Rabu, 21 Maret 2012

Hubungan Perilaku Agresif dengan Kesehatan Mental


Ilustrasi Kasus
Terdapat suatu kelompok teman bermain yang rata-rata berusia sama yaitu 14 tahun. Salah satu anak yang bernama Denny selalu menjadi kambing hitam dari kelompok tersebut. Apa pun yang dikatakan dan dilakukannya selalu diejek dan ia selalu menerima hal yang terburuk. Denny adalah korban dari lelucon, komentar sarkastis atau bahkan lebih buruk. Jika ada trik yang ingin dimainkan, Denny selalu menjadi alat percobaan terlebih dahulu. Ketika kelompok tersebut memilih teman untuk bertanding baseball, bola basket dan sepak bola, ia selalu terakhir dipilih. Parahnya lagi, tim yang mendapatkan Denny sebagai anggota mengeluh panjang dan keras karena merasa telah mendapatkan pecundang. Sampai pada suatu hari salah satu anggota dari kelompok tersebut, Radit, mengendarai sepeda untuk pulang ke rumah dan mengambil jalan pintas melewati taman. Tak sengaja, Di balik sebuah pohon Radit melihat Denny yang menangis tersedu-sedu sambil memukulkan kepalanya pada batang pohon tersebut. Radit pun turun dari sepeda dan bertanya “Apa yang sedang kau lakukan?” Denny berbalik, dan dengan segera terlihat penderitaan, frustasi dan kepedihannya. Radit terus mencoba membujuk Denny agar ia mau menjelaskan apa yang menganggunya, hingga akhirnya dia menjelaskan bahwa dia capek dan lelah karena ditolak dan dipermalukan terus menerus oleh teman-temannya.
  
