Sabtu, 13 Oktober 2012

Pengaruh Transmisi Budaya terhadap Perkembangan Psikologis Individu

Transmisi Budaya


Transmisi Budaya adalah suatu upaya atau proses dalam menyampaikan sikap, keyakinan, nilai-nilai, pengetahuan dan juga ketrampilan dari suatu generasi kepada generasi selanjutnya, sehingga budaya tersebut dapat tetap dipertahankan nilai-nilainya. Pengertian transmisi budaya, juga mencakup bagaimana menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Fungsi transmisi budaya masyarakat kepada anak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: (1) transmisi pengetahuan dan ketrampilan, (2) transmisi sikap, nilai-nilai dan norma-norma. 

Tarnsmisi pengetahuan mencakup pengetahaun tentang bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, dan penemuan-penemuan teknologi. Dalam masyarakat industri yang komplek, fungsi transmisi pengetahuan tersebut sangat penting sehingga proses belajar di sekolah memakan waktu lebih lama, yang membutuhkan guru-guru serta lembaga khusus. Dalam arti yang sempit, transmisi pengetahuan dan keterampilan itu berbentuk vocasional training, sebagai contoh: di masyarakat ayah mengajarkan kepada anaknya cara membuat panah untuk perburuan binatang, sedangkan di sekolah teknik, anak belajar bagaimana caranya meperbaiki mobil. Perlu diingat bahawa sesungguhnya penegertian transmisi budaya tidak hanya terbatas pada mengajarkan kepada anak bagaimana cara belajar, melainkan juga bagaimana menemukan dan meciptakan sesuatu yang baru (4shared). 

Secara tradisonal, pengetahuan mengenai transmisi budaya berasal dari keluarga. Transmisi budaya melalui hubungan keluarga dan biologis dapat dijelaskan melalui budaya dan makna psikologis. Sebagai contoh, dalam budaya tertentu hubungan biologis kurang penting dalam transmisi budaya apabila tidak melahirkan anak laki-laki. Pengadopsian anak (biasanya laki-laki) dapat menjadi dasar untuk membentuk suatu keturunan (group family). Menurut Shore dalam  Schonpflug (1978) transmisi dilihat sebagai ‘penyebab’ dari etnopsikologi. Hal ini berkaitan dengan pendapat Bruner dalam Sconpflug (1978) yang memandang adanya hubungan antara budaya dan pikiran (mind): “.... How a people belive the mind works will ... have a profound effect on how in fact it is compelled to work if anybody is to get on in a culture” (p.xvii), yang kemudian menjelaskan bahwa kepercayaan subjektif (subjective beliefs) dari agen sosialisasi (orang tua dan guru) sebagai bagian dari sistem budaya akan mempengaruhi kepercayaan generasi selanjutnya.

Transmisi sebagai bentuk dari pengetahuan meliputi operasi kognitif primer. Namun, emosi yang tepat dan bagaimana mengekspresikannya juga berbeda-beda dalam budaya dengan beberapa tingkatan, seperti apa yang menjijikan dan apa yang tidak, bagaimana untuk menyadari hinaan dan bagaimana cara meresponnya, siapa yang dapat menjadi target afeksi dan bagaimana untuk menunjukan perasaan tersebut (Nisbett dan Cohen dalam jurnal Schlegel, 2011). Dasar dari emosi manusia juga berbeda-beda berdasarkan budaya.

Menurut Tomasello, Kruger, dan Ratner dalam Matsumoto dan Juang (2008) kemampuan unik dari manusia adalah dapat melihat berbagai perspektif (sudut pandang) dengan belajar mengenai budaya, belajar disini bukan hanya ‘dari’ orang lain tetapi juga ‘melalui’ orang lain. Seorang anak bukan hanya belajar dengan meniru orang dewasa tetapi juga dengan menginternalisasi pengetahuan dari orang lain melalui kognisi sosial mereka. Kita dapat melakukan hal tersebut karena kita memiliki kemampuan untuk memahami perspektif, keinginan, dan tujuan orang lain; kemudian kita menginternalisasinya dan belajar darinya. Budaya adalah sesuatu yang secara unik dipelajari oleh manusia (Tomasello dalam Matsumoto dan Juang, 2008). 

Mempelajari budaya tidak sederhana seperti membaca buku disuatu tempat dan mempelajarinya. Budaya harus dipelajari dalam proses yang panjang dengan banyak praktik. Dalam mempelajari budaya, kita sering membuat kesalahan, akan tetapi masyarakat, kelompok atau lembaga selalu berada di sekitar kita untuk membantu kita untuk mengoreksi kesalahan tersebut.  

Bentuk-Bentuk Transmisi Budaya

1.   Enkulturasi
Enkulturasi adalah proses dimana anak-anak muda belajar dan mengadopsi sikap dan tingkah laku dari lingkungan budaya mereka (Matsumoto dan Juang, 2008). Enkulturasi mengacu pada proses dimana kultur (budaya) ditransmisikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kita mempelajari budaya, bukan mewarisinya. Budaya ditransmisikan melalui proses belajar, bukan melalui gen. Orang tua, kelompok, teman, sekolah, lembaga keagamaan, dan lembaga pemerintahan merupakan guru-guru utama dibidang budaya. Enkulturasi terjadi melalui mereka (wikipedia).

2.   Sosialisasi
Sosialisasi adalah proses dimana kita belajar dan menginternalisasi aturan-aturan dan pola-pola yang ada di masyarakat dimana kita tinggal. Proses ini terjadi sepanjang waktu meliputi pembelajaran norma-norma sosial, sikap-sikap, nilai-nilai, dan sistem kepercayaan. Proses sosialisasi dimulai lebih awal, kemungkinan dari hari pertama ketika kita hidup (Matsumoto dan Juang, 2008). Jadi sosialisasi merupakan sebuah proses penanaman atau transfer kebiasaan, nilai dan aturan dari satu generasi ke generasi lainnya dalam sebuah kelompok atau masyarakat.

3.   Akulturasi
Akulturasi adalah proses adaptasi pada suatu budaya yang berbeda dimana salah satu mengalami enkulturasi (Matsumoto dan Juang, 2008). Akulturasi sudah ada sejak dulu dalam sejarah budaya manusia. Akulturasi timbul sebagai akibat adanya kontak langsung yang terus-menerus antara kelompok-kelompok manusia yang mempunyai kebudayaan yang berbeda, sehingga diperolehnya unsur-unsur kebudayaan lain (Soejono Soekanto, 1982). Namun kebudayaan asli tetap dipertahankan nilai-nilainya, jadi pada akulturasi hanya timbul nilai-nilai dari kebudayaan lain tetapi tidak mengikis nilai-nilai yang terdapat pada kebudaya asli. Akulturasi dapat terwujud melalui kontak budaya yang bentuknya bermacam-macam antara lain: pertama, kontak budaya bisa terjadi antara seluruh anggota masyarakat atau sebagian saja, bahkan individu-individu dari dua masyarakat. Kedua, kontak budaya berjalan melalui perdamaian diantara kedua kelompok masyarakat yang bersahabat, maupun melalui cara permusuhan antar kelompok. Ketiga, kontak budaya timbul diantara masyarakat yang mempunyai kekuasaan, baik dalam politik maupun ekonomi (Imadiklus, 2012).
Terdapat sedikit perbedaan antara pengertian enkulturasi dan sosialisasi menurut Matsumoto dan Juang. Sosialisasi lebih kepada proses dan mekanisme dimana orang-orang mempelajari aturan-aturan masyarakat. Sedangkan enkulturasi lebih kepada produk/hasil dari proses sosialisasi tersebut, yang bersifat subjektif, pokok yang mendasari, dan aspek-aspek psikologis dari budaya yang kemudian terinternalisasi seiring dengan perkembangan (Matsumoto dan Juang, 2008).  


Pengaruh Bentuk-Bentuk Transmisi Budaya terhadap Perkembangan Psikologis Individu

Masa kanak-kanak adalah periode dinamis kehidupan. Pada periode ini salah satu aspek yang kemungkinan konstan dalam hal lintas budaya adalah bahwa setiap orang berkeinginan, berharap, anak mereka dapat tumbuh menjadi anak yang bahagia dan produktif ketika dewasa nanti. Akan tetapi arti dari ‘bahagia’ dan ‘produktif’ dalam berbagai budaya itu berbeda-beda. Namun hal itu tetap merupakan tujuan utama dalam perkembangan (Matsumoto dan Juang, 2008).
Masing-masing budaya memiliki pemahaman yang berbeda-beda mengenai ‘kebutuhan kompetensi’ anak agar mereka dapat berfungsi dengan baik. Sebagai contoh, budaya yang memiliki keyakinan bahwa pendidikan formal merupakan kebutuhan untuk menjadi sukses, maka nilai tersebut kemungkinan akan di tekankan pada masa kanak-kanak. Anak tersebut kemungkinan besar akan dikenalkan buku sejak usia muda. Kemudian pada budaya lain, yang memiliki keyakinan bahwa memintal dan menenun sebagai bagian dari kehidupan di masa dewasa nanti. Kemungkinan anak mereka akan menerima (diajari) keahlian tersebut lebih awal.
Masyarakat tidak menerima pengetahuan mengenai budaya secara pasif. Menurut (Bronfenbrenner dalam Matsumoto dan Juang, 2008) perkembangan manusia itu dinamis, artinya merupakan proses interaktif antara individu dengan lingkungannya dalam berbagai tingkatan. Tingkatan ini terdiri dari Microsystem (lingkungan yang berhubungan secara langsung, seperti keluarga, sekolah, teman sebaya, dimana anak berinteraksi secara langsung), Mesosystem (hubungan antara microsystem, seperti antara sekolah dan keluarga), Exosystem (konteks yang secara tidak langsung mempengaruhi anak, seperti tempat kerja orang tua), Macrosystem (budaya, agama, masyarakat) dan Chronosystem (waktu yang mempengaruhi sistem-sistem lainnya). Berdasarkan teori bronfenbrenner, dapat disimpulkan bahwa kita juga berkontribusi terhadap perkembangan diri kita, jadi kita ini juga aktif dalam menghasilkan diri yang berkembang. 
Agen dari sosialisasi dan enkulturasi adalah masyarakat, lembaga, dan organisasi. Agen yang pertama dan paling penting adalah orang tua, yang membantu menanamkan adat istiadat dan nilai-nilai kepada anak-anak mereka. Orang tua biasanya akan memberikan reward ketika anak-anak mereka mempelajarinya dan mempraktikannya dengan baik, sebaliknya akan memberikan hukuman ketika mereka melakukan kesalahan. Orang tua bukanlah satu-satunya agen sosialisasi. Saudara kandung, keluarga besar, dan teman sebaya juga merupakan agen sosialisasi dan enkulturasi yang tak kalah penting bagi kebanyakan orang. Kemudian organisasi-organisasi seperti sekolah, agama, dan kelompok sosial juga berperan penting.

Pola Asuh dan Keluarga
         Dengan mengamati pola asuh orang tua, maka kita akan melihat esensi dari budaya. Aturan-aturan budaya diperkuat (reinforced) dan berlalu dari generasi yang satu kepada generasi yang lain melalui interaksi orang tua kepada anak (Mead dalam Matsumoto dan Juang, 2008). Mempelajari bagaimana pola asuh orang tua, memberikan informasi mengenai apa yang penting dalam budaya tersebut. Beatrice dan John whiting mengadakan penelitian pada anak-anak dari enam budaya yang berbeda, meliputi Mexico, India, Kenya, Amerika, Okinawa, dan Filiphina. Fokus dari penelitian mereka adalah memahami bagaimana pengasuhan anak dan perilaku anak dalam konteks budaya yang berbeda-beda. Menurut Whiting dan Whiting dalam Matsumoto dan Juang (2008) perilaku sosial anak-anak dibagi menjadi beberapa range dimensi, yaitu:
  •  Nurturant-Resonsible ( perilaku merawat dan berbagi)
  • Dependent-Dominant (mencari bantuan dan tegas/dominan)
  • Sociable-Intimate (bertindak sosial)
  • Authoritarian-Aggressive (bertindak secara agresif)
Budaya dengan nuclear family, dimana suami dan istri tidur dan makan bersama dan suaminya juga ikut membantu dalam mengurus anak, maka skor kemampuan sosial (sociability) anaknya akan tinggi, sedangkan skor agresinya rendah. Sebaliknya pada keluarga patrilineal dengan keluarga besar (extended family), dimana suami dan istri tidak tidur dan makan bersama dan suaminya tidak diperbolehkan dalam mengurus anak, maka skor anak dalam kemampuan sosial akan rendah sedangkan skor agresinya akan tinggi. Wanita yang berperan sebagai pekerja juga memiliki kontribusi terhadap perilaku sosial anak. Dalam budaya dimana wanita sangat besar sekali perannya sebagai dasar dalam keluarga, anak-anaknya akan belajar berbagi tanggung jawab keluarga, dan skor akan ketergantungan (dependence) rendah. Sebaliknya, dalam budaya dimana wanita tidak memiliki kontribusi sebagai dasar keluarga dan tergantung pada pendapatan suami, anaknya akan belajar untuk lebih tergantung. 
Wu dan Chao dalam Matsumoto dan Juang (2008), meneliti mengenai bagaimana persepsi mengenai kehangatan pengasuhan berubah sebagai proses dari akulturasi terhadap remaja Cina di Amerika. Secara tradisional pada budaya Cina, dalam mengasuh tidak diperbolehkan menunjukan afeksi (rasa kasih sayang) kepada anak mereka secara langsung, seperti memeluk dan mencium. Remaja Cina di Amerika, sangat merasakan sekali perbedaan pola asuh dimana kasih sayang orang tua sangat terbuka dan ditunjukan. Remaja tersebut kemudian akan mengembangkan orang tua yang ideal. Wu dan Chao kemudian menemukan bahwa remaja Cina Amerika meyakini bahwa orang tua mereka tidak sehangat orang tua yang mereka idealkan.

