Minggu, 24 Maret 2013

Terapi dengan Pendekatan Eksistensial-Humanistik


Terapi dengan Pendekatan Eksistensial-Humanistik

Viktor Frankl

Rollo May

















Pendekatan eksistensial-humanistik pada hakikatnya mempercayai bahwa individu memiliki potensi untuk secara aktif memilih dan membuat keputusan bagi dirinya sendiri dan lingkungannya. Pendekatan ini sangat menekankan tentang kebebasan yang bertanggung jawab. Jadi individu diberikan kebebasan seluas-luasnya dalam melakukan tindakan, tetapi harus berani bertanggung jawab sekalipun mengandung resiko bagi dirinya. Menurut Buhler dan Allen dalam Lubis (2011), seorang ahli psikologi humanistik harus memiliki orientasi bersama yang mencakup hal-hal berikut:
1.      Menyadari pentingnya pendekatan dari pribadi ke pribadi.
2.      Menyadari peran dan tanggung jawab terapis.
3.      Mengakui adanya hubungan timbal balik dalam hubungan konseling atau terapi.
4.      Konselor atau terapis harus terlibat sebagai pribadi yg menyeluruh dengan klien.
5.      Mengakui bahwa keputusan dan pilihan akhir terletak di tangan klien.
6.      Memandang konselor atau terapis sebagai model yang dapat menunjukan pada klien potensi bagi tindakan yang kreatif dan positif.
7.      Memberi kebebasan pada klien untuk mengungkapkan pandangan, tujuan, dan nilainya sendiri.
8.      Mengurangi ketergantungan klien serta meningkatkan kebebasan klien.

Pendekatan Eksistensial-Humanistik dikembangkan oleh Victor Frankl, Rolo May, Irvin Yalom, James Bugental, dan Medars Boss. Tokoh yang dikatakan perintis awal perkembangan eksistensial-humanistik ini adalah Frankl dan May. Frankl dulunya memiliki kehidupan yang tidak menyenangkan, menderita dan banyak kepedihan. Ia adalah seorang yahudi. Saat itu adalah zaman Nazi dimana Hitler memerintahkan semua orang yahudi untuk ditahan di suatu perkemahan. Seluruh keluarga Frankl, anak dan istrinya ditahan di perkemahan tersebut, hingga akhirnya seluruh anak dan istrinya meninggal dunia. Hanya tersisa ia seorang diri. Sedangkan May memiliki latar belakang hidup yang tidak jauh berbeda dengan Frankl, yaitu kehidupan yang tidak bahagia. Sudah dua kali May gagal membina pernikahannya dan itu membuatnya sangat terpukul. Berdasarkan latar belakang kehidupan yang seperti itulah mereka kemudian menciptakan suatu teori yag kita kenal sebagi Humanistik-Eksistensial. Teori yang memandang manusia secara positif. Manusia dilihat dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, memiliki potensi untuk berkembang dengan penuh, dan lain-lain. Hal ini merupakan kebalikan dari teori psikoanalisa yang memandang manusia secara negatife. Jadi teori mereka ini didasari oleh pengalaman hidup mereka sendiri.




Psikologi eksistensial-humanistik berfokus pada kondisi manusia. Pendekatan ini terutama adalah suatu sikap yang menekankan pada pemahaman atas manusia. Dalam mengembangkan teorinya, psikologi eksistensial-humansistik sangat memperhatikan tentang dimensi manusia dalam berhubungan dengan lingkungannya, secara manusiawi dengan menitik beratkan pada kebebasan individu untuk mengungkapkan pendapat dan menetukan pilihannya, nilai-nilai tanggung jawab personal, otonomi, tujuan dan pemaknaan. Konsep-konsep utama dalam pendekatan eksistensial-humanistik adalah
1. Kesadaran diri
Manusia memiliki kesanggupan untuk menyadari dirinya sendiri, suatu kesanggupan yang unik dan nyata yang memungkinkan manusia mampu berpikir dan memutuskan. Semakin besar kesadaran dirinya, maka semakin besar pula kebebasannya untuk memilih altrnatif-alternatif. Kebebasan memilih dan bertindak itu disertai dengan tanggung jawab. Manusia bertanggung jawab atas keberadaan dan nasibnya.

