What is Acculturation?
Istilah Akulturasi sudah tidak asing lagi di telinga kita. Menurut
Matsumoto dan Juang (2008), Akulturasi
adalah proses dimana orang-orang mengadopsi sistem budaya yang berbeda. Memahami
proses akulturasi sangatlah penting bagi beberapa individu, bukan hanya bagi
pendatang saja tetapi juga bagi pengungsi. Akulturasi mengacu pada proses dimana kultur seseorang dimodifikasi
melalui kontak atau pemaparan langsung dengan kultur lain (Wikipedia). Misalnya, bila sekelompok imigran kemudian berdiam di Amerika Serikat (kultur tuan rumah), kultur imigran akan dipengaruhi oleh
kultur tuan rumah ini. Berangsur-angsur, nilai-nilai, cara berperilaku, serta
kepercayaan dari kultur tuan rumah akan menjadi bagian dari kultur kelompok
imigran itu. Pada waktu yang sama, kultur tuan rumah pun ikut berubah.
Sedangkan pengertian akulturasi menurut Berry
(2005) adalah proses dualisme dari budaya dan perubahan psikologis sebagai
hasil dari kontak (hubungan) antara dua atau lebih kelompok budaya dan
individunya.
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
akulturasi adalah proses dimana suatu budaya asli mengadopsi nilai, keyakinan
dan sikap dari budaya lain tanpa mengubah atau mengikis nilai-nilai budaya asli
tersebut. Proses pengadopsian nilai-nilai ini tidak hanya satu arah (sepihak)
melainkan dua arah (saling timbal balik), dimana nilai-nilai budaya asli
terpengaruh oleh nilai budaya lain, sedangkan budaya lain juga terpengaruh oleh
nilai-nilai budaya asli. Pengadopsian nilai-nilai antar budaya dapat
menghasilkan asimilasi, yaitu dimana nilai-nilai budaya asli dan budaya lain
saling menyatu membentuk suatu budaya baru.
What is Intercultural?
Interkultural adalah
orang-orang yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Interkultural
biasanya dijelaskan dalam komunikasi antarbudaya (intercultural communication) yang menurut Matsumoto dan Juang, (2008) merupakan komunikasi antar orang-orang
yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Orang-orang yang berasal dari
budaya lain biasanya membawa bahasa verbal mereka sendiri. Sebagai contoh,
orang Israel akan memiliki kemampuan untuk berbicara Hebrew. Orang India akan
memiliki kemampuan untuk berbicara Hindi, Orang dari suku Jawa akan memiliki
kemampuan untuk berbicara bahasa Jawa, dan sebagainya. Akan tetapi selain itu,
mereka juga akan membawa budaya spesifik non-verbal mereka. Hal yang serupa juga dikemukakan
oleh Stewart L. Tubbs, yang
mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio-ekonomi).
Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi
antarbudaya sebagai human flow across national boundaries, yaitu
keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai
negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain. Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi
antarbudaya sebagai Intercultural communication generally refers to
face-to-face interaction among people of diverse culture, yaitu interaksi tatap muka di antara
orang-orang yang berbeda budayanya (Wikipedia).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa Intercultural Communication (Komunikasi
antar budaya) adalah suatu interaksi (baik tatap muka maupun menggunakan media)
antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam ras, etnik, atau perbedaan sosio-ekonomi). Hal
ini sangatlah jelas berbeda dengan Intracultural
Communication, dimana komunikasi yang terjadi adalah dengan orang dari
latar belakang budaya yang sama sehingga memiliki norma dan nilai-nilai yang
sama. Untuk itu menurut Matsumoto dan
Juang (2008), Intercultural
Communication akan menyebabkan banyak konflik serta ketidakpastian dan
ambiguitas karena saling menganut nilai, norma dan keyakinan yang berbeda.
Acculturation and Intercultural Relation
Dari penjelasan diatas,
maka kita mendapatkan gambaran bahwa ternyata akulturasi dapat terjadi karena
adanya hubungan interkultural. Tanpa adanya komunikasi dari orang-orang dengan
latar belakang budaya yang berbeda, maka tidak akan dapat terbentuk akulturasi.
Akulturasi yang merupakan pengadopsian nilai-nilai dari budaya yang satu kepada
budaya yang lain, atau sebaliknya tidak akan pernah terjadi jika dua budaya
tidak saling berinteraksi satu sama lain. Menurut Matsumoto dan Juang (2008), akulturasi terbagi menjadi dua proses
yang saling berhubungan tetapi memiliki komponen yang berbeda, yaitu:
1.
Intercultural Adaptation
Adalah bagaimana orang-orang
mengubah perilaku mereka atau pola pikir mereka dalam lingkungan budaya yang
baru.
2.
Intercultural Adjustment
Adalah pengalaman subjektif yang
orang-orang miliki mengenai perilaku dan pola pikiran yang mereka sesuaikan.
Berry
(dalam Matsumoto dan Juang, 2008) mengemukakan sebuah model mengenai strategi
akulturasi. Dalam model Berry, pendatang diberikan dua pertanyaan dasar, yaitu:
1. Apakah
saya ingin memelihara identitas dan karakteristik budaya asli saya?
2. Apakah
saya ingin memelihara hubungan yang baik dengan orang-orang dari budaya tuan
rumah?
Berry menyebut
orang-orang yang menjawab ‘Ya’ pada pertanyaan pertama dan ‘Tidak’ pada jawaban
kedua adalah Separators
(orang-orang yang memisahkan diri). Mereka tinggal dalam lingkungan
komunitas pendatang, berbicara bahasa asli mereka, dan berinteraksi dengan
teman-teman dari budaya asli mereka serta memiliki sedikit hubungan (interaksi)
dengan individu yang berasal dari budaya tuan rumah.
Individu yang menjawab
‘Tidak’ pada pertanyaan pertama dan menjawab ‘Ya’ pada pertanyaan kedua,
disebut Assimilators. Jenis individu ini menolak budaya asli mereka
dan secara menyeluruh mengasimilasi budaya tuan rumah. Mereka mengurangi
interaksi dengan orang-orang dari budaya asli mereka, dan mereka berbicara
menggunakan bahasa sesuai dengan budaya tuan rumah sampai ketika mereka
berinteraksi dengan orang-orang dari budaya asli mereka.
Orang-orang yang
menjawab ‘Tidak’ kepada dua pertanyaan diatas, disebut Marginalizers. Mereka menolak
budaya asli maupun budaya tuan rumah dan tidak berlaku baik dalam masing-masing
budaya. Mereka tinggal di pinggiran dari kedua budaya tersebut, dan tidak
benar-benar mampu membenamkan diri (mendalami) salah satu budayanya.
Terkhir, orang-orang
yang menjawab ‘Ya’ pada kedua peetanyaan tersebut, disebut Integrators. Individu ini mampu
pindah dari budaya yang satu ke buaday lainnya, mengganti gaya budaya mereka
sesuai dengan tempat dimana mereka berada. Mereka dapat berbicara dua bahsa
atau lebih (bilingual atau multilingual), sama baiknya dengan
orang yang memiliki dua budaya tau lebih (bicultural
atau multicultural). Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat dari gambar di bawah ini.
Strategi yang paling baik menurut Berry
adalah integration. Integrasi adalah
pola adaptasi terbaik, yang dapat menghasilkan hasil terbaik dalam penyesuaian
(adjustment). Namun hal ini mendapat
kritik dari Rudmin. Rudmin (dalam Matsumoto dan Juang, 2008) mengatakan bahwa
integrasi tidak benar-benar dapat diasosiasikan dengan hasil penyesuaian yang
terbaik. Kenyataannya, banyak kelompok pendatang di Amerika yang hidup bahagia,
produktif, tidak begitu baik dalam berbicara inggris, dan tidak banyak
berinteraksi dengan tuan rumah orang Amerika.
Faktor-Faktor Psikologis yang memprediksi Intercultural Adaptation dan Adjustment
Pengetahuan mengenai
norma-norma, keyakinan-keyakinan, sikap-sikap, dan nilai-nilai dalam budaya
target menjadi prasayarat untuk adaptasi (Matsumoto
dan Juang, 2008). Penelitian lainnya ditemukan bahwa pengetahuan mengenai
gesture dalam budaya tuan rumah berkolerasi positif dengan lamanya tinggal di
negara asing dan berkorelasi negatif dengan masalah komunikasi (Molinsky, Krabbenhoft, Ambady, dan Choi
dalam Matsumoto dan Juang, 2008).
