Transmisi
Budaya adalah suatu upaya atau proses dalam menyampaikan sikap, keyakinan,
nilai-nilai, pengetahuan dan juga ketrampilan dari suatu generasi kepada
generasi selanjutnya, sehingga budaya tersebut dapat tetap dipertahankan
nilai-nilainya. Pengertian transmisi budaya, juga mencakup
bagaimana menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Fungsi transmisi budaya masyarakat
kepada anak dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu: (1) transmisi pengetahuan dan ketrampilan, (2) transmisi
sikap, nilai-nilai dan norma-norma.
Tarnsmisi pengetahuan mencakup pengetahaun tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, dan penemuan-penemuan teknologi. Dalam masyarakat industri yang komplek, fungsi transmisi pengetahuan tersebut sangat penting sehingga proses belajar di sekolah memakan waktu lebih lama, yang membutuhkan guru-guru serta lembaga khusus. Dalam arti yang sempit, transmisi pengetahuan dan keterampilan itu berbentuk vocasional training, sebagai contoh: di masyarakat ayah mengajarkan kepada anaknya cara membuat panah untuk perburuan binatang, sedangkan di sekolah teknik, anak belajar bagaimana caranya meperbaiki mobil. Perlu diingat bahawa sesungguhnya penegertian transmisi budaya tidak hanya terbatas pada mengajarkan kepada anak bagaimana cara belajar, melainkan juga bagaimana menemukan dan meciptakan sesuatu yang baru (4shared).
Secara tradisonal, pengetahuan mengenai transmisi budaya berasal dari keluarga. Transmisi budaya melalui hubungan keluarga dan biologis dapat dijelaskan melalui budaya dan makna psikologis. Sebagai contoh, dalam budaya tertentu hubungan biologis kurang penting dalam transmisi budaya apabila tidak melahirkan anak laki-laki. Pengadopsian anak (biasanya laki-laki) dapat menjadi dasar untuk membentuk suatu keturunan (group family). Menurut Shore dalam Schonpflug (1978) transmisi dilihat sebagai ‘penyebab’ dari etnopsikologi. Hal ini berkaitan dengan pendapat Bruner dalam Sconpflug (1978) yang memandang adanya hubungan antara budaya dan pikiran (mind): “.... How a people belive the mind works will ... have a profound effect on how in fact it is compelled to work if anybody is to get on in a culture” (p.xvii), yang kemudian menjelaskan bahwa kepercayaan subjektif (subjective beliefs) dari agen sosialisasi (orang tua dan guru) sebagai bagian dari sistem budaya akan mempengaruhi kepercayaan generasi selanjutnya.
Transmisi sebagai bentuk dari pengetahuan meliputi operasi kognitif primer. Namun, emosi yang tepat dan bagaimana mengekspresikannya juga berbeda-beda dalam budaya dengan beberapa tingkatan, seperti apa yang menjijikan dan apa yang tidak, bagaimana untuk menyadari hinaan dan bagaimana cara meresponnya, siapa yang dapat menjadi target afeksi dan bagaimana untuk menunjukan perasaan tersebut (Nisbett dan Cohen dalam jurnal Schlegel, 2011). Dasar dari emosi manusia juga berbeda-beda berdasarkan budaya.
Menurut Tomasello, Kruger, dan Ratner dalam Matsumoto dan Juang (2008) kemampuan unik dari manusia adalah dapat melihat berbagai perspektif (sudut pandang) dengan belajar mengenai budaya, belajar disini bukan hanya ‘dari’ orang lain tetapi juga ‘melalui’ orang lain. Seorang anak bukan hanya belajar dengan meniru orang dewasa tetapi juga dengan menginternalisasi pengetahuan dari orang lain melalui kognisi sosial mereka. Kita dapat melakukan hal tersebut karena kita memiliki kemampuan untuk memahami perspektif, keinginan, dan tujuan orang lain; kemudian kita menginternalisasinya dan belajar darinya. Budaya adalah sesuatu yang secara unik dipelajari oleh manusia (Tomasello dalam Matsumoto dan Juang, 2008).