 2. Kebebasan, tanggung jawab dan kecemasan
Kesadaran akan kebebasan dan tanggung jawab bisa menimbulkan kecemasan yang menjadi atribut dasar pada manusia. Kecemasan juga bisa diakibatkan oleh kesadaran atas keterbatasannya dan atas kemungkinan yang tak terhindarkan untuk mati (Nonbeing).

 3. Penciptaan Makna
Manusia berusaha untuk menemukan tujuan hidup dan menciptakan nilai-nilai yang akan memberikan makna bagi kehidupan. Menjadi manusia juga berarti  menghadapi kesendirian. Manusia memiliki kebutuhan untuk berhubungan dengan sesamanya dalam suatu cara yang bermakna. Manusia juga berusaha untuk mengaktualisasikan diri, yakni mengungkapkan potensi-potensi manusiawinya. Apabila gagal mengaktualisasikan dirinya, maka ia bisa menjadi “sakit”.

Tujuan Terapi Humanistik-Eksistensial


Tujuan dasar dari berbagai macam terapi adalah membuat individu mampu menerima kebebasan dan tanggung jawab dalam bertindak. Terapi eksistensial bertujuan untuk membuat klien menyadari bahwa mereka tidak sepenuhnya hidup dalam kenyataan dan mampu membuat pilihan yang dapat mereka jalani. Orientasi dari eksistensial adalah tidak ada kata “melarikan diri” dari kebebasan, karena kita selalu dapat bertanggung jawab. Kita dapat melepaskan kebebasan kita, apabila itu bukan kebebasan yang sebenarnya, artinya kita boleh melepaskan kebebasan yang palsu (semu). Terapi eksisitensial membantu klien untuk keluar dari kehidupan (alur hidup) sehari-harinya yang kaku (tidak fleksibel) dan mengkonfrontasi (melawan) kecenderungan yang kompulsif dan dangkal, yang menghalangi kebebasan mereka. Walaupun proses ini memberikan individu persaan lepas, bebas, meningkatkan kemandirian, namun kebebasan yang baru akan membawa kecemasan (Corey, 1996).
Kebebasan adalah menaruh resiko pada suatu jalan baru, dimana tidak ada keyakinan atau kepastian mengenai jalan tersebut. Kepeningan dan ketakutan harus dapat dikonfrontasi (dilawan) jika menginginkan adanya perubahan (May dalam Corey, 1996). Banyak ketakutan akan beratnya tanggung jawab yang harus diemban seperti “Siapa mereka sekarang?” dan “Akan menjadi apa mereka kemudian?” Untuk dapat menjawabnya, Mereka harus memilih. Sebagai  contoh, lebih memilih untuk berpegang teguh pada hal yang telah diketahui (familiar) atau membuka diri terhadap suatu resiko yang memiliki sedikit kepastian, dan menantang hidup? Kurangnya kehidupan yang terjamin, yang pasti, akan menimbulkan kecemasan. Untuk itu terapi eksistensial membantu klien menghadapi kecemasan tersebut dan bertindak yang didasarkan pada tujuan yang sebenarnya, yang membuat eksistensi (keberadaannya) berharga.
