tanda yang bertentangan, yaitu mereka  merasa kembali nyaman, tetapi muncul waktu yang sulit untuk membiarkan ibu mereka menenangkan atau membuat mereka kembali nyaman. Terkahir Avoidant, yaitu bayi tidak merasa stres ketika ibu mereka pergi meninggalkannya, dan ketika ibu mereka kembali bayi tersebut secara aktif akan menghindari ibu mereka dan terfokus dengan sesuatu yang lain.
Seorang ibu yang menimbulkan kelekatan dengan penuh rasa aman (secure), dideskipsikan sebagai seseorang yang sensitif, hangat, dan memiliki ekspresi emosi yang lebih positif. Sedangkan ibu yang mengembangkan kelekatan avoidant pada anaknya diduga bersikap menggangu dan menstimuli/merangsang bayinya secara berlebihan. Kemudian ibu yang mengembangkan kelekatan yang bersifat ambivalent dikarakterisasikan sebagai orang yang tidak sensitif dan jarang melibatkan diri mereka secara langsung dalam mengasuh.    


Persamaan dan Perbedaan antar Budaya dalam Transmisi Budaya (terhadap Pola Kelekatan pada Ibu atau Pengasuh)
            Pola kelekatan ternyata dapat memprediksikan kompetensi anak. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Takahasi dalam Matsumoto dan Juang (2008), yang menemukan bahwa bayi berumur 2 tahun yang kelekatannya bersifat secure, dibandingakan dengan bayi yang lebih rapuh, ternyata memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap suatu suatu objek, dan lebih memiliki kompetensi sosial dalam berhubungan dengan teman sebaya yang tidak dikenalnya.
Lebih menariknya lagi, hubungan kelekatan antara bayi dengan pengasuh yang berbeda akan memiliki dampak pada area perkembangan yang berbeda-beda pula. Bayi Gusii di kenya, berkembang kelekatan  bersifat secure oleh pengasuh yang tidak bersifat keibuan, memiliki perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingakan bayi yang tidak memiliki pengasuh. Kemudian hubungan kelekatan antara ibu dengan bayinya juga dapat memprediksikan status kesehatan bayinya tersebut. Bayi dimana kelekatan dengan ibunya menimbulkan rasa aman, memiliki skor yang tinggi dalam status kesehatan, dibandingkan dengan bayi-bayi yang tidak menimbulkan rasa aman kelekatannya. Berbagai macam hubungan kelekatan akan menjadi pengalaman bagi bayi tersebut dan akan mempengaruhi perkembangan mereka (Kermoian dan Leiderman dalam Matsumoto dan Juang, 2008).
Penelitian pada suku Afrika yang bertempat tinggal di hutan dan mencari makan ke berbagai tempat, dikenal dengan suku Efe, menunjukan perbedaan yang sangat banyak dalam pola kelekatan (attachment) yang sehat. Bayi dalam suku Efe dirawat oleh berbagai macam orang (pengasuh) dan juga ibunya. Waktu yang dihabiskan dengan pengasuh daripada dengan ibunya meningkat dari 39% dalam 3 minggu sampai 60% tiap 18 minggunya. Mereka memiliki hubungan kedekatan emosional pada berbagai orang daripada oleh ibu mereka sendiri dan menghabiskan wakttu yang sangat sedikit dengan ayah mereka. Akan tetapi bagaimanapun juga, ketika bayi berusia 1 tahun, mereka lebih memilih atau lebih ingin dirawat oleh ibu mereka dan menjadi frustasi ketika ditinggal oleh ibu mereka. Pada usia ini, sekali lagi ibu menjadi pengasuh utama (primary caregiver). Terdapat bukti bahwa kelekatan mereka dengan pengasuh utama tetap terbentuk dan anak-anak tersebut memiliki emosional yang sehat karena memiliki banyak pengasuh. Suku Efe memiliki keluarga yang besar dimana keluarga tersebut merupakan bagian yang permanen dalam pertumbuhan dan kehidupan anak-anak Efe (Tronick, Morelli, dan Ivey dalam Matsumoto dan Juang, 2008).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Miyake dalam matsumoto dan Juang (2008), mengemukakan bahwa tidak ada jenis kelekatan avoidant di Jepang. Sedangkan di Amerika, kelekatan di karakterisasikan sebagai rasa aman (Secure). Terdapat beberapa penelitian yang mengungkapkan adanya hubungan antara temprament dan attachment. Penelitian ini mengukur besarnya rasa kesal atau marah yang timbul pada bayi ketika tidak diberi ASI. Mereka kemudian menggolongkan tangisan bayi berdasarkan suaranya, apakah suara tangisannya lembut (durasinya singkat, cepat diam dan tenang kembali) atau penuh upaya (suaranya serak, wajah dan vocalnya tidak beraturan). Mereka menemukan bahwa tangisan pada hari pertama dan kelima setelah mereka lahir, memprediksikan pola kelekatan 1 tahun kemudian, tangisan yang lembut diasosiasikan dengan kelekatan yang penuh rasa aman, sedangkan tangisan yang penuh upaya diasosiasikan dengan kelekatan yang tidak menimbulkan rasa aman atau bertentangan (seperti di Jepang). Namun juga banyak para peneliti yang tidak menemukan adanya hubungan antara tempramen dengan kelekatan. Hal tersebut masih sangat kontroversial karena belum ada penelitian yang akurat mengenai hal tersebut.


 
“Every View that becomes extinct, every culture that disappears, diminishes a possibility of life.” -Schonpflug-




 

Daftar Referensi

Sumber Buku:

Matsumoto, David dan Linda Juang. 2008. Culture and Psychology. USA: Wadsworth

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sumber Jurnal:

Schlegel, Alice. 2011. Human Development and Cultural Transmission. http://www.schweizerbart.de/resources/downloads/paper_previews/76253.pdf. Diakses tanggal  5 oktober 2012

Sumber E-book:


Sumber Web:

Setyawan, Fendik. 2012. Kajian Antropologi Teknologi Pendidikan: Kasus Transmisi Budaya Belajar. http://www.imadiklus.com/2012/04/kajian-antropologi-teknologi-pendidikan-kasus-transmisi-budaya-belajar.html. Diakses tanggal 6 Oktober 2012
Anonim. 2008. Pengaruh Kebudayaan terhadap Pendidikan. http://dc440.4shared.com/doc/HWxKntmN/preview.html. Diakses tanggal 6 Oktober
Anonim. 2012. Komunikasi Antar Budaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya. Diakses tanggal 6 Oktober 2012



1 komentar: