Terapi dengan Pendekatan Eksistensial-Humanistik
Viktor Frankl |
Rollo May |
Pendekatan eksistensial-humanistik
pada hakikatnya mempercayai bahwa individu memiliki potensi untuk secara aktif
memilih dan membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan lingkungannya.
Pendekatan ini sangat menekankan tentang kebebasan yang bertanggung jawab. Jadi
individu diberikan kebebasan seluas-luasnya dalam melakukan tindakan, tetapi
harus berani bertanggung jawab sekalipun mengandung resiko bagi dirinya.
Menurut Buhler dan Allen dalam Lubis (2011), seorang ahli psikologi humanistik harus memiliki orientasi
bersama yang mencakup hal-hal berikut:
1.
Menyadari pentingnya
pendekatan dari pribadi ke pribadi.
2.
Menyadari peran dan
tanggung jawab terapis.
3.
Mengakui adanya hubungan
timbal balik dalam hubungan konseling atau terapi.
4.
Konselor atau terapis
harus terlibat sebagai pribadi yg menyeluruh dengan klien.
5.
Mengakui bahwa keputusan
dan pilihan akhir terletak di tangan klien.
6.
Memandang konselor atau
terapis sebagai model yang dapat menunjukan pada klien potensi bagi tindakan
yang kreatif dan positif.
7.
Memberi kebebasan pada
klien untuk mengungkapkan pandangan, tujuan, dan nilainya sendiri.
8.
Mengurangi ketergantungan
klien serta meningkatkan kebebasan klien.
Pendekatan
Eksistensial-Humanistik dikembangkan oleh Victor Frankl, Rolo May, Irvin Yalom,
James Bugental, dan Medars Boss. Tokoh yang dikatakan perintis awal
perkembangan eksistensial-humanistik ini adalah Frankl dan May. Frankl dulunya
memiliki kehidupan yang tidak menyenangkan, menderita dan banyak kepedihan. Ia
adalah seorang yahudi. Saat itu adalah zaman Nazi dimana Hitler memerintahkan
semua orang yahudi untuk ditahan di suatu perkemahan. Seluruh keluarga Frankl,
anak dan istrinya ditahan di perkemahan tersebut, hingga akhirnya seluruh anak
dan istrinya meninggal dunia. Hanya tersisa ia seorang diri. Sedangkan May
memiliki latar belakang hidup yang tidak jauh berbeda dengan Frankl, yaitu kehidupan
yang tidak bahagia. Sudah dua kali May gagal membina pernikahannya dan itu
membuatnya sangat terpukul. Berdasarkan latar belakang kehidupan yang seperti
itulah mereka kemudian menciptakan suatu teori yag kita kenal sebagi Humanistik-Eksistensial.
Teori yang memandang manusia secara positif. Manusia dilihat dapat menyelesaikan
masalahnya sendiri, memiliki potensi untuk berkembang dengan penuh, dan
lain-lain. Hal ini merupakan kebalikan dari teori psikoanalisa yang memandang
manusia secara negatife. Jadi teori mereka ini didasari oleh pengalaman hidup
mereka sendiri.
Psikologi
eksistensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama
adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Dalam
mengembangkan teorinya, psikologi eksistensial-humansistik sangat memperhatikan
tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya, secara
manusiawi dengan menitik beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan
pendapat dan menetukan pilihannya, nilai-nilai tanggung jawab personal,
otonomi, tujuan dan pemaknaan. Konsep-konsep utama dalam pendekatan
eksistensial-humanistik adalah
1. Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri,
suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir
dan memutuskan. Semakin besar kesadaran dirinya, maka semakin besar pula
kebebasannya untuk memilih altrnatif-alternatif. Kebebasan memilih dan
bertindak itu disertai dengan tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab atas
keberadaan dan nasibnya.
2. Kebebasan, tanggung jawab dan kecemasan
Kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan
kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan juga bisa
diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak
terhindarkan untuk mati (Nonbeing).
3. Penciptaan Makna
Manusia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan
nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga
berarti menghadapi kesendirian. Manusia
memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang
bermakna. Manusia juga berusaha untuk mengaktualisasikan diri, yakni
mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Apabila gagal mengaktualisasikan dirinya,
maka ia bisa menjadi “sakit”.
Tujuan Terapi Humanistik-Eksistensial
Tujuan dasar dari berbagai macam terapi adalah membuat
individu mampu menerima kebebasan dan tanggung jawab dalam bertindak. Terapi
eksistensial bertujuan untuk membuat klien menyadari bahwa mereka tidak
sepenuhnya hidup dalam kenyataan dan mampu membuat pilihan yang dapat mereka jalani.
Orientasi dari eksistensial adalah tidak ada kata “melarikan diri” dari
kebebasan, karena kita selalu dapat bertanggung jawab. Kita dapat melepaskan
kebebasan kita, apabila itu bukan kebebasan yang sebenarnya, artinya kita boleh
melepaskan kebebasan yang palsu (semu). Terapi eksisitensial membantu klien
untuk keluar dari kehidupan (alur hidup) sehari-harinya yang kaku (tidak
fleksibel) dan mengkonfrontasi (melawan) kecenderungan yang kompulsif dan
dangkal, yang menghalangi kebebasan mereka. Walaupun proses ini memberikan
individu persaan lepas, bebas, meningkatkan kemandirian, namun kebebasan yang
baru akan membawa kecemasan (Corey, 1996).
Kebebasan adalah menaruh resiko pada suatu jalan baru,
dimana tidak ada keyakinan atau kepastian mengenai jalan tersebut. Kepeningan
dan ketakutan harus dapat dikonfrontasi (dilawan) jika menginginkan adanya
perubahan (May dalam Corey, 1996). Banyak ketakutan akan
beratnya tanggung jawab yang harus diemban seperti “Siapa mereka sekarang?” dan
“Akan menjadi apa mereka kemudian?” Untuk dapat menjawabnya, Mereka harus
memilih. Sebagai contoh, lebih memilih untuk
berpegang teguh pada hal yang telah diketahui (familiar) atau membuka diri terhadap suatu resiko yang memiliki
sedikit kepastian, dan menantang hidup? Kurangnya kehidupan yang terjamin, yang
pasti, akan menimbulkan kecemasan. Untuk itu terapi eksistensial membantu klien
menghadapi kecemasan tersebut dan bertindak yang didasarkan pada tujuan yang
sebenarnya, yang membuat eksistensi (keberadaannya) berharga.
May dalam Corey (1996) berpendapat orang-orang
datang ke tempat terapi dengan ilusi diri yang dibuatnya sendiri (sel- serving illusion) yang membuat
hati atau batin mereka diperbudak olehnya, dan terapis dapat membebaskan mereka
dari hal tersebut. Tujuan psikoterapi adalah bukan untuk mengobati klien secara
lazim, tetapi untuk membantu mereka menjadi sadar terhadap apa yang sedang
mereka lakukan atau perbuat dan mengeluarkan mereka dari peran sebagai korban.
Tugas terapi eksisitensial adalah mengajari klien untuk mendengarkan apa yang
telah mereka ketahui tentang diri mereka, walaupun mereka mungkin tidak sadar
(tidak mengerti) dari apa yang mereka ketahui tersebut. Menurut Bugental dalam Corey (1996) Terapi adalah proses membawa keluar
kehidupan klien yang tersembunyi atau terpendam. Bugental mengidentifikasi tiga
tugas terapi yaitu:
1.
Membantu klien menyadari bahwa diri mereka tidak hadir
sepenuhnya dalam proses terapi itu sendiri dan melihat bagaimana hal tersebut
membatasi dirinya dalam terapi tersebut.
2.
Mendukung klien dalam melawan kecemasan mereka.
3.
Membantu klien menemukan kembali dirinya dan dunianya
sehingga dapat berkembang dengan sebenarnya untuk berinteraksi dengan dunianya.
Singkatnya, meningkatkan kesadaran adalah tujuan utama dari
terapi eksistensial. Mengacu pada Bugental, terapis membimbing
klien untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan alternatif yang ada, yang tidak
disadari sebelumnya sehingga kemudian mereka mampu untuk membuat perubahan-perubahan
terhadap eksistensinya di dunia. Secara ringkas, tujuan terapi dalam pendekatan
eksistensial-humanistik dikutip Corey
dalam Lubis (2011) adalah sebagai berikut:
1.
Memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan
2.
Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi
3.
Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih
dengan memperluas kesadaran diri,
4.
Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab atas arah
kehidupannya sendiri.
Terapi Humanistik bertujuan agar klien mengalami
keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan
potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak
berdasarkan kemampuannya. Bugental dalam Corey
(1996) menyebut keotentikan
sebagai “uraian utama psikoterapi” dan “nilai
eksistensial pokok”. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik: (1)
menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, (2) memilih bagaimana hidup pada saat
sekarang, dan (3) memikul tanggungjawab untuk memilih. Kilen yang neurotik
adalah orang yang kehilangan rasa ada, dan tujuan terapi adalah membentuknya
agar ia memperoleh atau menemukan kembali kemanusiannya yang hilang.