Agresi adalah kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Robert A Baron dan Donn Byrne dalam buku Psikologi Sosial 2 mengatakan bahwa agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan dengan tujuan untuk menyakiti makhluk hidup lain. Agresi dapat dibagi menjadi verbal maupun fisik. Agresi yang bersifat verbal dapat berupa perkataan kasar atau perkataan yang memalukan serta merugikan orang lain. Sedangkan agresi dalam bentuk fisik seperti pembunuhan, perampokan,dsb. Agresi bukanlah hal yang jarang terjadi melainkan sering kali muncul dalam bentuk yang lebih mematikan daripada keisengan masa kecil seperti ilustrasi kasus diatas. Masih ingatkah anda tentang apakah konsep sehat itu? Sehat adalah Keadaan berperilaku yang baik atau sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup beraktifitas dan berproduktif secara sosial dan ekonomis dalam lingkungan dan kehidupan sehari-hari. Dari konsep sehat tersebut maka dapat dianalisis bahwa ilustrasi kasus diatas menunjukkan pribadi-pribadi yang tidak sehat. Mengapa? Karena perilaku anak-anak dari kelompok itu buruk dan tidak baik. Aktifitas yang mereka lakukan tidak produktif baik secara sosial maupun ekonomis dalam kehidupan sehari-hari. Mereka melakukan aktifitas yang justru merugikan dan menyakiti orang lain.
Seseorang yang memiliki fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan hidup yang satu sama lain saling harmonis adalah orang yang dikatakan sehat mentalnya/jiwanya/psikisnya. Dari ilustrasi kasus diatas dapat disimpulkan bahwa kelompok anak-anak tersebut mempunyai mental yang tidak tersinkronisasi dengan baik. Mengapa? Karena antara fungsi-fungsi jiwa yaitu pikiran, perasaan, sikap satu sama lain belum berkembang secara sempurna (matang). Anak-anak tersebut hanya memikirkan kesenangan untuk diri mereka saja dengan memperlakukan Denny sebagai mainan percobaan dan korban ejekan. Mental yang tidak harmonis dalam ilustrasi kasus diatas bukan berarti bahwa anak-anak tersebut memiliki gangguan mental, mental mereka hanya belum terbentuk dengan matang. Perasaan mereka belum berkembang secara kompleks sehingga mereka belum peka, belum terbentuk perasaan empati dan simpati terhadap sesama. Pikiran mereka masih bersifat egosentris sehingga fokus pada kesenangan dirinya dan tidak memperhatikan orang lain. Pikiran dan perasaan yang belum matang inilah tercermin menjadi suatu sikap agresif seperti ilustrasi kasus diatas.
Jika kita lihat dari posisi Denny betapa sedihnya ia ditolak oleh teman-teman sekelompoknya. Bagaimana kesehatan mental pada dirinya? Kesehatan mental terkait dengan bagaimana kita memikirkan, merasakan dan menjalani kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita memandang diri sendiri dan orang lain dan bagaimana kita mengambil keputusan. Untuk itu kesehatan mental sangat berkaitan dengan konsep diri. Jika kita lihat dari posisi denny, ia mungkin menjalani kehidupan dengan cukup berat, tidak nyaman, tidak bahagia dan putus asa. Diterimanya diri dalam suatu kelompok merupakan hal yang sangat penting bagi anak seusia Denny. Perasaan diterima dan dianggap dalam kelompok adalah hal yang cukup sensitif diusianya. Anak-anak remaja biasanya sampai melakukan konformitas agar dapat diterima dan dianggap oleh teman-temannya. Lalu bagaimana dengan kasus Denny yang ditolak oleh teman sekelompoknya secara terang-terangan? Memiliki perasaan ditolak maupun tidak diterima akan membuat konsep diri seseorang menjadi negatif. Konsep diri yang negatif akan membuat self esteem seseorang juga menjadi rendah.
Banyak para ahli yang mengatakan bahwa konsep diri adalah akar dari semua penyakit psikologis (penyakit mental). Orang yang memiliki konsep diri positif, juga akan memiliki emosi yang positif sehingga dapat melihat hidup dengan lebih baik. Sebaliknya orang yang memiliki konsep diri yang negative, juga akan memiliki emosi yang negatif sehingga melihat hidup dengan penuh penderitaan. Konsep diri terbentuk dari fisik, psikologis, sosial dan moral/spiritual. Konsep diri dipengaruhi oleh bagaimana penilaian diri kita sendiri terhadap diri (self), bagaimana penilaian orang lain terhadap diri (self) dan bagaimana kita melihat/mempersepsikan pandangan orang lain terhadap diri kita. Self knowledge adalah seberapakah kita memahami diri kita sendiri. Wiliam James mengemukakan mengenai dualitas persepsi yaitu The Known (aku yang diketahui) dan The Knower (aku yang mengetahui). The Known adalah berupa konsep diri yaitu pengetahuan mengenai siapakah diri kita, sedangkan The Knower adalah self awareness yaitu tindakan berfikir mengenai diri. Kesehatan mental seseorang sangat dipengaruhi oleh self knowledge orang tersebut.
          Kembali pada topik mengenai agresi diatas, mengapa manusia melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain? Apa yang menyebabkan manusia berperilaku seprti itu? Apakah agresi bersifat bawaan (nature) atau nurture? Mungkin beberapa teori yang membahas mengenai perkembangan kepribadian seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Teori yang paling awal dan klasik adalah teori psikoanalisa oleh Sigmund Freud. Pada penelitian awal mengenai perilaku agresif, Freud (1930-1963) percaya bahwa agresif adalah bagian dari sifat dasar manusia yang innate, independent, dan instinctive. Menurutnya, agresif adalah salah satu naluri dasar manusia yaitu naluri untuk mati (thanatos/death instinct) yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya (survival). Insting/naluri menurut Freud dibedakan menjadi 2, yaitu insting untuk hidup (libido) dan insting untuk mati (thanatos). Bentuk dari thanatos/death instinct ini adalah naluri agresif yang menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah. Sedangkan insting untuk hidup berupa makan, minum dan sex.
Menurut freud struktur kepribadian terdiri dari id, ego, dan superego. Id merupakan libido murni atau energi psikis yang bersifat irasional. Id merupakan sebuah keinginan yang dituntun oleh prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha untuk memuaskan kebutuhannya dengan segera. Ego merupakan sebuah pengatur agar id dapat dipuaskan atau disalurkan dalam lingkungan sosial. Sistem kerjanya pada lingkungan adalah menilai realita untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Sedangkan Superego sendiri adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan nilai baik buruk, salah benar, dan boleh tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh dorongan id. Pada ilustrasi kasus diatas kelompok anak-anak yang melakukan tindakan agresi memiliki superego yang lemah, ego tidak dapat menyesuaikan diri antara id dengan nilai-nilai moral (superego) sehingga superego dalam kasus ini kalah sedangkan id yang bersifat instingtif mendominasi. Superego yang lemah dapat disebabkan karena kurangnya penanaman nilai-nilai moral oleh orang tua kepada anak. Semestinya orang tua mengajarkan mana yang boleh dilakukan (ego ideal) dan mana yang tidak boleh dilakukan (conscience).
Pandangan serupa juga diajukan oleh Konrad Lorenz, ilmuwan pemenang hadiah nobel. Menurut Lorenz (1974), perilaku agresif terutama berasal dari insting berkelahi (fighting instinct) yang diwariskan (inherited) untuk memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan mewariskan gen mereka pada generasi berikutnya.
Di sisi yang lain, kritik banyak bermunculan mengenai perilaku agresif yang menurut aliran psikoanalisa dianggap bersifat bawaan (nature). Kelompok pendukung nurture mengemukakan bahwa teori psikoanalis belum dapat menjelaskan dengan tepat pengaruh faktor disposisi/kepribadian terhadap perilaku agresif. Kekurangan dari teori ini adalah tidak memperhatikan keanekaragaman yang terdapat pada tiap individu yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Jika perilaku agresif memang disebabkan oleh faktor bawaan (misal: naluri, gen), seharusnya perilaku agresif tersebut sama untuk setiap orang yang memiliki naluri atau gen tersebut kapan saja dan dimana saja. Pada kenyataannya, frekuensi dan cara tiap individu dalam mengekspresikan agresifitasnya berbeda-beda tergantung lingkungan tempat ia tinggal.
Melihat banyaknya kritik yang bermunculan, para ahli psikologi lainnya berusaha untuk menjelaskan perilaku agresif dari sudut pandang yang berbeda yaitu berdasarkan faktor situasional (nurture). Salah satu teori yang muncul adalah teori social learning perspective ( Bandura, 1997) yang berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya (Anderson & Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002). Dengan demikian, berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu mempelajari: (1) berbagai cara untuk menyakiti manusia yang lain, (2) kelompok mana yang tepat untuk target agresi, (3) tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, (4) situasi atau konteks apa yang mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresif. Singkatnya, teori social learning perspective berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif tergantung pada banyak faktor situasional (lingkungan), yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards (imbalan) yang diasosiasikan dengan tindakan agresif pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresif.
Perilaku agresif dalam kasus diatas jika dilihat dari sudut pandang behavioristik yang lebih menekankan pada konsekuensi, mungkin perasaan senang dan puas ketika mengejek temannya (Denny) adalah konsekuensi (reward) yang mereka dapatkan. Menurut aliran behavioristik, hal-hal yang menghasilkan kesenangan dan kenikmatan akan cenderung dilakukan berulang-ulang. Dalam kasus ini, perasaan senang dan puas yang didapat setelah mengejek, yang membuat perilaku agresif tersebut diulang dan diulang kembali. Berbeda lagi jika dilihat dari sudut pandang teori SociaL Learning yang dikemukakan oleh Bandura. Menurut teori Social Learning, perilaku agresif pada kelompok anak tersebut disebabkan karena anak-anak tersebut pernah melihat hal serupa di lingkungan sekitarnya, seperti menonton sinetron yang ada perilaku agresi mengejek di dalam ceritanya, menonton film Smack Down, dan masih banyak lagi. Kemungkinan lainnya yaitu anak-anak tersebut mungkin pernah mendapatkan pengalaman diejek sehingga pada akhirnya ditiru dan diterapkan kepada temannya yang terlihat lebih lemah.  
Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresif:
1. Classical conditioning.
Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: Kelompok pelajar dengan tim GALAU yang sering tawuran dengan kelompok pelajar tim LOOSER akan mengasosiasikan tim LOOSER sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan berperilaku agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat kelompok pelajar tim LOOSER atau orang yang memakai seragam bertuliskan LOOSER.

