Terapi
dengan Pendekatan Psikoanalisa
Dunia terapi memiliki berbagai macam
pendekatan yang dapat dijadikan acuan dasar pada semua praktik terapi. Teori
mengenai psikoterapi merupakan landasan dasar terbentuknya terapi yang efektif.
Masing-masing teori tentu saja dikemukakan oleh ahli yang berbeda sehingga
penerapan dari pendekatan yang digunakan juga akan terlihat berbeda. Terapi
dengan pendekatan psikoanalisa dirintis oleh tokoh yang bernama Sigmund Freud.
Freud lahir di Wina pada tahun 1856. Beliau hidup dalam lingkungan keluarga
yang bisa dikatakan cukup keras dan sangat disiplin. Ayahnya sangat otoriter.
Keuangan keluarga Freud juga sangat terbatas, dapat dikatakan pas-pas an. Orang
tuanya membuat segala upaya untuk dapat mengembangkan intelektual anak-anaknya.
Jadi walaupun hidup mereka pas-pas an, orang tuanya berusaha sekeras mungkin
agar anaknya dapat sekolah. Latar belakang keluarga Freud yang seperti itulah
yang menjadi salah satu faktor dasar perkembangan teorinya. Untuk dapat lebih
memahami mengenai terapi dengan pendekatan psikoanalisa ini, maka baiknya saya
akan ulas terlebih dahulu secara singkat mengenai dasar-dasar teori
psikoanalisa dari Freud.
Freud memandang manusia secara pesimis. Beliau
memandang bahwa manusia itu dikendalikan oleh insting-insting dan setiap
perilaku manusia dipengaruhi oleh alam bawah sadarnya (unconscious). Alam bawah
sadar itu sangat luas, sedangkan alam sadar kita itu hanya sedikit.
Peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan yang masuk pada alam bawah sadar
kita tanpa kita sadari akan mempengaruhi perilaku dan pribadi kita. Penekanan
teori psikonalisa terhadap terapinya adalah pada alam bawah sadar manusia
(unconscious) dan masa lalu, terutama masa lima tahun pertama kehidupan yang
merupakan sumber-sumber patologis. Freud membagi struktur kepribadian menjadi
3, yaitu id (prinsip kenikmatan dan kebutuhan dasar, seperti makan, minum,
seks), ego (prinsip kenyataan, yang memutuskan untuk bertindak sesuai dengan
realitas) dan superego (nilai-nilai dan norma, yang ditanamkan oleh orang tua
kita. Pengontrol perilaku agar sesuai dengan norma masyarakat). Ketika id
menginginkan sesuatu yang harus dipenuhi sekarang juga, dan hal itu
bertentangan dengan superego (nilai dan norma) dimana dorongan id lebih kuat,
maka ego akan melakukan defense (pertahanan) yang disebut sebagai ego defense mechanism. Mekanisme
pertahanan ego terdiri dari proyeksi, reaksi formasi, represi, regresi,
fiksasi, displacement, dan sublimasi. Misalnya salah satu contoh dari
displacement, Lula dimarahi oleh ayahnya karena terus menerus bermain dan tidak
belajar. Ia merasa kesal sekali dengan ayahnya karena dimarahi. Ia merasa
terancam dan takut jika meluapkan perasaan kesal tersebut pada ayahnya, maka
akhirnya ia meluapkan perasaan kesal dan benci tersebut kepada adiknya,
padahgal adiknya tidak salah.
Itulah sekilas mengenai teori
psikoanalisa, sekarang fokus kembali pada bagaimanakah terapi dengan pendekatan
psikoanalisa tersebut. Pada pendekatan Psikoanalisa, terapis membuat klien mengembangkan
proyeksi terhadap terapis. Selanjutnya terapis berfokus pada resistensi yang
berkembang dengan menangani transferensi dan pada pengembangan kendali yang
lebih rasional. Klien akan mengalami analisis jangka panjang yang intensif dan
terlibat dalam asosiasi bebas untuk menyingkap konflik. Terapis lalu membuat
penafsiran untuk mengajarkan klien tentang makna tingkah lakunya sekarang
sambil menghubungkannya dengan masa lalu klien. Tujuan terapi berdasarkan
pendekatan Psikoanalisa menurut Corey dalam Lubis (2011), yaitu:
1. Membuat
hal-hal yang tidak disadari menjadi disadari.