Fungsi dan Peran
Terapis
Fokus utama terapi
eksistensial adalah memahami dunia subjektif klien untuk membantu mereka
memiliki pemahaman baru dan pilihan. Jadi fokusnya pada kehidupan saat ini,
bukan dengan membantu klien menemukan kembali pengalaman masa lalunya (May dan Yalom dalam
Corey, 1996). Terapis eksistensial menggunakan
beberapa teknik seperti desentisasi, asosiasi bebas, atau restrukturisasi
kognitif, dan membimbing klien untuk mendapatkan insight. Tidak ada seperangkat teknik yang di spesifikasikan (fischer dan fischer
dalam Corey, 1996). Di sisi lain, beberapa
terapis eksistensial membenci teknik-teknik, mereka melihat suatu teknik terapi
sebagai hal yang kaku, rutin, dan manipulatif. Dalam proses terapi ini, teknik
digunakan sebagai cadangan untuk membangun hubungan yang membuat terapis secara
efektif mampu menantang dan memahami klien.
Terapis eksistensial,
terutama menaruh perhatian pada klien yang menghindari tanggung jawab. Terapis
meminta klien untuk dapat menerima tanggung jawab pribadinya. Ketika klien
mengeluh tentang keadaan yang sulit dan menyalahkan orang lain, terapis
biasanya bertanya bagaimana mereka mendapatkan situasi ini. Terapis biasanya
membuat perjanjian dengan orang-orang yang membatasi eksisitensinya (restricted existence). Klien seperti ini
biasanya memiliki kesadaran diri yang terbatas dan sering tidak memahami
masalah mereka. Mereka mungkin melihatnya dan menghadapi situasi hidup secara
sempit, hanya melihat sedikit pilihan walaupun sebenarnya terdapat beberapa
pilihan dan mereka merasa terperangkap dan tidak berdaya (Corey, 1996).
Tugas utama dari terapi
adalah untuk mengkonfrontasi klien yang hidup dengan cara membatasi eksistensi
dirinya dan membantu mereka menjadi sadar akan bagain diri mereka dalam
menciptakan atau membuat kondisi tersebut. Dapat dikatakan terapis sebagai kaca
yang berbicara, jadi klien secara berangsur-angsur dapat mengkonfrontasi
dirinya sendiri. Dengan begitu klien dapat melihat bagaimana mereka menjadi
diri mereka apa adanya dengan cara mereka sendiri dan bagaimana mereka dapat
memperluas cara hidup mereka. Ketika mereka sadar akan faktor-faktor di masa
lalu, mereka mulai bisa menerima tanggung jawab untuk perubahan di masa depan (Corey, 1996).
Pengalaman Klien
dalam Terapi
Klien dalam terapi
eksistensial diminta untuk secara serius menceritakan pengalaman subjektif
mereka tentang dunia. Mereka ditantang untuk menerima tanggung jawab mengenai
yang akan mereka pilih sekarang dalam dunia mereka. Terapi yang efektif tidak
hanya berhenti dengan kesadaran diri yang diperoleh klien, tetapi juga pada
tindakan yang didasarkan pada insight
yang berkembang dari klien melalui proses terapi. Klien diharapkan dapat keluar
dari dunianya dan memutusdkan bagaimana mereka akan hidup secara berbeda.
Mereka harus aktif dalam proses terapi, selama sesi terapi mereka harus
memutuskan ketakutan, rasa bersalah dan kecemasan apa yang akan mereka eksplor
(jelajahi). Memutuskan untuk memasuki psikoterapi, seringnya dianggap sebagai
hal yang menakutkan, hal ini dapat terlihat dari sedikit tulisan seorang klien yang dikutip dari Corey (1996)
“Saya memulai terapi
pribadi hari ini. Saya merasa takut, tapi saya tidak tahu apa yang saya takuti.
Sekarang saya tahu. Pertama, saya takut dengan diri Jerry. Dia memiliki
kekuasaan untuk mengubah saya. Saya yang memberinya kekuasaan tersebut, dan
saya tidak dapat kembal lagi. Hal itu benar-benar membuat saya putus asa, saya
tidak akan pernah bisa kembali lagi selamanya. Saya sedih dan takut akan hal
ini Saya sedih karena saya tidak bisa kembali. Saya membuka pintu di dalam diri
saya, dan saya takut akan apa yang ada disana, sebuah diri saya yang baru, yang
memandang dan berhubungan dengan orang-orang secara berbeda. Saya rasa saya
cemas akan segalanya, tapi yang paling utama saya takut adalah dengan diri
saya. Saya meledakkan rasa aman keluar dari hidup saya dan saya benar-benar
takut akan menjadi orang seperti apa yang mereka inginkan.”