May dalam Corey (1996) berpendapat orang-orang datang ke tempat terapi dengan ilusi diri yang dibuatnya sendiri (sel- serving illusion) yang membuat hati atau batin mereka diperbudak olehnya, dan terapis dapat membebaskan mereka dari hal tersebut. Tujuan psikoterapi adalah bukan untuk mengobati klien secara lazim, tetapi untuk membantu mereka menjadi sadar terhadap apa yang sedang mereka lakukan atau perbuat dan mengeluarkan mereka dari peran sebagai korban. Tugas terapi eksisitensial adalah mengajari klien untuk mendengarkan apa yang telah mereka ketahui tentang diri mereka, walaupun mereka mungkin tidak sadar (tidak mengerti) dari apa yang mereka ketahui tersebut. Menurut Bugental dalam Corey (1996) Terapi adalah proses membawa keluar kehidupan klien yang tersembunyi atau terpendam. Bugental mengidentifikasi tiga tugas terapi yaitu:
1.      Membantu klien menyadari bahwa diri mereka tidak hadir sepenuhnya dalam proses terapi itu sendiri dan melihat bagaimana hal tersebut membatasi dirinya dalam terapi tersebut.
2.      Mendukung klien dalam melawan kecemasan mereka.
3.      Membantu klien menemukan kembali dirinya dan dunianya sehingga dapat berkembang dengan sebenarnya untuk berinteraksi dengan dunianya.
Singkatnya, meningkatkan kesadaran adalah tujuan utama dari terapi eksistensial. Mengacu pada Bugental, terapis membimbing klien untuk menemukan kemungkinan-kemungkinan alternatif yang ada, yang tidak disadari sebelumnya sehingga kemudian mereka mampu untuk membuat perubahan-perubahan terhadap eksistensinya di dunia. Secara ringkas, tujuan terapi dalam pendekatan eksistensial-humanistik dikutip Corey dalam Lubis (2011) adalah sebagai berikut:
1.      Memaksimalkan kesadaran diri dan pertumbuhan
2.      Menghapus penghambat aktualisasi potensi pribadi
3.      Membantu klien menemukan dan menggunakan kebebasan memilih dengan memperluas kesadaran diri,
4.      Membantu klien agar bebas dan bertanggung jawab atas arah kehidupannya sendiri.
Terapi Humanistik bertujuan agar klien mengalami keberadaannya secara otentik dengan menjadi sadar atas keberadaan dan potensi-potensi serta sadar bahwa ia dapat membuka diri dan bertindak berdasarkan kemampuannya. Bugental dalam Corey (1996) menyebut keotentikan sebagai “uraian utama psikoterapi” dan “nilai eksistensial pokok”. Terdapat tiga karakteristik dari keberadaan otentik: (1) menyadari sepenuhnya keadaan sekarang, (2) memilih bagaimana hidup pada saat sekarang, dan (3) memikul tanggungjawab untuk memilih. Kilen yang neurotik adalah orang yang kehilangan rasa ada, dan tujuan terapi adalah membentuknya agar ia memperoleh atau menemukan kembali kemanusiannya yang hilang.