Dalam intercultural adjustment, terdapat
beberapa faktor yang penting. Faktor yang pertama adalah cultural fit atau tingkatan dimana karakteristik seseorang cocok
dengan lingkungan budaya baru yang mana dia akan terakulturasi (Ward dan Chang dalam Matsumoto dan
Juang, 2008). Ia juga mengatakan bahwa individu yang cocok akan memiliki
penyesuaian yang baik, sebaliknya individu yang tidak cocok karakteristiknya
akan memiliki penyesuaian diri yang buruk, dimana mereka kemudian stres, depresi,
atau cemas.
Faktor lainnya yang
penting untuk intercultural adjusment adalah regulasi emosi yang diartikan
sebagai kemampuan untuk mengatur reaksi emosi agar mendapatkan hasil yang
berguna. Dalam studi yang berkelanjutan ditunjukan bahwa pengaturan emosi
adalah salah satu kunci suksesnya intercultural adjustment (Matsumoto, LeRoux, Bernhard, Gray, Iwamoto,
Choi, Rogers, Ratzlaff, Tatani, Uchida et al, dalam Matsumoto dan Juang,
2008). Dalam Intercultural Adaptation, kemungkinan penuh konflik yang tidak
dapat dielakkan yang banyak membawa tekanan (stres). Kemampuan untuk dapat
menyesuaikan diri dengan sukses menjadi cara untuk dapat menghadapi terjadinya
stres ketika tinggal dalam budaya baru. Kemampuan ini menuntut kita untuk tidak
mengatasi masalah dengan emosi. Kita harus mampu menjaga emosi kita, itulah
yang dinamakan proses regulasi emosi. Jadi dapat dikatakan, regulasi emosi
adalah kemampuan dalam mengatur dan mengendalikan emosi ketika menghadapi
situasi yang membuat stres. Sebuah variabel yang berkaitan dengan regulasi
emosi adalah Need for Cognitive Closure
(kebutuhan untuk menggunakan kognitif). Need
for Cognitive Closure berhubungan negatif dengan regulasi emosi.
Orang-orang yang regulasi emosinya rendah kemungkinan memiliki Need for Cognitive Closure yang tinggi,
karena mereka tidak bisa mengatasi rasa cemas mereka yang tidak diketahui
penyebabnya (Matsumoto dan Juang, 2008).
Rintangan dalam mencapai Intercultural
Communication yang Efektif
Barna (dalam Matsumoto dan Juang, 2008)
menggaris bawahi 6 rintangan utama pada komunikasi antarbudaya secara efektif,
yaitu:
1. Adanya Asumsi Kesamaan (similiarities)
Orang-orang biasanya dengan naif
berpendapat bahwa orang lain sama dengan dirinya, atau kurang lebih cukup sama
untuk membuat komunikasi menjadi lebih mudah.
2. Perbedaan Bahasa
Ketika orang-orang mencoba untuk
berkomunikasi dalam bahasa dimana ia tidak lancar, orang-orang tersebut
seringkali berfikir bahwa kata, frase atau kalimat hanya memiliki satu makna
(satu arti).
3. Kesalahpahaman dalam Menginterpretasikan Non-verbal
Adanya kesalahpahaman dalam menginterpretasikan
perilaku non-verbal dapat dengan mudah menimbulkan konflik sehingga dapat
merusak komunikasi.
4. Prasangka dan Stereotip
Ketergantungan terhadap stereotip dapat
mecegah timbulnya komunikasi yang objektif.
5. Kecenderungan untuk Menilai
Nila-nilai budaya yang saling berbeda akan
menimbulkan penilaian negatif bagi orang lainnya.
6. Kecemasan yang Tinggi atau Tegang
Komunikasi antarbudaya (Intercultural Communication) sering diasosiasikan dengan
kecemasan yang hebat dan stres daripada komunikasi dengan budayanya sendiri.
Terlalu banyak cemas dan stres dapat menyebabkan disfungsional dalam proses
berfikir dan perilaku. Sters dan cemas dapat menyebabkan hubungan menjadi terhambat.
Hasil Akulturasi yang Disebabkan oleh Interkultural
A.
Hasil Akulturasi Indonesia dengan Hindu-Budha
Masuknya budaya Hindu-Budha di Indonesia
menyebabkan munculnya Akulturasi. Hal ini terlihat jelas bahwa adanya komunikasi
yang terjadi antara orang-orang indonesia dengan orang-orang yang menganut
ajaran Hindu-Budha, melahirkan suatu perpaduan unik, yaitu akulturasi antara
indonesia dan Hindu-Budha. Kebudayaan Hindu-Budha yang
masuk ke
Indonesia tidak diterima begitu saja melainkan melalui proses pengolahan dan
penyesuaian dengan kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tanpa menghilangkan
unsur-unsur asli. Hal ini disebabkan karena:
1. Masyarakat
Indonesia telah memiliki dasar-dasar kebudayaan yang cukup tinggi sehingga
masuknya kebudayaan asing ke Indonesia menambah perbendaharaan kebudayaan
Indonesia.
2. Kecakapan
istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia atau local genius merupakan
kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsur-unsur kebudayaan asing dan mengolah
unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Pengaruh kebudayaan Hindu hanya bersifat
melengkapi kebudayaan yang telah ada di Indonesia. Akulturasi hanya merupakan
hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing sesuai dengan kebudayaan Indonesia:
1.
Bidang Sosial
Setelah masuknya agama
Hindu terjadi perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia. Hal ini
tampak dengan dikenalnya pembagian masyarakat atas kasta.
2.
Ekonomi
Dalam ekonomi tidak begitu
besar pengaruhnya pada masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan karena
masyarakat telah mengenal pelayaran dan perdagangan jauh sebelum masuknya
pengaruh Hindu-Budha di Indonesia.
3.
Sistem Pemerintahan
Sebelum masuknya
Hindu-Budha di Indonesia dikenal sistem pemerintahan oleh kepala suku yang
dipilih karena memiliki kelebihan tertentu jika dibandingkan anggota kelompok
lainnya. Ketika pengaruh Hindu-Budha masuk maka berdiri Kerajaan yang dipimpin
oleh seorang raja yang berkuasa secara turun-temurun. Raja dianggap sebagai keturuanan
dari dewa yang memiliki kekuatan, dihormati, dan dipuja. Sehingga memperkuat
kedudukannya untuk memerintah wilayah kerajaan secara turun temurun. Serta
meninggalkan sistem pemerintahan kepala suku.
4.
Bidang Pendidikan
Masuknya Hindu-Budha juga
mempengaruhi kehidupan masyarakat Indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelumnya
masyarakat Indonesia belum mengenal tulisan. Namun dengan masuknya Hindu-Budha,
sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis.
Bukti pengaruh dalam
pendidikan di Indonesia yaitu :
· Dengan digunakannya bahasa
Sansekerta dan Huruf Pallawa dalam kehidupan sebagian masyarakat Indonesia.
Bahasa tersebut terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan.
Telah mulai digunakan bahasa Kawi, bahasa Jawa Kuno, dan bahasa Bali Kuno yang
merupakan turunan dari bahasa Sansekerta.
· Telah dikenal juga sistem
pendidikan berasrama (ashram) dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk
mempelajari agama Hindu-Budha. Sistem pendidikan tersebut kemudian diadaptasi
dan dikembangkan sebagai sistem pendidikan yang banyak diterapkan di berbagai
kerajaan di Indonesia.
5.
Kepercayaan
Sebelum masuk pengaruh
Hindu-Budha ke Indonesia, bangsa Indonesia mengenal dan memiliki kepercayaan
yaitu pemujaan terhadap roh nenek moyang (animisme dan dinamisme). Masuknya
agama Hindu-Budha mendorong masyarakat Indonesia mulai menganut agama
Hindu-Budha walaupun tidak meninggalkan kepercayaan asli seperti pemujaan
terhadap arwah nenek moyang dan dewa-dewa alam. Telah terjadi semacam sinkritisme
yaitu penyatuaan paham-paham lama seperti animisme, dinamisme, totemisme dalam
keagamaan Hindu-Budha.
Contoh :
Di Jawa Timur berkembang
aliran Tantrayana seperti yang dilakukan Kertanegara dari Singasari yang
merupakan penjelmaaan Siwa. Kepercayaan terhadap roh leluhur masih terwujud
dalam upacara kematian dengan mengandakan kenduri 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100
hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari, serta masih banyak hal-hal yang dilakukan
oleh masyarakat Jawa.
6.
Seni dan Budaya
Pengaruh kesenian India
terhadap kesenian Indonesia terlihat jelas pada bidang-bidang dibawah ini:
Seni
Bangunan
Seni bangunan tampak pada
bangunan candi sebagai wujud percampuran antara seni asli bangsa Indonesia
dengan seni Hindu-Budha. Candi merupakan bentuk perwujudan akulturasi budaya
bangsa Indonesia dengan India. Candi merupakan hasil bangunan zaman megalitikum
yaitu bangunan punden berundak-undak yang mendapat pengaruh Hindu Budha.
Contohnya candi Borobudur. Pada candi disertai pula berbagai macam benda yang
ikut dikubur yang disebut bekal kubur sehingga candi juga berfungsi sebagai
makam bukan semata-mata sebagai rumah dewa. Sedangkan candi Budha, hanya jadi
tempat pemujaan dewa tidak terdapat peti pripih dan abu jenazah ditanam di
sekitar candi dalam bangunan stupa.
Seni
Rupa
Seni rupa tampak berupa
patung dan relief. Patung dapat kita lihat
pada penemuan patung Budha berlanggam Gandara di Bangun Kutai. Serta patung
Budha berlanggam Amarawati di Sikending (Sulawesi Selatan). Selain patung
terdapat pula relief-relief pada dinding candi seperti pada Candi Borobudur
ditemukan relief cerita sang Budha serta suasana alam Indonesia.
B. Hasil Akulturasi
Budaya Islam dengan Hindu di Indonesia
Sebelum Islam masuk dan berkembang, Indonesia sudah memiliki
corak kebudayaan yang dipengaruhi oleh agama Hindu dan Budha seperti yang sudah
dijelaskan diatas. Dengan masuknya Islam, Indonesia kembali mengalami proses
akulturasi yang melahirkan kebudayaan baru yaitu kebudayaan Islam Indonesia. Masuknya
Islam tersebut tidak berarti kebudayaan Hindu dan Budha hilang. Bentuk budaya
sebagai hasil dari proses akulturasi tersebut, tidak hanya bersifat
kebendaan/material tetapi juga menyangkut perilaku masyarakat Indonesia. Hasil
akulturasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Seni Bangunan
Wujud
akulturasi dalam seni bangunan dapat terlihat pada bangunan masjid, makam, dan
istana. Wujud akulturasi dari masjid kuno memiliki ciri sebagai berikut:
a. Atapnya berbentuk tumpang yaitu atap
yang bersusun semakin ke atas semakin kecil dari tingkatan paling atas
berbentuk limas. Jumlah atapnya ganjil 1, 3 atau 5. Dan biasanya ditambah
dengan kemuncak untuk memberi tekanan akan keruncingannya yang disebut dengan
Mustaka.
b. Tidak dilengkapi dengan menara,
seperti lazimnya bangunan masjid yang ada di luar Indonesia atau yang ada
sekarang, tetapi dilengkapi dengan kentongan atau bedug untuk menyerukan adzan
atau panggilan sholat. Bedug dan kentongan merupakan budaya asli Indonesia.
c. Letak masjid biasanya dekat dengan
istana yaitu sebelah barat alun-alun atau bahkan didirikan di tempat-tempat
keramat yaitu di atas bukit atau dekat dengan makam.
Mengenai contoh masjid kuno dapat memperhatikan Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya. Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam.
Mengenai contoh masjid kuno dapat memperhatikan Masjid Agung Demak, Masjid Gunung Jati (Cirebon), Masjid Kudus dan sebagainya. Selain bangunan masjid sebagai wujud akulturasi kebudyaan Islam, juga terlihat pada bangunan makam.
2.
Seni Rupa
Tradisi
Islam tidak menggambarkan bentuk manusia atau hewan. Seni ukir relief yang
menghias Masjid, makam Islam adalah berupa suluran tumbuh-tumbuhan. Namun
terjadi pula Sinkretisme (hasil perpaduan dua aliran seni logam), agar didapat
keserasian, ditengah ragam hias suluran terdapat bentuk kera yang distilir. Ukiran
ataupun hiasan, selain ditemukan di masjid juga ditemukan pada gapura-gapura
atau pada pintu dan tiang.Untuk hiasan pada gapura.
3.
Aksara dan Seni Sastra
Tersebarnya agama Islam ke Indonesia
maka berpengaruh terhadap bidang aksara atau tulisan, yaitu masyarakat mulai
mengenal tulisan Arab, bahkan berkembang tulisan Arab Melayu atau biasanya
dikenal dengan istilah Arab gundul yaitu tulisan Arab yang dipakai untuk
menuliskan bahasa Melayu tetapi tidak menggunakan tanda-tanda a, i, u seperti
lazimnya tulisan Arab. Di samping itu juga, huruf Arab berkembang menjadi seni
kaligrafi yang banyak digunakan sebagai motif hiasan ataupun ukiran.
Sedangkan dalam seni sastra yang
berkembang pada awal periode Islam adalah seni sastra yang berasal dari
perpaduan sastra pengaruh Hindu-Budha dan sastra Islam yang banyak mendapat
pengaruh Persia. Dengan demikian wujud akulturasi dalam seni sastra tersebut
terlihat dari tulisan/ aksara yang dipergunakan yaitu menggunakan huruf Arab
Melayu (Arab Gundul) dan isi ceritanya juga ada yang mengambil hasil sastra yang
berkembang pada jaman Hindu. Bentuk seni sastra yang berkembang adalah:
a. Hikayat yaitu cerita atau dongeng
yang berpangkal dari peristiwa atau tokoh sejarah. Hikayat ditulis dalam bentuk
peristiwa atau tokoh sejarah.Hikayat ditulis dalam bentuk gancaran (karangan
bebas atau prosa).Contoh hikayat yang terkenal yaitu Hikayat 1001 Malam,
Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Pandawa Lima (Hindu), Hikayat Sri Rama (Hindu).
b. Babad adalah kisah rekaan pujangga
keraton sering dianggap sebagai peristiwa sejarah contohnya Babad Tanah Jawi
(Jawa Kuno), Babad Cirebon.
c. Suluk adalah kitab yang
membentangkan soal tasawuf contohnya Suluk Sukarsa, Suluk Wijil, Suluk Malang
Sumirang dan sebagainya.
d. Primbon adalah hasil sastra yang
sangat dekat dengan Suluk karena berbentuk kitab yang berisi ramalan-ramalan,
keajaiban dan penentuan hari baik/buruk. Bentuk seni sastra tersebut di atas,
banyak berkembang di Melayu dan Pulau Jawa.
4.
Sistem Pemerintahan
Dalam pemerintahan, sebelum Islam
masuk ke Indonesia, sudah berkembang pemerintahan yang bercorak Hindu ataupun
Budha, tetapi setelah Islam masuk, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak
Hindu/Budha mengalami keruntuhannya dan digantikan peranannya oleh
kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam seperti Samudra Pasai, Demak, Malaka dan
sebagainya. Sistem pemerintahan yang bercorak Islam, rajanya bergelar Sultan
atau Sunan seperti halnya para wali dan apabila rajanya meninggal tidak lagi
dimakamkan dicandi/dicandikan tetapi dimakamkan secara Islam.
5.
Sistem Kalender
Sebelum budaya Islam masuk ke Indonesia, masyarakat
Indonesia sudah mengenal Kalender Saka (kalender Hindu) yang dimulai tahun 78M.
Dalam kalender Saka ini ditemukan nama-nama pasaran hari seperti legi, pahing,
pon, wage dan kliwon. Setelah berkembangnya Islam Sultan Agung dari Mataram
menciptakan kalender Jawa, dengan menggunakan perhitungan peredaran bulan
(komariah) seperti tahun Hijriah (Islam). Pada kalender Jawa, Sultan Agung
melakukan perubahan pada nama-nama bulan seperti Muharram diganti dengan Syuro,
Ramadhan diganti dengan Pasa. Sedangkan nama-nama hari tetap menggunakan hari-hari
sesuai dengan bahasa Arab dan bahkan hari pasaran pada kalender saka juga
dipergunakan. Kalender Sultan Agung tersebut dimulai tanggal 1 Syuro 1555 Jawa,
atau tepatnya 1 Muharram 1053 H yang bertepatan tanggal 8 Agustus 1633 M.
Demikianlah pembahasan mengenai akulturasi dan interkultural, yang mana ternyata keduanya memiliki kaitan (relasi) yang sangat jelas, dan bukan merupakan hal yang terpisah.
Daftar Pustaka
Sumber Buku:
Matsumoto, David
dan Linda Juang. 2008. Culture and
Psychology. USA: Wadsworth
Sumber Jurnal:
Berry, W John. 2005.
Acculturation: Living Successfully in Two Cultures. International Journal of Intercultural Relations. Vol 29. Hal
697-712
Sumber Web:
Anonim. 2006. Komunikasi Antarbudaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya. Diakses tanggal 6 Oktober
Arianto, Galih. 2010.
Akulturasi Budaya Hindu-Budha-Islam di Indonesia. http://galihredevils.blogspot.com/2010/10/akulturasi-budaya-hindu-budha-islam-di.html. Diakses tanggal
21 Oktober