Melalui proses terapi,
klien dapat mengeksplor alternatif (pilihan lain) untuk membuat penglihatan
mereka menjadi nyata. Ketika klien merasa tidak berdaya kemudian membuat alasan
dan berusaha meyakinkan kita bahwa dirinya benar-benar tidak berdaya, May dalam Corey (1996)
mengingatka bahwa perjalanan mereka menuju kebebasan dimulai dengan melangkahkan
kaki di depan kaki-kaki lain. Setiap menit yang mereka rangkai untuk memperoleh
kebebasan, mungkin dapat dimulai dengan melangkah lebih awal.
Aspek lain mengenai
pengalaman klien dalam terapi eksistensial adalah mengkonfrontasi atau melawan
pertanyaan-pertanyaan secara langsung daripada memecahkan masalah. May dalam Corey (1996) menulis “pengalaman-pengalaman
besar, seperti melahirkan, kematian, percintaan, kecemasan, rasa bersalah,
bukanlah masalah untuk diselesaikan, tetapi merupakan paradoks yang harus
dikonfrontasi dan diakui. Penyelesaian masalah hanya dibicarakan untuk membuat
paradoks-paradoks tersebut mrenjadi lebih jelas. Beberapa tema besar dalam sesi
terapi adalah kecemasan, kebebasan dan tanggung jawab, isolasi, kematian, dan
dampaknya terhadap kehidupan dan pencarian makna yang berkesinambungan.
Hubungan antara Klien
dengan Terapis
Hubungan dengan klien
adalah hal yang sangat penting dalam terapi eksistensial, bukan untuk
menimbulkan transferensi, tetapi lebih kepada kualitas hubiungan tersebut
dimana situasi terapi adalah sebagai stimulus untuk membuat perubahan yang
positif. Karakteristik personal dan sikap dasar yang harus dimiliki terapi
adalah kejujuran, integritas, dan keteguhan hati yang mereka berikan. Buber dalam Corey (1996) mengatakan
mudah bagi konselor untuk tesenyum dan menggangguk tanpa benar-benar
mendengarkan dan hadir untuk klien. Klien akan merasakan ketidakhadiran atau
kurangnya kehadiran tersebut, yang pada akhirnya akan berdampak negatif
terhadap hubungan terapis dengan klien.
Terapis bereaksi terhadap
klien dengan tidak dibuat-buat (otentik atau apa
adanya) dan empati, hal itu adalah salah satu cara untuk memperdalam hubungan
terapi. Bugental dalam Corey (1996) menekankan peran
yang penting sekali, yaitu “kehadiran terapis”. Kehadiran terapis memainkan peran penting dalam membina
hubungan dengan klien. Dia berpendapat bahwa terapis seringkali terlalu fokus
pada isi pembicaraan klien yang pada akhirnya ia tidak menyadari membuat jarak
antara dirinya dengan klien, lebih lanjut ia mengatakan bahwa konsep terapis
disini bukan sebagai observer-teknisi yang tidak tertarik dengan isi pembicaraan
klien tetapi sebagai sahabat, sebagai manusia yang ada sepenuhnya untuk klien,
seperti mendengarkan klien dengan sepenuh hati bukan pada isi pembicaraannya
saja, tetapi juga ikut merasakan apa yang klien rasakan serta menghargainya.
May dan Yalom dalam Corey
(1996) juga menekankan peran penting terapis, yaitu berada “disana”
untuk klien dan hadir sepenuhnya serta secara intens terlibat. Mereka
mengingatkan jika klien merasa terapis hilang atau tidak ada atau tidak hadir
sepenuhnya, maka mereka gagal mencapai (memperoleh) pertemuan yang sebenarnya
dimana hal itu sangat penting dan diinginkan oleh klien. Inti dari hubungan
terapi adalah “menghargai”, yang berdampak pada potensi klien untuk menyelesaikan masalah
secara otentik dan kemampuan mereka untuk menemukan cara alternatif lainnya.
Klien biasanya menjadi dapat melihat diri mereka sebagai orang yang aktif dan
bertanggung jawab untuk eksistensinya, dimana sebelum terapi mereka merasa dan
memandang diri mereka tidak berdaya. Mereka mengembangkan peningkatan kemampuan
untuk menerima dan mengkonfrontasi kebebasan yang mereka miliki.