2. Operant Conditioning.
Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.

3. Modelling (meniru)
Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.

4. Observational Learning
 Perilaku agresif terjadi karena seseorang mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil membanting tubuh temannya setelah menonton acara Smack Down.

5. Social Comparison
 Perilaku agresif terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai. Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok berandalan jadi ikut-ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya.

6. Learning by Experience.
Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka berkelahi).

Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, secara logis dapat dikatakan bahwa perilaku agresif itu lebih besar ditimbulkan oleh nurture (lingkungan/faktor situasional). Seperti yang dikemukakan oleh Anderson & Bushman bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya (imitasi). Individu yang tidak mempunyai sifat agresif cenderung akan menampilkan perilaku agresif jika ia telah mempelajarinya dari lingkungannya. Sebaliknya, individu yang mempunyai sifat agresif cenderung tidak akan menampilkan perilaku agresif jika lingkungannya tidak mendukung atau mengajarinya berperilaku agresif. Penyebab perilaku agresif jika ditelaah satu persatu melalui berbagai pandangan teoritis mungkin akan sangat beragam dan lebih luas lagi. Dalam artikel ini perilaku agresif hanya difokuskan oleh 2 pandangan yang saling bertolak belakang yaitu nature (psikoanalisa) dan nurture (behavioristik).


Daftar Pustaka

Handout Psikologi Sosial II: Self Knowledge/M.M. Nilam Widyarini
Baron, R.A., Byrne, D., & Branscombe, N.R. (2006). Social psychology (11th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.
Sarwono, S.W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarwono, S.W. (2002). Berkenalan dengan aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Wortman, C.B., Loftus, E.F., & Weaver, C. (1999). Psychology (5th ed.). Boston: McGraw-Hill College.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/01/01/brk,20050101-01,id.html






    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar