Senin, 29 April 2013

Behavior Therapy

Behavior Therapy

Behavior Therapy atau yang disebut dengan terapi perilaku adalah jenis terapi yang populer dan sudah sering kita dengar. Terapi ini muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap psikoanalisa. Behavior Therapy memiliki konsep yang sangat berbeda dan berlawanan dengan terapi psikoanalisa. Arnold A. Lazarus adalah orang yang berkontribusi dalam behavioral therapy. Lazarus adalah anak terakhir dari empat bersaudara, ia lahir di Johannesburg, Afrika Selatan. Ketika ia lahir, kakak perempuannya berusia 17 dan 14 tahun, sedangkan kakak laki-lakinya berusia 9 tahun. Lazarus hidup di lingkungan tetangga yang hanya ada sedikit anak-anak, dia ingat dulu sering merasa kesepian dan ketakutan. Awalnya ia mengambil kuliah jurusan sastra inggris, tetapi karena dosennya tidak menarik dan membosankan maka ia memutuskan untuk pindah ke jurusan psikologi dan sosiologi, yang materinya menarik minat dan rasa ingin tahunya. Selain itu, dosen-dosennya membuat Lazarus menjadi terinspirasi. Akhirnya tahun 1957 ia mendapatkan gelar master dalam psikologi eksperimental dan tahun 1960 mendapatkan gelar Ph.D dalam psikologi klinis. Behavior therapy lebih menekankan kepada metode action-oriented untuk membantu orang-orang mengubah perilaku dan pikiran mereka (Glass dan Arnkoff dalam Corey, 1996). Tokoh-tokoh klasik yang juga berperan penting dalam behavioral therapy adalah B. F Skinner, J.B Watson, Albert Bandura, dan lain-lain. Pendekatan behavioral muncul sejak tahun 1950 dan awal 1960 sebagai konsep radikal yang bertentangan dengan perspektif psikoanalisa yang dominan. Behavior therapy dapat dipahami dengan mempertimbangkan tiga area perkembangan, yaitu classical conditioning, operant conditioning dan cognitive therapy (Corey, 1996).

A.     Dinamika Kepribadian Manusia
Menurut pendekatan behavioristik, manusia dapat memiliki kecenderungan positif atau negatif karena pada dasarnya kepribadian manusia dibentuk oleh lingkungan di mana ia berada. Perilaku dalam pandangan behavioristik adalah bentuk dari kepribadian manusia. Perilaku dihasilkan dari pengalaman yang diperoleh individu dalam interaksinya dengan lingkungan. Perilaku yang baik adalah hasil dari lingkungan yang baik, begitu juga sebaliknya. Jadi, manusia adalah produk dari lingkungan. Pandangan behavioristik radikal memandang manusia pasif, mekanistik, dan deterministik. Manusia merupakan "objek" yang dapat diubah menurut keinginan orang yang ingin mengubahnya. Pandangan inilah yang mendapat kritikan dari beberapa ahli. Selanjutnya, pandangan behavioristik yang terbaru mengatakan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih perilaku seseorang berdasarkan pemahamannya (Lubis, 2011).
Salah satu ahli behavioristik yang sepakat bahwa manusia memiliki kebebasan untuk menentukan perilakunya adalah Albert Bandura yang merupakan tokoh teori sosial-belajar.
Bandura (dalam Lubis, 2011) menolak keras pandangan yang menyatakan bahwa manusia bersifat mekanistik dan deterministik, karena menurutnya manusia adalah pribadi yang memiliki kebebasan dalam menghadapi stimulus (rangsangan) dari lingkungan dan bukanlah subjek yang pasif. Adapun pengubahan (modifikasi) perilaku dilakukan untuk meningkatkan kemampuan individu agar memiliki kemampuan melakukan tindakan dan tidak terpaku sebagai individu yang hanya mampu memberi respons. Dustin dan George (dalam Lubis, 2011) mengemukakan pandangan mereka tentang konsep manusia sebagai berikut:
  1. Manusia bukanlah individu yang baik atau jahat sehingga memiliki kemampuan untuk berperilaku baik atau jahat.
  2. Manusia dapat mengkonseptualisasikan dan mengontrol perilakunya sendiri.
  3.  Manusia dapat memperoleh perilaku yang baru.
  4. Perilaku manusia dapat memengaruhi atau dipengaruhi oleh perilaku orang lain.

Pandangan ini semakin menguatkan bahwa manusia dapat memiliki kemampuan untuk berkembang ke arah yang lebih baik, apabila ia berada dalam situasi lingkungan yang mendorongnya untuk menjadi individu yang baik. Adapun perilaku bermasalah dalam konsep behavioristik adalah perilaku yang tidak sesuai/tepat dengan yang diharapkan oleh lingkungan. Penetapan perilaku bermasalah mengacu pada perbedaannya dengan perilaku normal yang menekankan aspek penyesuaian diri dengan lingkungan. Perilaku yang salah ini dapat ditandai dengan munculnya konflik antara individu dengan lingkungannya. Hal inilah yang mengakibatkan ketidakpuasan dan kesulitan dalam diri individu.

A.     Karakteristik dan Asumsi Dasar
Spiegler dan Guevremont (dalam Corey, 1996) mengemukakan 6 hal yang mengkarakterisasikan behavior therapy, yaitu:
1. Behavior therapy didasarkan pada prinsip dan prosedur penelitian ilmiah. Prinsip-prinsip pembelajaran secara sistematis diterapkan untuk membantu orang-orang mengubah perilakunya yang maladaptif. Hasilnya lebih didasarkan pada apa yang telah diobservasi daripada keyakinan-keyakinan pribadi. Hal yang membedakan praktisi behavioral dengan yang lainnya adalah spesifikasi yang sistematis dan dapat diukur. Mereka membuat tujuan dari treatment-nya secara konkret dan objektif agar memungkinkan dilakukan pengulangan pada intervensi mereka. Metode penelitian digunakan untuk mengevaluasi efektivitas dari prosedur pengukuran dan treatment. Konsep dan prosedur behavioral dinyatakan secara eksplisit, di tes secara empiris, dan diperbaiki secara terus-menerus.  
2. Behavior therapy berhadapan dengan masalah klien saat ini dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Terapis berpendapat bahwa masalah klien dipengaruhi oleh kondisi sekarang. Mereka kemudian menggunakan teknik behavioral untuk mengubah faktor-faktor sekarang yang relevan yang mempengaruhi perilaku klien.
3.    Dalam behavior therapy, klien diharapkan melakukan tindakan-tindakan spesifik untuk menghadapi masalah mereka. Daripada berbicara secara sederhana mengenai kondisi, mereka melakukan sesuatu yang membawa perubahan. Mereka mengawasi perilaku klien selama dan diluar sesi terapi, kemampuan untuk belajar dan praktik menyelesaikan masalah dan bermain peran terhadap perilaku baru. Terapi ini adalah pendekatan yang mengarah pada tindakan.
4.   Secara umum, behavior therapy sebisa mungkin membawa klien pada lingkungan yang natural (yang sebenarnya). Pendekatan ini menekankan pada mengajari klien kemampuan mengatur dirinya (self-management), dengan harapan bahwa mereka akan bertanggung jawab untuk menerima apa yang mereka pelajari dalam terapi dalam kehidupan sehari-hari. Pekerjaan rumah menjadi bagian yang integral dalam behavioral therapy.
5.   Prosedur behavioral dibuat agar cocok dengan kebutuhan masing-masing klien yang unik. Beberapa teknik terapi digunakan untuk mengatasi masalh klien.
6.   Praktik terapi behavioral didasarkan pada hubungan partner yang kolaboratif antara terapis dan klien. Pertama, selalu berusaha untuk memberikan informasi pada klien tentang treatment yang akan diajalani. Kedua, klien sering dilatih untuk mengawali, melakukan, dan mengevaluasi treatment yang dijalaninya sesuai bimbingan terapis.
    
C.     Tujuan Behavior Therapy
Menurut Latipun (dalam Lubis, 2011) secara umum, tujuan dari terapi behavioristik adalah menciptakan suatu kondisi baru yang lebih baik melalui proses belajar sehingga perilaku simtomatik dapat dihilangkan. Sementara itu tujuan terapi behavioristik secara khusus adalah mengubah tingkah laku adaptif dengan cara memperkuat tingkah laku yang diharapkan dan meniadakan perilaku yang tidak diharapkan serta menemukan cara-cara bertingkah laku yang tepat.
Corey (1996) memiliki asumsi lain bahwa tujuan umum dari behavior therapy adalah membuat suatu kondisi baru untuk belajar, dengan asumsi bahwa belajar dapat memperbaiki perilaku-perilaku yang bermasalah. Pada terapi ini ditekankan bahwa klien memiliki peran yang aktif dalam memutuskan treatment mereka. Jadi klien diminta untuk menetapkan tujuan spesifik mereka sendiri. Terapis membantu klien merumuskan tujuan-tujuan yang spesifik, tidak ambigu, dan dapat diukur. Terapi ini meyakinkan bahwa hak-hak klien dilindungi (Corey, 1996). Spiegler dan Guevremont (dalam Corey, 1996) mengatakan bahwa hal ini mencakup tujuan yang spesifik dan perilaku yang ditargetkan, yang secara empiris berdasarkan pada pengujian prosedur, treatment yang singkat dan apa adanya, dan hubungan yang kolaboratif antara terapis dengan klien. Tujuan dari terapi ini harus ditunjukkan dengan jelas, konkrit, dapat diapahami, dan disetujui oleh klien dan konselor.
Menurut Comier dan Comier (dalam Corey, 1996) pentingnya hubungan kolaboratif adalah sebagai berikut:
1.  Terapis menjelaskan pentingnya dan kegunaan dari menetapkan tujuan.
2.   Klien mengemukakan perubahan positif yang ia inginkan dari terapi tersebut.
3. Klien dan terapis menunjukkan apakah tujuan-tujuan tersebut menimbulkan keinginan klien untuk merubah dirinya.
4.   Bersama-sama mereka mengeksplor apakah tujuan-tujuan tersebut realistik.
5. Mereka mendiskusikan adanya kemungkinan untung dan rugi dari tujuan-tujuan yang ditetapkan tersebut.
6.  Mereka membuat suatu keputusan mengenai: melanjutkan mencari tujuan-tujuan, mempertimbangkan lagi tujuan klien, atau mencari pengganti tujuan lainnya.
Oleh karena itu, teknik behavioral tidak mengancam akan berkurangnya kebebasan untuk memilih. Membebaskan orang-orang dari perilaku yang mengganggu agar mereka dapat hidup sepenuhnya adalah konsisten dengan nilai-nilai demokratis individu yang mampu menentukan tujuannya sendiri secara bebas selama tujuan tersebut konsisten dengan norma-norma masyarakat (Corey, 1996).

D.     Fungsi dan Peran Behavior Therapy
Menurut Corey (1996) terapis dalam behavioral therapy memegang peranan aktif dan direktif dalam pelaksanaan proses terapi. Dalam hal ini terapis harus mencari pemecahan masalah klien. Fungsi utama terapis adalah bertindak sebagai guru, pengarah, penasihat, konsultan, pemberi dukungan, fasilitator, dan mendiagnosis tingkah laku maladaptif klien dan mengubahnya menjadi tingkah laku adaptif. Terapis pada behavior therapy memperhatikan tanda-tanda apapun yang diberikan klien, dan mereka bersedia untuk mengikuti prosedur terapi. Terapis menggunakan teknik seperti summarizing, reflection, klarifikasi, dan pertanyaan terbuka. Goldfried dan Davidson (dalam Corey, 1996) mengatakan bahwa, akan tetapi terdapat dua fungsi yang membedakan klinisi behavioral: mereka fokus pada hal-hal spesifik, dan mereka secara sistematis berusaha untuk mendapatkan informasi tentang situasi antecedents, dimensi dari masalah-masalah perilaku, dan konsekuensi dari masalah.
Fungsi penting terapis lainnya adalah sebagai role model bagi klien. Bandura (dalam Corey, 1996) mengatakan kebanyakan belajar itu terjadi melalui pengalaman langsung. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa proses fundamental yang paling memungkinkan klien dapat mempelajari tingkah laku baru adalah melalui proses imitasi. Terapis dijadikan model pribadi yang ingin ditiru oleh klien karena cenderung memandang  terapis sebagai orang yang patut untuk diteladani. Klien sering kali meniru sikap, nilai dan tingkah laku terapis. Untuk itulah, seorang terapis diharapkan menyadari perannya yang begitu penting dalam terapi sehingga tidak memunculkan perilaku yang tidak semstinya untuk ditiru.

E.     Hubungan antara Terapi dan Klien
Granvold dan Wodarski (dalam Corey, 1996) mengatakan bahwa hubungan terapi dalam konteks behavioral secara signifikan dapat berkontribusi dalam proses mengubah tingkah laku. Corey (1996) mengatakan hubungan terapi yang baik dapat meningkatkan kesempatan klien untuk menerima terapi. Tidak hanya dari kerjasama klien dalam prosedur terapi, tetapi harapan positif klien mengenai efektifitas terapi juga berkontribusi terhadap hasil yang sukses. Kemampuan dan ketrampilan terapis behavior adalah salah satu yang dapat mengkonseptualisasikan masalah perilaku.
Seperti yang sebelumya telah saya jelaskan mengenai pendekatan humanistik, client centered therapy, mereka menekankan dan mengutamakan keaslian hubungan terapis dengan klien, artinya terapis bertindak apa adanya sebagai seorang manusia (misal, mengutarakan dirinya marah ketika klien membuatnya tersinggung). Kemudian terapi psikoanalisis, mereka menekankan hubungan transference. Berbeda dengan terapi-terapi lainnya, behavior therapy menurut Corey (1996) tidak terlalu menekankan peran hubungan dengan klien. Faktor-faktor seperti kehangatan, empati, keaslian, dan penerimaan juga butuh dipertimbangkan, namun tidaklah cukup dalam membuat terjadinya perubahan perilaku. Jadi dalam behavior therapy, peran hubungan sebagai hal yang mendasari strategi terapi dalam membantu klien berubah sesuai dengan arah yang ia harapkan. Lazarus (dalam Corey, 1996) mengatakan bahwa tanpa adanya rasa saling menghargai antara klien dengan terapisnya, maka akan sulit untuk mengembangkan rasa percaya dan melakukan keterbukaan diri. Teknik dan ketrampilan klinis dibutuhkan untuk membangun hubungan antara klien dan terapis.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka jelas bahwa behavior therapy menekankan terapis yang memiliki tingkat ketrampilan dan sensitivitas yang tinggi serta kemampuan untuk membentuk hubungan kerja dengan klien. Corey (1996) mengatakan bahwa dalam menerapkan teknik behavioral bergantung pada kombinasi tingkat ketrampilan dan rapport dengan klien. Terapis behavior cenderung aktif, direktif, dan berfungsi sebagai pemecah masalah. 

F.      Teknik-Teknik Behavior Therapy
Lesmana (dalam Lubis, 2011) membagi teknik terapi behavioristik dalam dua bagian, yaitu teknik-teknik tingkah laku umum dan teknik-teknik spesifik. Uraiannya adalah sebagai berikut:
a.    Teknik-teknik Tingkah Laku Umum
Teknik ini terdiri dari beberapa bentuk, di antaranya adalah:
1.  Skedul penguatan adalah suatu teknik pemberian penguatan pada klien ketika tingkah laku yang baru selesai dipelajari dimunculkan oleh klien. Penguatan harus dilakukan terus-menerus sampai tingkah laku tersebut terbentuk dalam diri klien. Setelah terbentuk, frekuensi penguatan dapat dikurangi atau dilakukan pada saat-saat tertentu saja (tidak setiap kali perilaku baru dilakukan). Istilah ini sering disebut sebagai penguatan intermiten. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan tingkah laku baru yang telah terbentuk. Misalnya, klien yang mengalami kesulitan membaca akan diberikan pujian secara terus-menerus bila berhasil membaca. Tetapi setelah ia dapat membaca, pemberian pujian harus dikurangi.

2. Shaping adalah teknik terapi yang dilakukan dengan mempelajari tingkah laku baru secara bertahap. Terapis dapat membagi-bagi tingkah laku yang ingin dicapai dalam beberapa unit, kemudian mempelajarinya dalam unit-unit kecil.

3.    Ekstingsi adalah teknik terapi berupa penghapusan penguatan agar tingkah laku maladaptif tidak berulang. Ini didasarkan pada pandangan bahwa individu tidak akan bersedia melakukan sesuatu apabila tidak mendapatkan keuntungan. Misalnya, seorang anak yang selalu menangis untuk mendapatkan yang diinginkannya. Terapis akan bertindak tidak memberi perhatian sehingga anak tersebut tidak akan menggunakan cara yang sama lagi untuk mendapatkan keinginannya.

b.      Teknik-teknik Spesifik
Teknik-teknik spesifik ini meliputi:
1.    Desentisasi Sistematik
  Adalah teknik yang paling sering digunakan. Teknik ini diarahkan kepada klien untuk menampilkan respons yang tidak konsisten dengan kecemasan. Desentisasi sistematik melibatkan teknik relaksasi di mana klien diminta untuk menggambarkan situasi yang paling menimbulkan kecemasan sampai titik di mana klien tidak merasa cemas. Selama relaksasi, klien diminta untuk rileks secara fisik dan mental. Teknik ini cocok untuk menangani kasus fobia, ketakutan menghadapi ujian, ketakutan secara umum, kecemasan neurotik, impotensi, dan frigiditas seksual. Selanjutnya, Wolpe (dalam Lubis, 2011) menyimpulkan bahwa ada tiga penyebab teknik desentisasi sistematik mengalami kegagalan, yaitu:
a)   Klien mengalami kesulitan dalam relaksasi yang disebabkan karena komunikasi terapis dan klien yang tidak efektif atau karena hambatan ekstrem yang dialami klien.
b) Tingkatan yang menyesatkan atau tidak relevan, hal ini kemungkinan disebabkan karena penanganan tingkatan yang keliru.
c)    Klien tidak mampu membayangkan.

2.    Pelatihan Asertivitas
  Teknik ini mengajarkan klien untuk membedakan tingkah laku agresif, pasif, dan asertif. Prosedur yang digunakan adalah permainan peran (role playing). Teknik ini dapat membantu klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan atau menegaskan diri di hadapan orang lain. Pelatihan asertif biasanya digunakan untuk kriteria klien sebagai berikut:
a)    Tidak mampu mengungkapkan kemarahan atau perasaan tersinggung.
b) Menunjukkan kesopanan secara berlebihan dan selalu mendorong orang lain untuk mendahuluinya.
c)    Memiliki kesulitan untuk mengatakan tidak.
d)   Mengalami kesulitan mengungkapkan afeksi dan respons positif lainnya.
e)    Merasa tidak memiliki hak untuk memiliki perasaan dan pikiran sendiri.
     Melalui teknik permainan peran, terapis akan memperlihatkan bagaimana kelemahan klien dalam situasi nyata. Kemudian klien akan diajarkan dan diberi penguatan untuk berani menegaskan diri di hadapan orang lain.

3.    Time-Out
Merupakan teknik aversif yang sangat ringan. Apabila tingkah laku yang tidak diharapkan muncul, maka klien akan dipisahkan dari reinforcement positif. Time-out akan lebih efektif bila dilakukan dalam waktu yang relatif singkat. Misalnya lima menit. Contoh kasus: seorang anak yang senang memukul adiknya akan dimasukkan dalam kamar gelap selama lima menit bila terlihat melakukan tindakan tersebut, karena takut akan dimasukkan ke kamar gelap kembali, biasanya anak akan menghentikan tindakan yang salah tersebut.

4.    Implosion dan Flooding
     Teknik implosion mengarahkan klien untuk membayangkan situasi stimulus yang mengancam secara berulang-ulang, karena dilakukan terus-menerus sementara konsekuensi yang menakutkan tidak terjadi, maka diharapkan kecemasan klien akan tereduksi atau terhapus. Menurut Stampfl (dalam Lubis, 2011). Terapi implosion adalah teknik yang menantang pasien untuk "menatap mimpi-mimpi buruknya." Ia menambahkan bahwa teknik implosion sangat bagus digunakan untuk pasien gangguan jiwa yang berada di rumah sakit, klien neurotik, klien psikotik, dan fobia. Sementara itu menurut Corey (dalam Lubis, 2011) flooding merupakan teknik di mana terjadi pemunculan stimulus yang menghasilkan kecemasan secara berulang-ulang tanpa pemberian reinforcement. Klien akan membayangkan situasi dan terapis berusaha mempertahankan kecemasan klien tersebut. Flooding bersifat lebih ringan karena situasi yang menimbulkan kecemasan tidak menyebabkan konsekuensi yang parah.

Selain teknik-teknik yang telah dikemukakan di atas, Corey (dalam Lubis, 2011) menambahkan beberapa teknik yang juga diterapkan dalam terapi behavioristik. Diantaranya, adalah:
1.    Reinforcement positif
Adalah teknik yang digunakan melalui pemberian ganjaran segera setelah tingkah laku yang diharapkan muncul. Contoh: senyuman, persetujuan, pujian, bintang emas, medali, uang, dan hadiah lainnya. Pemberian reinforcement positif dilakukan agar klien dapat mempertahankan tingkah laku baru yang telah terbentuk.
2.    Modelling
Dalam teknik ini, klien dapat mengamati seseorang yang dijadikan modelnya untuk berperilaku kemudian diperkuat dengan mencontoh tingkah laku sang model. Dalam hal ini, terapis dapat bertindak sebagai model yang akan ditiru oleh klien .
3.    Token Economy
Teknik ini dapat diberikan apabila persetujuan dan penguatan lainnya tidak memberikan kemajuan pada tingkah laku klien. Metode ini menekankan penguatan yang dapat dilihat dan disentuh oleh klien (misalnya kepingan logam) yang dapat ditukar oleh klien dengan objek atau hak istimewa yang diinginkannya. Token economy dapat dijadikan pemikat oleh klien untuk mencapai sesuatu. Misalnya, pada anak pemalas, bila ia bersedia untuk menyapu rumahnya, ia akan diberi satu logam. Bila berhasil mengumpulkan 10 logam, anak tersebut akan dibelikan sepeda.

G.    Kelebihan dan Kelemahan Behavior Therapy
Kelebihannya, yaitu:
1. Ada hasil konkrit/ nyata yang didapat (yaitu perubahan perilaku). Jika client centered therapy, humanistik, dll lebih bersifat abstrak dan menakankan pada insight yang diperoleh klien.       
2.  Pembuatan tujuan  terapi antara terapis dan klien di awal  sesi terapi dan hal itu dijadikan acuan keberhasilan proses terapi.
3.    Memiliki berbagai macam teknik konseling yang teruji dan selalu diperbaharui.
4.    Waktu konseling relatif singkat.
5.    Kolaborasi yang baik antara konselor dan konseli dalam penetapan tujuan dan pemilihan teknik.

Kelemahannya, yaitu:
1.    Behavior therapy dapat mengubah perilaku, tetapi tidak mengubah perasaan.
2.    Behavior therapy mengabaikan faktor-faktor penting dalam hubungan terapi.
3.    Behavior therapy tidak menimbulkan insight.
4.    Behavior therapy lebih mementingkan memperlakukan simtom-simtomya daripada penyebab.
5.    Behavior therapy meliputi kontrol dan manipulasi oleh terapis.






DAFTAR PUSTAKA

Corey, Gerald. (1996). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Brooks Cole.

Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group








Selasa, 23 April 2013

Rational Emotive Behavior Therapy


Rational Emotive Behavior Therapy




Terapi Rasional Emotif diperkenalkan pertama kalinya oleh seorang klinisi yang bernama Albert Ellis pada tahun 1955. Pada Awalnya Ellis merupakan seorang psikoanalisis, tetapi kemudian ia merasakan bahwa psikoanalisis tidak efesien. Ia juga seorang ahli terapi yang sangat bersebrangan dengan penganut humanistis. Rasional Emotif menolak keras pandangan psikoanalisis yang mengatakan bahwa pengalaman masa lalu adalah penyebab gangguan emosional individu. Menurut Ellis (dalam Lubis, 2011) penyebab gangguan emosional adalah karena pikiran irasional individu dalam menyikapi pristiwa atau pengalaman yang dilaluinya. Terapi Rasional Emotif dalam perkembangannya memiliki banyak nama, antara lain: Rational Therapy, Semantic Therapy, Cognitive Behavior Therapy, dan Rational Behavior Trainning. Dalam teori konseling, Terapi Rasional Emotif termasuk dalam kategori terapi cognitive behavior (Latipun dalam Lubis, 2011). Selanjutnya, Corey (2009) mengatakan Terapi Rasional Emotif termasuk dalam kategori terapi cognitive behavior karena Rasional Emotif lebih menitikberatkan pada proses berpikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan bertindak. Rasional Emotif didaktif dan direktif serta lebih banyak berhubungan dengan dimensi pikiran daripada perasaan.


Menurut pandangan Ellis (dalam Lubis, 2011) Rasional Emotif merupakan teori komprehensif karena menangani masalah- masalah yang berhubungan dengan individu secara keseluruhan yang mencangkup aspek emosi, kognisi, dan perilaku. Dalam Rasional Emotif masalah yang dimiliki klien antara lain: kecemasan pada tingkat moderat, gangguan neurosis, gangguan karakter, masalah psikosomatik, gangguan makan, ketidakmampuan menjalin hubungan interpersonal, masalah perkawinan, adiksi, dan disfungsi seksual. Individu yang tidak dapat ditangani Rasional Emotif adalah anak-anak (khususnya autisme), gangguan mental tingkat bawah, schizhophrenia jenis katatonik (gangguan penarikan diri berat), dan maniak atau mania-depresif (Lubis, 2011).

1.  Dinamika Kepribadian Manusia


Rasional Emotif pada hakikatnya memandang manusia dilahirkan dengan potensi baik dan buruk. Manusia memiliki kemampuan berfikir rasional dan irasional. Selain itu manusia juga dapat memiliki kecenderungan mempertahankan perilaku yang destruktif dan melakukan berbagai cara agar tidak terlibat dengan orang lain. Corey (2009) menegaskan bahwa manusia memiliki potensi yang luar biasa untuk mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya serta dapat mengubah diri dan lingkungannya. Perilaku manusia di dorong oleh kebutuhan, hasrat, tuntutan, keinginan yang ada di dalam dirinya. Bila hal tersebut tidak tercapai manusia cenderung akan mempersalahkan dirinya dan orang lain. Pandangan Ellis (dalam Lubis, 2011) terhadap konsep manusia adalah sebagai berikut:
  1. Manusia mengadaptasikan dirinya terhadap perasaan yang menggangu pribadinya.
  2. Kecenderungan biologisnya sama dengan kecenderungan kultural yang berpikir salah dan tidak ada gunanya, hanya akan mengecewakan diri sendiri.
  3. Memiliki kemampuan untuk memilih reaksi yang berbeda dengan yang biasanya ia lakukan.
  4. Menolak mengecewakan diri sendiri terhadap hal-hal yang akan terjadi.
  5. Melatih diri sendiri agar mempertahankan diri dari gangguan.
Selanjutnya Ellis (dalam Lubis, 2011) juga mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi pada individu akan direaksi sesuai dengan cara berpikir atau sistem kepercayaannya. Jadi konsekuensi reaksi yang dimunculkan seperti senang, sedih, frustasi dan sebagainya bukanlah akibat peristiwa yang dialami individu melainkan disebabkan karena cara berpikirnya.
Menurut Latipun (dalam Lubis, 2011) ada tiga istilah yang terkait dengan tingkah laku manusia berdasarkan pandangan Rasional Emotif, yaitu: Antecedent Event (A), Belief (B), dan emotional consequence (C). Istilah ini lebih dikenal dengan konsep A-B-C. Berikut adalah penjelasannya.
a.    Antecedent Event (A)
     Adalah peristiwa, fakta, perilaku, atau sikap orang lain yang terjadi di dalam maupun luar diri individu. Misalnya, perceraian orang tua dan kelulusan ujian bagi siswa.
b.    Belief  (B)
     Adalah keyakinan dan nilai individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan atas dua bagian yaitu: pertama, keyakinan rasional (rB) yang merupakan keyakinan yang tepat, masuk akal, dan produktif. Kedua, keyakinan irasional (iB) yang merupakan keyakinan yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan tidak produktif. Keyakinan dapat berasal dari nilai agama, norma masyarakat, dan aturan orang tua. 
c.    Emotional Consequence (C)
     Adalah konsekuensi emosional baik berupa senang ataupun hambatan emosi yang diterima individu sebagai akibat reaksi dalam hubungannya dengan (A). Konsekuensi emotional ini bukanlah akibat langsung dari A, tetapi juga B baik dipengaruhi oleh iB maupuan rB individu. Misalnya, sedih, marah, bahagia, dan bangga.


Setiap individu akan memiliki reaksi yang berbeda walau menghadapi keadaan atau situasi yang sama. Hal ini sangat dipengaruhi oleh keyakinan (B) yang dimilikinya, baik keyakinan rasional (rB) maupun keyakinan irasional (iB). Reaksi yang berbeda tentu saja akan melahirkan konsekuensi emosional yang berbeda pula. Dua orang individu yang memiliki keyakinan yang berbeda akan menyikapi peristiwa tertentu secara berbeda pula. Individu yang memiliki keyakinan rasional cenderung bereaksi secara normal dan wajar, sementara individu yang memiliki keyakinan irasional akan cenderung bereaksi secara spontan dan tidak wajar (Lubis, 2011). 

Ellis (dalam Corey, 2009) juga menambahkan bahwa setelah konsep A-B-C, maka menyusul desputing (D) yang merupakan penerapan metode ilmiah untuk membantu klien menantang keyakinan irasionalnya. Desputing(D) merupakan implementasi dari proses terapi yang dijalankan oleh terapis dan klien melalui proses belajar mengajar (edukatif), dimana terapis menunjukkan berbagai prinsip logika dan dapat diuji kebenarannya untuk menyanggah keyakinan irasional klien. Ia menyatakan bahwa manusia yang memiliki kemapuan untuk berpikir seyogianya mampu melatih dirinya untuk mengubah atau menghapus pola keyakinan yang irasional dalam dirinya.

2.  Peran dan Fungsi Terapis


Menurut Lubis (2011) terapis dalam terapi Rasional Emotif harus meminimalkan hubungan yang intens tetapi tetap menunjukkan penerimaan diri yang positif terhadap klien. Terapis harus mendengarkan pernyataan klien dengan sungguh-sungguh dan menunjukkan empatinya. Mereka perlu memahami keadaan klien sehingga memungkinkan untuk mengubah cara berpikir klien yang tidak rasional. Mengubah keyakinan yang telah mengakar dalam diri klien bukanlah sesuatu yang mudah. Tugas utama seorang terapis adalah mengajari klien cara memahami dan mengubah diri sehingga terapis disini harus bertindak aktif dan direktif.
Lesmana (dalam Lubis, 2011) menyebutkan ciri-ciri khusus yang seharusnya menjadi syarat seorang terapis Rasional Emotif, yaitu: pintar, berwawasan luas, empati, peduli, konkret, gigih, ilmiah, berminat membantu orang lain dan menggunakan teori Rasional Emotif dalam kehidupannya. Terapi Rasional Emotif adalah sebuah proses edukatif karena salah satu tugas terapis adalah mengajarkan dan membenarkan perilaku klien melalui pengubahan cara berpikir (kognisi) nya. Konselor bertindak sebagai pendidik yang antara lain memberi tugas pada klien serta mengajarkan strategi untuk memperkuat proses berpikirnya. Dalam menjalankan fungsinya tersebut, Ellis (dalam Corey, 2009) memberikan gambaran tentang tugas terapis, yaitu:
  1. Mengajak klien untuk berpikir tentang bentuk-bentuk keyakinan irasional yang memengaruhi tingkah laku.
  2. Menantang klien untuk menguji gagasan-gagasan irasionalnya.
  3. Menunjuk ketidaklogisan cara berpikir klien.
  4. Menggunakan analisis logika untuk meminimalkan keyakinan irasional klien.
  5. Menunjukkan pada klien bahwa keyakinan irasionalnya adalah penyebab gangguan emosional dan tingkah laku.
  6. Menggunakan absurditas dan humor untuk menghadapi keyakinan irasional klien.
  7. Menerangkan pada klien bahwa keyakinannya dapat diubah menjadi rasional dan memiliki landasan empiris.
  8. Mengajarkan pada klien bagaimana menerapkan pendekatan ilmiah yang membantunya agar dapat berpikir secara rasional dan meminimalkan keyakinan yang irasional.

3.  Tujuan Terapi Rasional Emotif

Secara umum, pandangan Rasional Emotif memfokuskan diri pada cara berpikir manusia. Hal inilah yang dijadikan acuan bagi terapis untuk mengubah tingkah lakunya. Tujuan utama yang dicapai dalam Rasional Emotif adalah memperbaiki dan mengubah sikap individu dengan cara mengubah cara berpikir dan keyakinan klien yang irasional menuju cara berpikir yang rasional, sehingga klien dapat meningkatkan kualitas diri dan kebahagian hidupnya (Lubis, 2011).
Ellis (dalam Lubis, 2011) menambhakan kembali formula A-B-C menjadi A-B-C-D-E yaitu antecedent, belief, emotional consequence, desputing, dan effect. Efek adalah keadaan psikologis yang diharapkan terjadi pada klien setelah menjalani terapi Rasional Emotif. Melalui terapi, klien diarahkan dapat memiliki dimensi psikologis yang utuh dan sehat, dapat mengarahkan dirinya ke arah yang positif, berpikir fleksibel, dan ilmiah serta dapat menerima keadaan dirinya secara keseluruhan.Willis (dalam Lubis, 2011) mengatakan bahwa tujuan dari terapi Rasional Emotif adalah untuk menghilangkan gangguan emosional yang dapat merusak diri (seperti benci, rasa bersalah, cemas, dan marah) serta melatih dan mendidik klien agar dapat menghadapi kenyataan hidup secara rasional.
Ellis (dalam Lubis, 2011) mengatakan bahwa Rasional Emotif tidak hanya diarahkan untuk menghilangkan gejala (simtom), akan tetapi juga membantu klien untuk mengetahui dan merubah beberapa nilai dasar keyakinan klien terutama yang menimbulkan gangguan. Sebagai contoh, klien menghadapi masalah takut melakukan hubungan seksual dengan lawan jenis. Dalam hal ini peran terapis bukan hanya melakukan pengurangan rasa takut klien melainkan melakukan penanganan atas rasa takut menjalin hubungan secara umum. Jadi, peran fungsi terapis dalam Rasional Emotif adalah membebaskan klien dari gejala yang disampaikan atau tidak disampaikan secara jelas kepada terapis.          

4.  Teknik Terapi Rasional Emotif


Menurut Corey (2009) pada dasarnya, terapi Rasional Emotif tidak membatasi diri pada satu jenis teori tunggal. Terapis dibebaskan untuk menggunakan lebih dari satu teori (pendekatan eklektik). Hal ini berdasarkan anggapan bahwa klien dapat mengalami perubahan melalui berbagai macam cara seperti belajar dari pengalaman sendiri, orang lain, menonton film, berpikir dan meditasi.
Teknik Rasional Emotif yang paling utama adalah mengajar secara aktif-direktif. Lebih dari itu, Rasional Emotif juga menekankan proses deduktif yang mengacu pada aspek kognitif. Dalam keadaan ini, terapis lebih terlihat bertindak sebagai guru dibandingkan fasilitator bagi klien (Lubis, 2011).
          Menurut Ellis (dalam Corey, 2009) terapis dapat menerapkan metode terapi tingkah laku seperti:
  1. Pelaksanaan pekerjaan rumah.
  2. Desentisasi Sistematis.
  3. Pengkondisian Operan.
  4. Hipnoterapi.
  5. Latihan Asertif.
Selain itu, Willis (dalam Lubis, 2011) menyebutkan beberapa teknik Rasional Emotif lainnya antara lain:
  1. Sosiodarma, yaitu sandiwara singkat yang menjelaskan masalah-masalah di kehidupan sosial.
  2. Pencontohan (modelling).
  3. Teknik reinforcement.
  4. Relaxation.
  5. Self-control, yaitu klien diajarkan cara-cara mengendalikan diri dan menahan emosi.
  6. Diskusi.
  7. Simulasi, yaitu melalui berperan antara konselor dan klien.
  8. Bibliografi, yaitu dengan memberikan bahan bacaan tentang orang-orang yang mengalami masalah yang hampir sama dengan klien dan akhirnya dapat mengatasi masalahnya. Atau bahan bacaan yang dapat meningkatkan cara berpikirnya klien agar lebih rasional.
Dalam terapi, terapis Rasional Emotif menggunakan teknik-teknik yang lebih direktif dalam menghadapi klien seperti konfrontasi, pembantahan, deindoktrinasi, dan reedukasi. Ellis (dalam Lubis, 2011) menjelaskan bahwa teknik-teknik yang bervariasi tersebut dimanfaatkan untuk membantu klien mencapai suatu perubahan kognitif yang mendasar.

5.  Kelemahan dan Kelebihan Terapi Rasional Emotif


Kelebihan
  1. Pendekatan ini jelas, mudah dipelajari dan efektif. Kebanyakan klien hanya mengalami sedikit kesulitan dalam mengalami prinsip ataupun terminologi REBT.
  2. Pendekatan ini dapat dengan mudahnya dikombinasikan dengan teknik tingkah laku lainnya untuk membantu klien mengalami apa yang mereka pelajari lebih jauh lagi.
  3. Pendekatan ini relatif singkat dan klien dapat melanjutkan penggunaan pendekatan ini secara swa-bantu.
  4. Pendekatan ini telah menghasilkan banyak literatur dan penelitian untuk klien dan terapis. Hanya sedikit teori lain yang dapat mengembangkan materi biblioterapi seperti ini.
  5. Pendekatan ini terus-menerus berevolusi selama bertahun-tahun dan teknik-tekniknya telah diperbaiki.
  6. Pendekatan ini telah dibuktikan efektif dalam merawat gangguan kesehatan mental parah seperti depresi dan kecemasan.

Kelemahan
  1.  Pendekatan ini tidak dapat digunakan secara efektif pada individu yang mempunyai gangguan atau keterbatasan mental, seperti schizophrenia, dan mereka yang mempunyai kelainan pemikiran yang berat.
  2.  Pendekatan ini terlalu diasosiasikan dengan penemunya, Albert Ellis. Banyak individu yang mengalami kesulitan dalam memisahkan teori dari keeksentrikan Ellis.
  3.  Pendekatan ini langsung dan berpotensi membuat terapis terlalu fanatik dan ada kemungkinan tidak merawat klien se-ideal yang semestinya.
  4. Pendekatan yang menekankan pada perubahan pikiran bukanlah cara yang paling sederhana dalam membantu klien mengubah emosinya.




DAFTAR PUSTAKA


Corey, Gerald. 2009. Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama

 Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group