Terapis membuat klien tumbuh
atau berubah dengan meniru perilaku yang otentik (apa adanya, tidak
dibuat-buat). Jika terapis menyembunyikan diri mereka selama sesi terapi atau
mereka tidak memperlihatkan perilaku mereka apa adanya, maka klien juga akan hati-hati
dan berperilaku dengan cara yang tidak otentik atau palsu. Maka dari itu, terapis
dapat membantu klien untuk tidak merasa asing terhadap dirinya dengan
menseleksi respon-respon yang terbuka. Tentu saja, keterbukaan disini bukan
berarti berbagi pikiran dan perasaan tanpa sensor (uncensored), namun lebih kepada bersedia mempertahankan reaksi yang
apa adanya pada kilen (Corey, 1996).
Aplikasi: Teknik dan
Prosedur Terapi
Pendekatan eksistensial
tidak seperti kebanyakan terapi-terapi lainnya, pendekatan ini tidak berorientasi
dan tidak mendefinisikan seperangkat teknik tertentu. Intervensinya berdasarkan
pandangan filosofis mengenai eksistensi manusia secara alamiah. Terapi
eksistensial bebas mengambarkan teknik dengan berbagai macam orientasi. Mereka
memiliki seperangkat asumsi dan sikap yang membimbing intervensi mereka pada
klien.
Van Deurzen Smith dalam
Corey (1996) menekankan bahwa pendekatan
eksistensial di kenal tidak menekankan teknik-teknik, tetapi menekankan
pentingnya terapis untuk menggali secara dalam dan membuka diri mereka untuk
mengambil resiko dalam menyelesaikan permasalahan klien tanpa ketinggalan
sedikit pun informasi dari klien. Dia mengingatkan bahwa terapi eksistensial
adalah pengalaman kolaboratif dimana klien dan terapis akan mengalami perubahan
jika mereka saling membuka diri.
Baldwin dalam Corey (1996) mengemukakan bahwa inti dari terapi ini adalah penggunaan diri
terapis itu sendiri. Ketika bagian diri terdalam dari terapis bertemu dengan
bagian diri terdalam dari klien maka proses terapi tersebut berlangsung sangat
baik. Terapi adalah proses penemuan yang kreatif yang dapat di konseptualisasikan
dalam 3 fase umum, yaitu:
Fase pertama
1.
Terapis membantu klien
dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka tentang dunia.
2.
Klien diminta menemukan
dan mempertanyakan apa yang mereka rasakan dan perasaan mengenai eksistensi diri
mereka.
3.
Mereka menguji kembali
nilai-nilai, keyakinan, dan asumsi-asumsi mereka untuk menunjukan kevaliditasan.
Fase
kedua
1.
Klien diminta mengeluarkan
sumber dayanya secara penuh yang disebut dengan eksplorasi diri yang dapat
menimbulkan insght baru dan
restrukturisasi sikap dan nilai-nilai.
2.
Klien mendapatkan ide yang
baik mengenai hidup yang mereka anggap berarti bagi mereka. Mereka
mengembangkan perasaan yang jelas mengenai proses nilai dalam diri mereka.
Fase
ketiga
Fase terakhir yaitun fokus untuk membantu klien belajar
mengenali dirinya. Hasil terapi yang dicapai adalah klien mampu menemukan cara
mengimplementasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai dengan cara yang
konkrit. Klien dapat menemukan kelebihan diri mereka dan mebuatnya dapat hidup
secara bermakna.
Kelebihan
dan Kelemahan Terapi Eksistensial-Humanistik
Kelebihan Terapi Eksistensial-Humanistik
1. Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang
mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
2. Adanya kebebasan klien untuk mengambil
keputusan sendiri.
3. Memanusiakan manusia.
4. Bersifat pembentukan kepribadian, hati
nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
5. Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok
digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam
perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan
dari remaja menjadi dewasa
Kelemahan Terapi Eksistensial-Humanistik
1. Dalam metodologi, bahasa dan
konsepnya yang mistikal
2. Dalam pelaksanaannya tidak
memiliki teknik yang tegas.
3. Terlalu percaya pada kemampuan
klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
4. Memakan waktu lama.
Pendekatan eksistensial-humanistis bukanlah suatu aliran terapi
dan bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik. Pendekatan ini merupakan
pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan tetapi berlandaskan konsep
dan asumsi tentang manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Feist, Jess dan Feist, Gregory. (2010). Theories of Personality. USA: Mc Graw Hill
Corey, Gerald. (1996).
Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Brooks Cole
Lubis,
Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan
Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group