Mempelajari budaya tidak sederhana seperti membaca buku disuatu tempat dan mempelajarinya. Budaya harus dipelajari dalam proses yang panjang dengan banyak praktik. Dalam mempelajari budaya, kita sering membuat kesalahan, akan tetapi masyarakat, kelompok atau lembaga selalu berada di sekitar kita untuk membantu kita untuk mengoreksi kesalahan tersebut.
Bentuk-Bentuk
Transmisi Budaya
1.
Enkulturasi
Enkulturasi
adalah proses dimana anak-anak muda belajar dan mengadopsi sikap dan tingkah
laku dari lingkungan budaya mereka (Matsumoto
dan Juang, 2008). Enkulturasi mengacu pada
proses dimana kultur
(budaya)
ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari
budaya, bukan mewarisinya. Budaya ditransmisikan melalui proses belajar, bukan
melalui gen.
Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan
merupakan guru-guru utama dibidang budaya. Enkulturasi terjadi melalui mereka (wikipedia).
2.
Sosialisasi
Sosialisasi
adalah proses dimana kita belajar dan menginternalisasi aturan-aturan dan
pola-pola yang ada di masyarakat dimana kita tinggal. Proses ini terjadi
sepanjang waktu meliputi pembelajaran norma-norma sosial, sikap-sikap,
nilai-nilai, dan sistem kepercayaan. Proses sosialisasi dimulai lebih awal,
kemungkinan dari hari pertama ketika kita hidup (Matsumoto
dan Juang, 2008). Jadi sosialisasi merupakan
sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan, nilai dan aturan dari satu
generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat.
3.
Akulturasi
Akulturasi
adalah proses adaptasi pada suatu budaya yang berbeda dimana salah satu
mengalami enkulturasi (Matsumoto dan Juang, 2008). Akulturasi sudah ada sejak dulu
dalam sejarah budaya manusia. Akulturasi timbul sebagai akibat adanya kontak
langsung yang terus-menerus antara kelompok-kelompok manusia yang mempunyai
kebudayaan yang berbeda, sehingga diperolehnya unsur-unsur kebudayaan lain (Soejono Soekanto, 1982). Namun kebudayaan asli
tetap dipertahankan nilai-nilainya, jadi pada akulturasi hanya timbul
nilai-nilai dari kebudayaan lain tetapi tidak mengikis nilai-nilai yang
terdapat pada kebudaya asli. Akulturasi dapat terwujud melalui kontak budaya
yang bentuknya bermacam-macam antara lain: pertama, kontak budaya bisa terjadi
antara seluruh anggota masyarakat atau sebagian saja, bahkan individu-individu
dari dua masyarakat. Kedua, kontak budaya berjalan melalui perdamaian diantara
kedua kelompok masyarakat yang bersahabat, maupun melalui cara permusuhan antar
kelompok. Ketiga, kontak budaya timbul diantara masyarakat yang mempunyai
kekuasaan, baik dalam politik maupun ekonomi (Imadiklus,
2012).
Terdapat sedikit perbedaan antara pengertian enkulturasi
dan sosialisasi menurut Matsumoto dan Juang. Sosialisasi lebih kepada proses dan
mekanisme dimana orang-orang mempelajari aturan-aturan masyarakat. Sedangkan
enkulturasi lebih kepada produk/hasil dari proses sosialisasi tersebut, yang
bersifat subjektif, pokok yang mendasari, dan aspek-aspek psikologis dari
budaya yang kemudian terinternalisasi seiring dengan perkembangan (Matsumoto dan Juang,
2008).
Masa
kanak-kanak adalah periode dinamis kehidupan. Pada periode ini salah satu aspek
yang kemungkinan konstan dalam hal lintas budaya adalah bahwa setiap orang
berkeinginan, berharap, anak mereka dapat tumbuh menjadi anak yang bahagia dan
produktif ketika dewasa nanti. Akan tetapi arti dari ‘bahagia’ dan ‘produktif’
dalam berbagai budaya itu berbeda-beda. Namun hal itu tetap merupakan tujuan
utama dalam perkembangan (Matsumoto dan Juang, 2008).
Masing-masing
budaya memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenai ‘kebutuhan kompetensi’
anak agar mereka dapat berfungsi dengan baik. Sebagai contoh, budaya yang
memiliki keyakinan bahwa pendidikan formal merupakan kebutuhan untuk menjadi
sukses, maka nilai tersebut kemungkinan akan di tekankan pada masa kanak-kanak.
Anak tersebut kemungkinan besar akan dikenalkan buku sejak usia muda. Kemudian
pada budaya lain, yang memiliki keyakinan bahwa memintal dan menenun sebagai
bagian dari kehidupan di masa dewasa nanti. Kemungkinan anak mereka akan
menerima (diajari) keahlian tersebut lebih awal.
Masyarakat
tidak menerima pengetahuan mengenai budaya secara pasif. Menurut (Bronfenbrenner dalam Matsumoto
dan Juang, 2008) perkembangan manusia
itu dinamis, artinya merupakan proses interaktif antara individu dengan
lingkungannya dalam berbagai tingkatan. Tingkatan ini terdiri dari Microsystem (lingkungan yang berhubungan
secara langsung, seperti keluarga, sekolah, teman sebaya, dimana anak
berinteraksi secara langsung), Mesosystem
(hubungan antara microsystem,
seperti antara sekolah dan keluarga), Exosystem
(konteks yang secara tidak langsung mempengaruhi anak, seperti tempat kerja
orang tua), Macrosystem (budaya,
agama, masyarakat) dan Chronosystem (waktu yang mempengaruhi sistem-sistem
lainnya). Berdasarkan teori bronfenbrenner, dapat disimpulkan bahwa kita juga
berkontribusi terhadap perkembangan diri kita, jadi kita ini juga aktif dalam
menghasilkan diri yang berkembang.
Agen dari sosialisasi dan enkulturasi adalah masyarakat,
lembaga, dan organisasi. Agen yang pertama dan paling penting adalah orang tua,
yang membantu menanamkan adat istiadat dan nilai-nilai kepada anak-anak mereka.
Orang tua biasanya akan memberikan reward ketika anak-anak mereka
mempelajarinya dan mempraktikannya dengan baik, sebaliknya akan memberikan
hukuman ketika mereka melakukan kesalahan. Orang tua bukanlah satu-satunya agen
sosialisasi. Saudara kandung, keluarga besar, dan teman sebaya juga merupakan
agen sosialisasi dan enkulturasi yang tak kalah penting bagi kebanyakan orang.
Kemudian organisasi-organisasi seperti sekolah, agama, dan kelompok sosial juga
berperan penting.
Dengan
mengamati pola asuh orang tua, maka kita akan melihat esensi dari budaya.
Aturan-aturan budaya diperkuat (reinforced)
dan berlalu dari generasi yang satu kepada generasi yang lain melalui interaksi
orang tua kepada anak (Mead dalam Matsumoto dan Juang,
2008). Mempelajari bagaimana pola asuh orang tua, memberikan informasi
mengenai apa yang penting dalam budaya tersebut. Beatrice
dan John whiting mengadakan
penelitian pada anak-anak dari enam budaya yang berbeda, meliputi Mexico,
India, Kenya, Amerika, Okinawa, dan Filiphina. Fokus dari penelitian mereka
adalah memahami bagaimana pengasuhan anak dan perilaku anak dalam konteks
budaya yang berbeda-beda. Menurut Whiting
dan Whiting dalam Matsumoto
dan Juang (2008) perilaku sosial anak-anak dibagi menjadi beberapa range
dimensi, yaitu:
- Nurturant-Resonsible ( perilaku merawat dan berbagi)
- Dependent-Dominant (mencari bantuan dan tegas/dominan)
- Sociable-Intimate (bertindak sosial)
- Authoritarian-Aggressive (bertindak secara agresif)
Budaya dengan nuclear family, dimana suami dan istri tidur dan makan bersama dan
suaminya juga ikut membantu dalam mengurus anak, maka skor kemampuan sosial (sociability) anaknya akan tinggi,
sedangkan skor agresinya rendah. Sebaliknya pada keluarga patrilineal dengan
keluarga besar (extended family),
dimana suami dan istri tidak tidur dan makan bersama dan suaminya tidak
diperbolehkan dalam mengurus anak, maka skor anak dalam kemampuan sosial akan
rendah sedangkan skor agresinya akan tinggi. Wanita yang berperan sebagai pekerja
juga memiliki kontribusi terhadap perilaku sosial anak. Dalam budaya dimana
wanita sangat besar sekali perannya sebagai dasar dalam keluarga, anak-anaknya
akan belajar berbagi tanggung jawab keluarga, dan skor akan ketergantungan (dependence) rendah. Sebaliknya, dalam
budaya dimana wanita tidak memiliki kontribusi sebagai dasar keluarga dan
tergantung pada pendapatan suami, anaknya akan belajar untuk lebih tergantung.
Wu dan Chao dalam Matsumoto
dan Juang (2008), meneliti mengenai bagaimana persepsi mengenai
kehangatan pengasuhan berubah sebagai proses dari akulturasi terhadap remaja
Cina di Amerika. Secara tradisional pada budaya Cina, dalam mengasuh tidak
diperbolehkan menunjukan afeksi (rasa kasih sayang) kepada anak mereka secara
langsung, seperti memeluk dan mencium. Remaja Cina di Amerika, sangat merasakan
sekali perbedaan pola asuh dimana kasih sayang orang tua sangat terbuka dan
ditunjukan. Remaja tersebut kemudian akan mengembangkan orang tua yang ideal. Wu dan Chao kemudian menemukan bahwa remaja Cina
Amerika meyakini bahwa orang tua mereka tidak sehangat orang tua yang mereka
idealkan.
Kelekatan
(attachment) adalah hubungan atau
pertalian yang spesial yang berkembang antara bayi dengan pengasuh utamanya,
yaitu ibu (Matsumoto dan Juang, 2008). Para
ahli psikologi percaya bahwa kualitas kelekatan memiliki efek jangka panjang
terhadap hubungan antara ibu dan bayi. Kelekatan memberikan rasa aman secara
emosional. Seorang bayi akan merasa stres jika dipisahkan oleh ibunya.
Bowlby dalam Matsumoto
dan Juang (2008) mengemukakan teori evolusi mengenai kelekatan, yang
menjelaskan bahwa bayi telah di program sebelumnya atau memiliki dasar secara
biologis untuk menjadi lekat (attached)
dengan pengasuh utama mereka (ibu). Perilaku yang telah terbentuk secara bawaan
ini mencakup perilaku tersenyum dan mendengkur yang diperoleh dari kelekatan
fisik dengan ibu mereka. Bowlby juga
berpendapat bahwa hubungan antara pengasuh dengan anak berfungsi sebagai
strategi untuk bertahan hidup, dimana bayi mendapatkan kenyamanan dan
perlindungan.
Pengklasifikasian
Kelekatan (Attachment)
Ainsworth dalam matsumoto dan Juang (2008) mengklasifikasikan pola
kelekatan menjadi 3 jenis, yaitu: secure,
ambivalent, dan avoidant. Ambivalent dan avoidant dapat dikatakan sebagai kelekatan yang tidak memiliki rasa
aman. Bayi yang kelekatannya menimbulkan rasa aman (secure) akan menjadi stres ketika ibunya pergi meninggalkannya,
tetapi mereka akan cepat merasa nyaman ketika ibu mereka kembali. Pada bayi
yang kelekatannya bersifat ambivalent, juga
akan mengalami stres ketika ibu mereka pergi, namun ketika ibu mereka kembali, mereka
mengirimkan tanda yang bertentangan, yaitu mereka merasa kembali nyaman, tetapi muncul waktu
yang sulit untuk membiarkan ibu mereka menenangkan atau membuat mereka kembali
nyaman. Terkahir Avoidant, yaitu bayi
tidak merasa stres ketika ibu mereka pergi meninggalkannya, dan ketika ibu
mereka kembali bayi tersebut secara aktif akan menghindari ibu mereka dan
terfokus dengan sesuatu yang lain.
Seorang ibu yang menimbulkan kelekatan dengan penuh rasa
aman (secure), dideskipsikan sebagai
seseorang yang sensitif, hangat, dan memiliki ekspresi emosi yang lebih
positif. Sedangkan ibu yang mengembangkan kelekatan avoidant pada anaknya diduga bersikap menggangu dan
menstimuli/merangsang bayinya secara berlebihan. Kemudian ibu yang
mengembangkan kelekatan yang bersifat ambivalent
dikarakterisasikan sebagai orang yang tidak sensitif dan jarang melibatkan diri
mereka secara langsung dalam mengasuh.
Persamaan dan Perbedaan antar Budaya dalam Transmisi Budaya
(terhadap Pola Kelekatan pada Ibu atau Pengasuh)
Pola
kelekatan ternyata dapat memprediksikan kompetensi anak. Hal ini dibuktikan
oleh penelitian Takahasi dalam Matsumoto dan Juang (2008), yang menemukan bahwa
bayi berumur 2 tahun yang kelekatannya bersifat secure, dibandingakan dengan bayi yang lebih rapuh, ternyata
memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap suatu suatu objek, dan lebih
memiliki kompetensi sosial dalam berhubungan dengan teman sebaya yang tidak
dikenalnya.
Lebih menariknya lagi, hubungan
kelekatan antara bayi dengan pengasuh yang berbeda akan memiliki dampak pada
area perkembangan yang berbeda-beda pula. Bayi Gusii di kenya, berkembang
kelekatan bersifat secure oleh pengasuh yang tidak bersifat keibuan, memiliki
perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingakan bayi yang tidak memiliki
pengasuh. Kemudian hubungan kelekatan antara ibu dengan bayinya juga dapat
memprediksikan status kesehatan bayinya tersebut. Bayi dimana kelekatan dengan
ibunya menimbulkan rasa aman, memiliki skor yang tinggi dalam status kesehatan,
dibandingkan dengan bayi-bayi yang tidak menimbulkan rasa aman kelekatannya.
Berbagai macam hubungan kelekatan akan menjadi pengalaman bagi bayi tersebut
dan akan mempengaruhi perkembangan mereka (Kermoian
dan Leiderman dalam Matsumoto dan Juang,
2008).
Penelitian
pada suku Afrika yang bertempat tinggal di hutan dan mencari makan ke berbagai
tempat, dikenal dengan suku Efe, menunjukan perbedaan yang sangat banyak dalam
pola kelekatan (attachment) yang
sehat. Bayi dalam suku Efe dirawat oleh berbagai macam orang (pengasuh) dan
juga ibunya. Waktu yang dihabiskan dengan pengasuh daripada dengan ibunya
meningkat dari 39% dalam 3 minggu sampai 60% tiap 18 minggunya. Mereka memiliki
hubungan kedekatan emosional pada berbagai orang daripada oleh ibu mereka
sendiri dan menghabiskan wakttu yang sangat sedikit dengan ayah mereka. Akan
tetapi bagaimanapun juga, ketika bayi berusia 1 tahun, mereka lebih memilih
atau lebih ingin dirawat oleh ibu mereka dan menjadi frustasi ketika ditinggal
oleh ibu mereka. Pada usia ini, sekali lagi ibu menjadi pengasuh utama (primary caregiver). Terdapat bukti
bahwa kelekatan mereka dengan pengasuh utama tetap terbentuk dan anak-anak
tersebut memiliki emosional yang sehat karena memiliki banyak pengasuh. Suku
Efe memiliki keluarga yang besar dimana keluarga tersebut merupakan bagian yang
permanen dalam pertumbuhan dan kehidupan anak-anak Efe (Tronick, Morelli, dan Ivey dalam
Matsumoto dan Juang, 2008).
Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Miyake dalam matsumoto dan Juang (2008), mengemukakan bahwa tidak
ada jenis kelekatan avoidant di
Jepang. Sedangkan di Amerika, kelekatan di karakterisasikan sebagai rasa aman (Secure). Terdapat beberapa penelitian
yang mengungkapkan adanya hubungan antara temprament
dan attachment. Penelitian ini
mengukur besarnya rasa kesal atau marah yang timbul pada bayi ketika tidak
diberi ASI. Mereka kemudian menggolongkan tangisan bayi berdasarkan suaranya,
apakah suara tangisannya lembut (durasinya singkat, cepat diam dan tenang
kembali) atau penuh upaya (suaranya serak, wajah dan vocalnya tidak beraturan).
Mereka menemukan bahwa tangisan pada hari pertama dan kelima setelah mereka
lahir, memprediksikan pola kelekatan 1 tahun kemudian, tangisan yang lembut
diasosiasikan dengan kelekatan yang penuh rasa aman, sedangkan tangisan yang
penuh upaya diasosiasikan dengan kelekatan yang tidak menimbulkan rasa aman
atau bertentangan (seperti di Jepang). Namun juga banyak para peneliti yang
tidak menemukan adanya hubungan antara tempramen dengan kelekatan. Hal tersebut
masih sangat kontroversial karena belum ada penelitian yang akurat mengenai hal
tersebut.
“Every View that becomes extinct,
every culture that disappears, diminishes a possibility of life.” -Schonpflug-
Daftar Referensi
Sumber
Buku:
Matsumoto, David dan Linda Juang. 2008. Culture and Psychology. USA: Wadsworth
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sumber Jurnal:
Schlegel, Alice. 2011. Human Development and Cultural
Transmission. http://www.schweizerbart.de/resources/downloads/paper_previews/76253.pdf. Diakses tanggal 5 oktober 2012
Sumber
E-book:
Schonpflug,
Ute. 1978. Introduction to Cultural
Transmission: Psychological Developmental, Social, and Methodological Aspects. http://books.google.co.id/books?id=MiaLV5knwt8C&pg=PA139&lpg=PA139&dq=the+relationship+cultural+transmission+and+biological&source=bl&ots=BJLsOuJ93Q&sig=l3U7m3oHrfsCd3t8PpRVqHcpJ70&hl=id&sa=X&ei=GtZ1ULzRJ6SOiAftmICYCQ&sqi=2&ved=0CDQQ6AEwAg#v=onepage&q=the%20relationship%20cultural%20transmission%20and%20biological&f=false.
Diakses tanggal 5 Oktober 2012
Sumber
Web:
Setyawan,
Fendik. 2012. Kajian Antropologi Teknologi Pendidikan: Kasus Transmisi Budaya
Belajar. http://www.imadiklus.com/2012/04/kajian-antropologi-teknologi-pendidikan-kasus-transmisi-budaya-belajar.html.
Diakses tanggal 6 Oktober 2012
Anonim. 2008. Pengaruh Kebudayaan terhadap
Pendidikan. http://dc440.4shared.com/doc/HWxKntmN/preview.html.
Diakses tanggal 6 Oktober
Anonim.
2012. Komunikasi Antar Budaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya.
Diakses tanggal 6 Oktober 2012
BalasHapusAgen Judi Bola Online
Agen Judi Casino Online
Agen Judi Sabung Ayam Online
Agen Bola Tangkas Online