2. Merekonstruksi
kepribadian dasar.
3. Membantu
klien menghidupkan kembali pengalaman-pengalaman masa kanak-kanak dengan
menembus konflik-konflik yang di represi.
4. Memunculkan
kesadaran intelektual.
Menurut
Lubis (2011) tujuan khusus psikoanalisa adalah membentuk kembali struktur
kepribadian individu melalui pengungkapan hal-hal yang tidak disadari. Untuk
itu, klien akan dibawa mundur kepada pengalaman masa kanak-kanaknya yang
kemudian pengalaman tersebut akan dianalisis dan ditafsirkan sehingga terjadi
rekonstruksi kepribadian pada diri klien. Cottone dalam Lubis (2011)
menambahkan tujuan psikoanalisis adalah untuk memperkuat ego (ego strength) klien dan menempatkannya
dalam posisi yang benar sehingga mampu memilih secara rasional. Ego strength bermakna sebagai kemampuan
klien mengintegrasikan id dan superego tanpa ada konflik dan usaha represi. Selanjutnya
tujuan psikoanalisa secara perinci juga dikemukakan oleh Nelson Jones dalam
Lubis (2011), antara lain:
1. Bebas
dari impuls
2. Memperkuat
realitas atas dasar fungsi ego.
3. Mengganti
superego sebagai realitas kemanusiaan, bukan sebagai hukuman standar moral.
Jadi,
hal yang paling ditekankan dalam psikoanalisa adalah membuat konflik-konflik
yang ada pada alam bawah sadar (unconscious) klien menjadi ke alam sadar
(conscious), sehingga klien bisa mendapatkan insight dan pemahaman diri yang terkait dengan masa sekarang dan
selanjutnya terjadi perubahan pada struktur kepribadiannya.
Peran dan Fungsi Terapis
Analis klasik seringnya memiliki sikap
tanpa nama yang disebut juga anonim (terapis/analis berusaha tidak dikenal
klien). Hal ini disebut juga sebagai pendekatan “blank screen”. Mereka dalam menganalisis hanya berbagi sedikit
pengalaman dan perasaan (memiliki keterbukaan diri yang sedikit) dan memelihara
perasaan netral untuk menjaga hubungan transferensi (pemindahan), sehingga
klien dapat memproyeksikan dirinya kepada terapis. Terapis meyakini bahwa
apabila ia berkata sedikit saja tentang dirinya dan jarang memperlihatkan
reaksi mereka, peraaan klien terhadap terapis sebagian besar adalah hasl dari
perasaan yang dikaitkan dengan figur signifikan di masa lalu. Proyeksi tersebut
adalah hasil dari situasi yang tidak terselesaikan (unfinished business) dan direpresikan.
Menurut Corey (1996) fungsi utama dari
terapis adalah untuk membantu klien memperoleh kebebasan akan cinta, pekerjaan
dan bermain. Fungsi lainnya adalah membantu klien untuk mendapatkan kesadaran
diri, jujur, mampu melakukan hubungan personal yang efektif, mampu menangani
kecemasan secara realistis dan mampu mengendalikan tingkah laku yang impulsif
dan rasional. Dalam melakukan proses terapi, terapis lebih banyak mendengarkan
dan berusaha mengetahui kapan ia harus membuat penafsiran yang layak untuk
mempercepat proses penyingkapan hal-hal yang tidak disadari. Fungsi utama dari
interpretasi adalah mempercepat membongkar material-material yang tidak
disadari. Terapis mendengarkan celah dan ketidakonsistenan dari cerita klien,
menduga arti dari mimpi dan asosiasi bebas yang dilaporkan. Selain itu terapis
harus hati-hati dalam mengobservasi selama sesi terapi dan sensitif terhadap petunjuk
(clue) yang dirasakan oleh klien.
Willis dalam Lubis (2011) mengatakan bahwa
seorang terapis harus peka terhadap bentuk resistensi klien, yaitu suatu
keadaan di mana klien melindungi dirirnya agar perasaan, trauma dan
kegagalannya tidak diketahui oleh terapis. Biasanya klien akan memunculkan
bentuk-bentuk mekanisme pertahanan ego terhadap interpretasi yang tidak
menyenangkan dari terapis. Hal yang unik dalam psikoanalisis menurut Lubis
(2011) adalah ketika klien diminta berbaring pada suatu sofa yang nyaman,
kemudian klien diminta menceritakan apa saja yang terlintas dalam pikirannya.
Kesempatan inilah yang digunakan oleh terapis untuk mendengarkan kesenjangan
dan pertentangan pada cerita klien, dan peka terhadap isyarat perasaan klien.
Hal ini akan membantu untuk merumuskan permasalahan utama klien yang sebenarnya.
Terapis mampu merumuskan masalah apabila dapat memahami struktur kepribadian
dan psikodinamik klien.
Salah satu fungsi utama dari terapis
adalah mengajari klien akan makna dari proses terapi sehingga mereka mampu
mendapatkan insight dari masalah yang
mereka alami. Selain itu juga untuk meningkatkan kesadaran mereka untuk berubah
dan mampu mengendalikan kehidupan mereka secara rasional (Corey, 1996).
Saretsky dalam Corey (1996) mengatakan bahwa proses terapi psikoanalitik bukanlah
sebagai obat. Klien memutuskan untuk berubah tergantung pada seberapa siap
mereka untuk berubah daripada seberapa tepat dan akuratnya interpretasi
terapis. Jika terapis mendorong klien terlalu cepat, terapi menjadi tidak
produktif.
Pengalaman Klien dalam Terapi
Corey (1996) menyatakan bahwa klien yang
tertarik untuk menjalani terapi psikoanalisa harus bersedia untuk komit terhadap
dirinya untuk menjalani proses terapi yang intensif dan panjang. Biasanya
mereka datang beberapa minggu sekali untuk 3-5 tahun. Setelah sesi tatap muka
dengan terapis, klien diminta berbaring di sebuah sofa yang nyaman dan diminta
menyatakan apa saja yang ada di pikirannya saat itu (disebut juga sebagai
asosiasi bebas). Asosiasi bebas adalah fundamental
rule (aturan dasar dari teknik psikoanalisa). Klien diminta melaporkan
perasaanya, pengalamannya, asosiasinya, ingatan dan imajinasi/fantasinya kepada
terapis. Berbaring pada sofa yang nyaman serta dengan kondisi tidak terganggu
oleh stimulus-stimulus akan mengurangi kemungkinan mereka untuk melihat dan
membaca reaksi wajah terapis dan meningkatkan karakteristik proyeksi dari
pemindahan yang regresif (transference
regressive). Pada waktu yang sama, terapis dapat dengan bebas memonitor
dengan hati-hati petunjuk (clue) yang
terlihat di wajah klien.
Klien dalam terapi psikoanalitik membuat
komitmen atau kesepakatan bahwa mereka setuju untuk membicarakan segala hal,
karena hasil verbal adalah jantung dari terapi psikoanalisa. Mereka diminta
untuk tidak membuat perubahan-perubahan yang radikal dalam gaya hidup mereka
selama proses analisis, seperti bercerai atau berhenti dari pekerjaan. Klien
psikoanalisa siap memasuki tahap akhir (termination)
ketika mereka dan terapis mereka setuju bahwa masalah emosional mereka telah di
klarifikasi dan diterima, ketika mereka telah memahami akar sejarah dari
masalah/kesulitan mereka dan dapat mengintegrasikan kesadaran mereka dari
masalah pada masa lalu dengan hubungan mereka di masa sekarang. Analisis yang
berhasil adalah yang dapat menjawab pertanyaan “mengapa” terkait dengan masalah
kehidupan klien. Klien yang telah sukses dengan terapi analisis melaporkan
bahwa mereka mendapatkan pemahaman tentang simtom-simtom yang terjadi pada diri
mereka. Selain itu mereka juga mendapatkan insight
mengenai bagaimana lingkungan mempengaruhi mereka dan bagaimana mereka
mempengaruhi lingkungan dan defensif (pertahanan) mereka menjadi berkurang.
Hubungan antara Terapis
dengan Klien
Corey (1996) mengatakan bahwa hubungan
klien dengan terapis di konseptualisasikan dalam proses transferensi
(pemindahan). Hal tersebut adalah inti dari pendekatan psikoanalisa. Transferensi
adalah alam bawah sadar klien yang berpindah pada terapis seperti
perasaan-perasaan/fantasi-fantasi sebagai reaksi terhadap signficant other pada masa lalu klien. Jadi
perasaan-perasaan/fantasi-fantasi terhadap orang lain di masa lalu klien
berpindah pada terapis atau di proyeksikan kepada terapis, sehingga klien
mengalami kembali hal tersebut dan terapis mencoba membantu klien untuk
mendapatkan insight atau pikiran
rasional mengenai hal tersebut. Transferensi membuat klien memahami dan
menyelesaikan “unfinished bussiness”
dari hubungan masa lalu. Proses treatmennya berupa rekonstruksi dan mengenang
kemabali peristiwa di masa lampau.
Kemajuan terapi terlihat dari perasaan
dan konflik ketika anak-anak mulai muncul dari dalam alam bawah sadar. Klien
merasakan kembali konflik-konflik seperti trust
vs mistrus, cinta vs benci, ketergantungan vs ketidaktergantungan, autonomy vs shame and guilt. Transferensi
membuat klien mengalami kembali atau merasakan kembali konflik-konflik yang
terjadi pada lima tahun pertama kehidupannya, kemudian membawa kembali pada
masa sekarang dan meletakkannya pada terapis. Singkatnya, terapis adalah
sebagai pengganti dari significant other pada
masa lalu klien. Perasaan benci
adalah hasil dari transferensi negatif (negative
transference) sedangkan perasaan cinta terhadap terapis, berharap untuk di
adopsi olehnya, dan lain-lain adalah hasil dari transferensi positif (positive transference). Namun dikatakan
lebih lanjut oleh Corey (1996), suatu kesalahan jika setiap respon positif (seperti,
menyukai terapisnya) dilabelkan sebagai positive
transference, seharusnya tidak di labelkan seperti itu. Hal ini akan diulas
lebih lanjut pada pembahasan berikutnya.
Apabila terapis ingin menghasilkan
perubahan, hubungan transferensi harus bekerja dari awal sampai akhir (working through). Proses working through berisikan eksplorasi
dari material-material alam bawah sadar dengan defensif, kebanyakan hal
tersebut terbentuk pada masa anak-anak awal. Working through diperoleh melalui mengulang kembali interpretasi
dan mengeksplor daya tahan atau perlawanan klien. Klien memiliki banyak
kesempatan untuk melihat berbagai macam inti dari konflik mereka dan inti dari defense (pertahanan) mereka yang
termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut diasumsikan agar klien
secara psikologis menjadi tidak ketergantungan. Mereka tidak hanya menjadi
sadar terhadap material-material yang tidak disadari, tetapi juga dapat
mencapai beberapa tingkat kebebasan dari perilaku yang di motivasi oleh
dorongan-dorongan lahir, seperti kebutuhan akan cinta yang penuh dan penerimaan
dari figur orang tua mereka. Hubungan transferensi membutuhkan waktu yang lama
untuk dibangun dengan intens dan perlu tambahan waktu untuk memahami dan
menyelesaikan masalah klien. Jadi, working
through meminta waktu yang sangat panjang dalam proses total terapi.
Hal yang harus ditekankan pada terapi
psikoanalitik menurut Corey (1996) adalah bahwa semua jejak dari kebutuhan-kebutuhan
dan trauma masa kecil tidak akan pernah terhapus seluruhnya. Jadi, konflik-konflik
kita ketika masih kanak-kanak tidak dapat sepenuhnya diselesaikan walaupun
banyak aspek dari transferensi seperti working
through, dan lain-lain. Kita memproyeksikan sesuatu kepada orang lain
dengan permintaan yang tidak realistis dari yang kita harapkan untuk dipenuhi
oleh orang tersebut. Hal itu membuat kita mengalami transferensi dengan
orang-orang dan masa lalu kita selalu menjadi bagian yang vital bagi orang-orang
yang ada saat ini.
Countertransference
adalah
reaksi dari klien kepada terapis yang mengganggu objektivitas mereka. Sebagai
contoh, klien menjadi sangat tergantung kepada terapis, klien menyukai dan
jatuh cinta kepada terapis. Corey (1996) mengatakan bahwa terapis diharapkan
mampu mengembangkan beberapa tingkat objektivitas dan tidak bereaksi secara
irasional dan subjektif dalam menghadapi kemarahan, cinta, kritik dan perasaan-perasaan
intens lainnya dari klien mereka. Jika klien-klien mereka ada yang jatuh cinta,
maka harus dialihkan kepada terapis atau psikolog lainnya. Corey (1996)
melanjutkan bahwa kesalahan besar mengasumsikan bahwa semua perasaan klien
kepada terapis adalah manifestasi dari transferensi. Banyak reaksi tersebut
adalah realitas (kenyataan). Maka dari itu, setiap respon positif dari klien seperti
menyukai terapisnya seharusnya tidak di labelkan sebagai “positive transference”. Selain itu, kemarahan klien terhadap
terapis mungkin juga merupakan fungsi dari perilaku terapis. Kesalahan besar
jika melabelkan semua reaksi negatif dari klien sebagai tanda dari “negative transference.” Jadi, tidak
tepat jika berpendapat bahwa semua perasaan positif dan negatif dari klien
kepada terapis adalah transferensi yang tidak berhasil (countertransference).
Countertransference
adalah
fenomena yang terjadi ketika terdapat afek yang tidak tepat. Ketika terapis
merespon dengan irasional atau ketika mereka kehilangan objektivitas dalam
hubungan karena konflik-konflik mereka sendiri, terutama ketika ada hubungan
dengan klien, seperti ayah, ibu atau orang yang mereka cintai. Searles dalam
Corey (1996) menyatakan bahwa countertransference
dapat menghasilkan sesuatu yang positif. Reaksi countertransference dapat memberikan makna yang penting untuk
memahami dunia klien. Terapis yang mencatat bahwa suasana countertransference itu mengganggu, sebaliknya mereka mungkin
mempelajari sesuatu tentang pola permintaan (demands)
klien. Countertransference dapat
dilihat sebagai sesuatu yang secara potensial berguna, jika dieksplor dalam
analisis.
Hubungan terapis dengan klien meminta
tingkat penyesuaian emosional yang besar. Dipandang sebagai cara yang positif, countertransference menjadi kunci
potensial untuk membantu klien. Jadi sangatlah jelas bahwa hubungan terapis
dengan klien adalah hal yang vital dan penting dalam terapi psikoanalisa. Hasil
dari hubungan tersebut adalah klien mendapatkan insight dari material yang represikan, yang merupakan dasar dari
proses pertumbuhan analisis. Klien menjadi mampu memahami asosiasi atau
hubungan antara pengalaman masa lalu mereka dengan perilaku dan struktur
karakter mereka saat ini. Pendekatan psikoanalisa berasumsi bahwa tanpa
dinamika tersebut self understanding (pemahaman
diri) tidak akan bisa menjadi substansi yang dapat merubah kepribadian atau
resolusi dari konlik-konflik saat ini (Corey, 1996).
Aplikasi Teknik
Psikoanalisa
Corey dalam Lubis (2011) mengatakan
bahwa teknik terapi psikoanalisa adalah untuk meningkatkan kesadaran, memperoleh
insight, dan memahami arti dari simtom-simtom
yang dirasakan oleh klien. Proses terapi selesai ketika tujuan-tujuannya telah
tercapai yaitu memperoleh pemahaman intelektual dan emosional dimana hal
tersebut diharapkan dapat mengubah kepribadian. 5 teknik dasar dari terapi
psikoanalitik terdiri dari:
1. Asosiasi
Bebas
Asosiasi bebas adalah teknik yang memberi kebebasan pada klien
untuk mengatakan apa saja perasaan, pemikiran, dan renungan yang ada dalam
pikirannya tanpa ada yang disembunyikan. Melalui teknik ini, klien diharapkan
mampu melepaskan emosi yang berkaitan dengan pengalaman traumatik di masa lau
yang terpendam (katarsis). Katarsis inilah yang mendorong klien memperoleh
pemahaman dan evaluasi diri yang lebih objektif. Tugas terapis disini adalah
memahami hal-hal yang di represi dan hanyut ke alam bawah sadar. Selanjutnya
terapis akan menafsirkan hal tersebut dan menyampaikannya pada klien. Setelah
itu, membimbing ke arah pemahaman dinamika kepribadian yang tidak disadari oleh
klien.
2. Analisis
Mimpi
Freud menilai mimpi sebagai jalan istimewa menuju
ketidaksadaran karena melalui mimpi, hasrat, kebutuhan dan ketakutan yang di
pendam akan mudah diungkapkan. Pada saat klien tidur, pertahanan egonya akan
melemah sehingga perasaan yang ditekan akan muncul ke alam sadar. Analisis
mimpi memungkinkan terapis untuk mengetahui masalah-masalah yang tidak terselesaikan
oleh klien. Pada dasarnya mimpi memiliki 2 taraf isi, yaitu isi laten dan isi
manifes. Isi laten terdiri dari motif yang disamarkan, tersembunyi dan bersifat
simbolik karena terlalu menyakitkan dan mengancam seperti dorongan seksual dan
agresif. Sementara itu, isi manifes terdiri dari bentuk mimpi yang tampil dalam
impian klien. Tugas terapis disini adalah menyingkap makna yang disamarkan
dengan mempelajari simbol-simbol dari isi manifes mimpi, sehingga dapat
diketahui isi laten klien.
3. Analisis
Resistensi
Resistensi dipandang oleh Freud sebagai pertahanan
klien terhadap kecemasan yang akan meningkat jika klien menjadi sadar atas dorongan
dan perasaan yang direpresinya. Hal ini akan menghambat terapis dan klien
memperoleh pemahaman dinamika ketidaksadaran klien. Jika terjadi resistensi, terapis
harus membangkitkan perhatian klien dan menafsirkan resistensi yang paling
terlihat untuk mengurangi kemungkinan klien menolak penafsiran. Resistensi
dapat menghambat kemampuan klien untuk mengalami kehidupan yang lebih memuaskan
sehingga sebisa mungkin terapis harus dapat memberi pemahaman pada klien agar
membuka tabir resistensinya.
4. Analisis
Transferensi
Transferensi merupakan reaksi klien yang melihat
terapis sebagai orang yang paling dekat dan penting dalam hidupnya di masa
lalu. Sebagian besar terapis akan mengembangkan neurosis transferensi yang
dialami klien di lima tahun pertama kehidupannya. Untuk itu terapis harus
melakukannya secara netral, objektif, anonim dan pasif. Teknik ini akan
mendorong klien menghidupkan kemabali masa lalunya sehingga memberi pemahaman
pada klien mengenai pengaruh masa lalunya terhadap kehidupannya saat ini.
Melalui transferensi, klien juga mampu menyadari konflik masa lalu yang masih
dipertahankannya sampai sekarang.
5. Interpretasi
(Penafsiran)
Interpretasi merupakan prosedur dasar yang mencakup
analisis terhadap asosiasi bebas, analisis mimpi, analisis resistensi, dan
analisis transferensi. Terapis akan menyampaikan sekaligus memberi pemahaman
pada klien mengenai makna dari tingkah laku klien yang dimanifestasikan melalui
keempat teknik psikoanalisis tersebut. Tujuan dari penafsiran ini adalah agar
mendororng ego klien untuk megasimilasi hal-hal baru dan mempercepat proses
penyingkapan hal-hal yang tidak disadari. Penafsiran harus disampaikan pada
saat yang tepat agar dapat diterima klien sebagai bagian dari dirinya. Apabila
disampaikan terlalu cepat, kemungkinan klien akan melakukan penolakan, tetapi
apabila penafsiran jarang dilakukan, kemungkinan klien akan sulit memperoleh insight atas masalahnya.
Terapi
dengan pendekatan psikoanalisa ini tidak terlalu tepat jika digunakan pada
orang-orang yang ingin berfungsi sepenuhnya atau ingin mencapai aktualisasi
diri, artinya tidak terlalu tepat bagi orang-orang sudah dalam keadaan baik,
yang berkeinginan untuk menjadi lebih baik lagi. Orang-orang yang ingin
beraktualisasi diri akan lebih baik apabila menjalani konseling dengan
pendekatan humanistik dan eksistensial. Untuk terapi dengan pendekatan
Psikoanalisa akan lebih tepat untuk klien-klien yang memiliki masalah berat
sampai ringan, mulai dari masalah-masalah abnormal sampai pada masalah ringan,
seperti putus cinta, trauma, dan lain-lain.
Sekian
ulasan mengenai terapi pada pendekatan psikoanalisa ini, semoga dapat
bermanfaat bagi para pembacanya yang ingin mengetahui mengenai terapi tersebut.
Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Corey, Gerald. (1996). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Brooks Cole
Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Tidak ada komentar:
Posting Komentar