Fungsi dan Peran Terapis


Fokus utama terapi eksistensial adalah memahami dunia subjektif klien untuk membantu mereka memiliki pemahaman baru dan pilihan. Jadi fokusnya pada kehidupan saat ini, bukan dengan membantu klien menemukan kembali pengalaman masa lalunya (May dan Yalom dalam Corey, 1996). Terapis eksistensial menggunakan beberapa teknik seperti desentisasi, asosiasi bebas, atau restrukturisasi kognitif, dan membimbing klien untuk mendapatkan insight. Tidak ada seperangkat teknik yang di spesifikasikan (fischer dan fischer dalam Corey, 1996). Di sisi lain, beberapa terapis eksistensial membenci teknik-teknik, mereka melihat suatu teknik terapi sebagai hal yang kaku, rutin, dan manipulatif. Dalam proses terapi ini, teknik digunakan sebagai cadangan untuk membangun hubungan yang membuat terapis secara efektif mampu menantang dan memahami klien.
Terapis eksistensial, terutama menaruh perhatian pada klien yang menghindari tanggung jawab. Terapis meminta klien untuk dapat menerima tanggung jawab pribadinya. Ketika klien mengeluh tentang keadaan yang sulit dan menyalahkan orang lain, terapis biasanya bertanya bagaimana mereka mendapatkan situasi ini. Terapis biasanya membuat perjanjian dengan orang-orang yang membatasi eksisitensinya (restricted existence). Klien seperti ini biasanya memiliki kesadaran diri yang terbatas dan sering tidak memahami masalah mereka. Mereka mungkin melihatnya dan menghadapi situasi hidup secara sempit, hanya melihat sedikit pilihan walaupun sebenarnya terdapat beberapa pilihan dan mereka merasa terperangkap dan tidak berdaya (Corey, 1996).
Tugas utama dari terapi adalah untuk mengkonfrontasi klien yang hidup dengan cara membatasi eksistensi dirinya dan membantu mereka menjadi sadar akan bagain diri mereka dalam menciptakan atau membuat kondisi tersebut. Dapat dikatakan terapis sebagai kaca yang berbicara, jadi klien secara berangsur-angsur dapat mengkonfrontasi dirinya sendiri. Dengan begitu klien dapat melihat bagaimana mereka menjadi diri mereka apa adanya dengan cara mereka sendiri dan bagaimana mereka dapat memperluas cara hidup mereka. Ketika mereka sadar akan faktor-faktor di masa lalu, mereka mulai bisa menerima tanggung jawab untuk perubahan di masa depan (Corey, 1996).
Pengalaman Klien dalam Terapi
Klien dalam terapi eksistensial diminta untuk secara serius menceritakan pengalaman subjektif mereka tentang dunia. Mereka ditantang untuk menerima tanggung jawab mengenai yang akan mereka pilih sekarang dalam dunia mereka. Terapi yang efektif tidak hanya berhenti dengan kesadaran diri yang diperoleh klien, tetapi juga pada tindakan yang didasarkan pada insight yang berkembang dari klien melalui proses terapi. Klien diharapkan dapat keluar dari dunianya dan memutusdkan bagaimana mereka akan hidup secara berbeda. Mereka harus aktif dalam proses terapi, selama sesi terapi mereka harus memutuskan ketakutan, rasa bersalah dan kecemasan apa yang akan mereka eksplor (jelajahi). Memutuskan untuk memasuki psikoterapi, seringnya dianggap sebagai hal yang menakutkan, hal ini dapat terlihat dari sedikit tulisan  seorang klien yang dikutip dari Corey (1996)
Saya memulai terapi pribadi hari ini. Saya merasa takut, tapi saya tidak tahu apa yang saya takuti. Sekarang saya tahu. Pertama, saya takut dengan diri Jerry. Dia memiliki kekuasaan untuk mengubah saya. Saya yang memberinya kekuasaan tersebut, dan saya tidak dapat kembal lagi. Hal itu benar-benar membuat saya putus asa, saya tidak akan pernah bisa kembali lagi selamanya. Saya sedih dan takut akan hal ini Saya sedih karena saya tidak bisa kembali. Saya membuka pintu di dalam diri saya, dan saya takut akan apa yang ada disana, sebuah diri saya yang baru, yang memandang dan berhubungan dengan orang-orang secara berbeda. Saya rasa saya cemas akan segalanya, tapi yang paling utama saya takut adalah dengan diri saya. Saya meledakkan rasa aman keluar dari hidup saya dan saya benar-benar takut akan menjadi orang seperti apa yang mereka inginkan.”
Melalui proses terapi, klien dapat mengeksplor alternatif (pilihan lain) untuk membuat penglihatan mereka menjadi nyata. Ketika klien merasa tidak berdaya kemudian membuat alasan dan berusaha meyakinkan kita bahwa dirinya benar-benar tidak berdaya, May dalam Corey (1996) mengingatka bahwa perjalanan mereka menuju kebebasan dimulai dengan melangkahkan kaki di depan kaki-kaki lain. Setiap menit yang mereka rangkai untuk memperoleh kebebasan, mungkin dapat dimulai dengan melangkah lebih awal.
Aspek lain mengenai pengalaman klien dalam terapi eksistensial adalah mengkonfrontasi atau melawan pertanyaan-pertanyaan secara langsung daripada memecahkan masalah. May dalam Corey (1996) menulis “pengalaman-pengalaman besar, seperti melahirkan, kematian, percintaan, kecemasan, rasa bersalah, bukanlah masalah untuk diselesaikan, tetapi merupakan paradoks yang harus dikonfrontasi dan diakui. Penyelesaian masalah hanya dibicarakan untuk membuat paradoks-paradoks tersebut mrenjadi lebih jelas. Beberapa tema besar dalam sesi terapi adalah kecemasan, kebebasan dan tanggung jawab, isolasi, kematian, dan dampaknya terhadap kehidupan dan pencarian makna yang berkesinambungan.

Hubungan antara Klien dengan Terapis

Hubungan dengan klien adalah hal yang sangat penting dalam terapi eksistensial, bukan untuk menimbulkan transferensi, tetapi lebih kepada kualitas hubiungan tersebut dimana situasi terapi adalah sebagai stimulus untuk membuat perubahan yang positif. Karakteristik personal dan sikap dasar yang harus dimiliki terapi adalah kejujuran, integritas, dan keteguhan hati yang mereka berikan. Buber dalam Corey (1996) mengatakan mudah bagi konselor untuk tesenyum dan menggangguk tanpa benar-benar mendengarkan dan hadir untuk klien. Klien akan merasakan ketidakhadiran atau kurangnya kehadiran tersebut, yang pada akhirnya akan berdampak negatif terhadap hubungan terapis dengan klien.
Terapis bereaksi terhadap klien dengan tidak dibuat-buat (otentik atau apa adanya) dan empati, hal itu adalah salah satu cara untuk memperdalam hubungan terapi. Bugental dalam Corey (1996) menekankan peran yang penting sekali, yaitu “kehadiran terapis”. Kehadiran terapis memainkan peran penting dalam membina hubungan dengan klien. Dia berpendapat bahwa terapis seringkali terlalu fokus pada isi pembicaraan klien yang pada akhirnya ia tidak menyadari membuat jarak antara dirinya dengan klien, lebih lanjut ia mengatakan bahwa konsep terapis disini bukan sebagai observer-teknisi yang tidak tertarik dengan isi pembicaraan klien tetapi sebagai sahabat, sebagai manusia yang ada sepenuhnya untuk klien, seperti mendengarkan klien dengan sepenuh hati bukan pada isi pembicaraannya saja, tetapi juga ikut merasakan apa yang klien rasakan serta menghargainya.
May dan Yalom dalam Corey (1996) juga menekankan peran penting terapis, yaitu berada “disana” untuk klien dan hadir sepenuhnya serta secara intens terlibat. Mereka mengingatkan jika klien merasa terapis hilang atau tidak ada atau tidak hadir sepenuhnya, maka mereka gagal mencapai (memperoleh) pertemuan yang sebenarnya dimana hal itu sangat penting dan diinginkan oleh klien. Inti dari hubungan terapi adalah “menghargai”, yang berdampak pada potensi klien untuk menyelesaikan masalah secara otentik dan kemampuan mereka untuk menemukan cara alternatif lainnya. Klien biasanya menjadi dapat melihat diri mereka sebagai orang yang aktif dan bertanggung jawab untuk eksistensinya, dimana sebelum terapi mereka merasa dan memandang diri mereka tidak berdaya. Mereka mengembangkan peningkatan kemampuan untuk menerima dan mengkonfrontasi kebebasan yang mereka miliki.
Terapis membuat klien tumbuh atau berubah dengan meniru perilaku yang otentik (apa adanya, tidak dibuat-buat). Jika terapis menyembunyikan diri mereka selama sesi terapi atau mereka tidak memperlihatkan perilaku mereka apa adanya, maka klien juga akan hati-hati dan berperilaku dengan cara yang tidak otentik atau palsu. Maka dari itu, terapis dapat membantu klien untuk tidak merasa asing terhadap dirinya dengan menseleksi respon-respon yang terbuka. Tentu saja, keterbukaan disini bukan berarti berbagi pikiran dan perasaan tanpa sensor (uncensored), namun lebih kepada bersedia mempertahankan reaksi yang apa adanya pada kilen (Corey, 1996).
Aplikasi: Teknik dan Prosedur Terapi


Pendekatan eksistensial tidak seperti kebanyakan terapi-terapi lainnya, pendekatan ini tidak berorientasi dan tidak mendefinisikan seperangkat teknik tertentu. Intervensinya berdasarkan pandangan filosofis mengenai eksistensi manusia secara alamiah. Terapi eksistensial bebas mengambarkan teknik dengan berbagai macam orientasi. Mereka memiliki seperangkat asumsi dan sikap yang membimbing intervensi mereka pada klien.
Van Deurzen Smith dalam Corey (1996) menekankan bahwa pendekatan eksistensial di kenal tidak menekankan teknik-teknik, tetapi menekankan pentingnya terapis untuk menggali secara dalam dan membuka diri mereka untuk mengambil resiko dalam menyelesaikan permasalahan klien tanpa ketinggalan sedikit pun informasi dari klien. Dia mengingatkan bahwa terapi eksistensial adalah pengalaman kolaboratif dimana klien dan terapis akan mengalami perubahan jika mereka saling membuka diri.
Baldwin dalam Corey (1996) mengemukakan bahwa inti dari terapi ini adalah penggunaan diri terapis itu sendiri. Ketika bagian diri terdalam dari terapis bertemu dengan bagian diri terdalam dari klien maka proses terapi tersebut berlangsung sangat baik. Terapi adalah proses penemuan yang kreatif yang dapat di konseptualisasikan dalam 3 fase umum, yaitu:
Fase pertama
1.      Terapis membantu klien dalam mengidentifikasi dan mengklarifikasi asumsi mereka tentang dunia.
2.      Klien diminta menemukan dan mempertanyakan apa yang mereka rasakan dan perasaan mengenai eksistensi diri mereka.
3.      Mereka menguji kembali nilai-nilai, keyakinan, dan asumsi-asumsi mereka untuk menunjukan kevaliditasan.
Fase kedua
1.      Klien diminta mengeluarkan sumber dayanya secara penuh yang disebut dengan eksplorasi diri yang dapat menimbulkan insght baru dan restrukturisasi sikap dan nilai-nilai.
2.      Klien mendapatkan ide yang baik mengenai hidup yang mereka anggap berarti bagi mereka. Mereka mengembangkan perasaan yang jelas mengenai proses nilai dalam diri mereka.
Fase ketiga
Fase terakhir yaitun fokus untuk membantu klien belajar mengenali dirinya. Hasil terapi yang dicapai adalah klien mampu menemukan cara mengimplementasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai dengan cara yang konkrit. Klien dapat menemukan kelebihan diri mereka dan mebuatnya dapat hidup secara bermakna.
  
Kelebihan dan Kelemahan Terapi Eksistensial-Humanistik
Kelebihan Terapi Eksistensial-Humanistik
1.      Teknik ini dapat digunakan bagi klien yang mengalami kekurangan dalam perkembangan dan kepercayaan diri.
2.      Adanya kebebasan klien untuk mengambil keputusan sendiri.
3.      Memanusiakan manusia.
4.      Bersifat pembentukan kepribadian, hati nurani, perubahan sikap, analisis terhadap fenomena sosial.
5.      Pendekatan terapi eksistensial lebih cocok digunakan pada perkembangan klien seperti masalah karier, kegagalan dalam perkawinan, pengucilan dalam pergaulan ataupun masa transisi dalam perkembangan dari remaja menjadi dewasa

Kelemahan Terapi Eksistensial-Humanistik
1.      Dalam metodologi, bahasa dan konsepnya yang mistikal
2.      Dalam pelaksanaannya tidak memiliki teknik yang tegas.
3.      Terlalu percaya pada kemampuan klien dalam mengatasi masalahnya (keputusan ditentukan oleh klien sendiri)
4.      Memakan waktu lama.
Pendekatan eksistensial-humanistis bukanlah suatu aliran terapi dan bukan pula suatu teori tunggal yang sistematik. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang mencakup terapi-terapi yang berlainan tetapi berlandaskan konsep dan asumsi tentang manusia.


DAFTAR PUSTAKA
Feist, Jess dan Feist, Gregory. (2010). Theories of Personality. USA: Mc Graw Hill
Corey, Gerald. (1996). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. USA: Brooks Cole
Lubis, Lumongga Namora. (2011). Memahami Dasar-Dasar Konseling dalam Teori dan Praktik. Jakarta: Kencana Prenada Media Group