Budaya dan Kelekatan (Culture and Attachment)

Kelekatan (attachment) adalah hubungan atau pertalian yang spesial yang berkembang antara bayi dengan pengasuh utamanya, yaitu ibu (Matsumoto dan Juang, 2008). Para ahli psikologi percaya bahwa kualitas kelekatan memiliki efek jangka panjang terhadap hubungan antara ibu dan bayi. Kelekatan memberikan rasa aman secara emosional. Seorang bayi akan merasa stres jika dipisahkan oleh ibunya.
Bowlby dalam Matsumoto dan Juang (2008) mengemukakan teori evolusi mengenai kelekatan, yang menjelaskan bahwa bayi telah di program sebelumnya atau memiliki dasar secara biologis untuk menjadi lekat (attached) dengan pengasuh utama mereka (ibu). Perilaku yang telah terbentuk secara bawaan ini mencakup perilaku tersenyum dan mendengkur yang diperoleh dari kelekatan fisik dengan ibu mereka. Bowlby juga berpendapat bahwa hubungan antara pengasuh dengan anak berfungsi sebagai strategi untuk bertahan hidup, dimana bayi mendapatkan kenyamanan dan perlindungan.

Pengklasifikasian Kelekatan (Attachment) 
Ainsworth dalam matsumoto dan Juang (2008) mengklasifikasikan pola kelekatan menjadi 3 jenis, yaitu: secure, ambivalent, dan avoidant. Ambivalent dan avoidant dapat dikatakan sebagai kelekatan yang tidak memiliki rasa aman. Bayi yang kelekatannya menimbulkan rasa aman (secure) akan menjadi stres ketika ibunya pergi meninggalkannya, tetapi mereka akan cepat merasa nyaman ketika ibu mereka kembali. Pada bayi yang kelekatannya bersifat ambivalent, juga akan mengalami stres ketika ibu mereka pergi, namun ketika ibu mereka kembali, mereka mengirimkan tanda yang bertentangan, yaitu mereka  merasa kembali nyaman, tetapi muncul waktu yang sulit untuk membiarkan ibu mereka menenangkan atau membuat mereka kembali nyaman. Terkahir Avoidant, yaitu bayi tidak merasa stres ketika ibu mereka pergi meninggalkannya, dan ketika ibu mereka kembali bayi tersebut secara aktif akan menghindari ibu mereka dan terfokus dengan sesuatu yang lain.
Seorang ibu yang menimbulkan kelekatan dengan penuh rasa aman (secure), dideskipsikan sebagai seseorang yang sensitif, hangat, dan memiliki ekspresi emosi yang lebih positif. Sedangkan ibu yang mengembangkan kelekatan avoidant pada anaknya diduga bersikap menggangu dan menstimuli/merangsang bayinya secara berlebihan. Kemudian ibu yang mengembangkan kelekatan yang bersifat ambivalent dikarakterisasikan sebagai orang yang tidak sensitif dan jarang melibatkan diri mereka secara langsung dalam mengasuh.    


Persamaan dan Perbedaan antar Budaya dalam Transmisi Budaya (terhadap Pola Kelekatan pada Ibu atau Pengasuh)
            Pola kelekatan ternyata dapat memprediksikan kompetensi anak. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Takahasi dalam Matsumoto dan Juang (2008), yang menemukan bahwa bayi berumur 2 tahun yang kelekatannya bersifat secure, dibandingakan dengan bayi yang lebih rapuh, ternyata memiliki rasa ingin tahu yang lebih besar terhadap suatu suatu objek, dan lebih memiliki kompetensi sosial dalam berhubungan dengan teman sebaya yang tidak dikenalnya.
Lebih menariknya lagi, hubungan kelekatan antara bayi dengan pengasuh yang berbeda akan memiliki dampak pada area perkembangan yang berbeda-beda pula. Bayi Gusii di kenya, berkembang kelekatan  bersifat secure oleh pengasuh yang tidak bersifat keibuan, memiliki perkembangan kognitif yang lebih tinggi dibandingakan bayi yang tidak memiliki pengasuh. Kemudian hubungan kelekatan antara ibu dengan bayinya juga dapat memprediksikan status kesehatan bayinya tersebut. Bayi dimana kelekatan dengan ibunya menimbulkan rasa aman, memiliki skor yang tinggi dalam status kesehatan, dibandingkan dengan bayi-bayi yang tidak menimbulkan rasa aman kelekatannya. Berbagai macam hubungan kelekatan akan menjadi pengalaman bagi bayi tersebut dan akan mempengaruhi perkembangan mereka (Kermoian dan Leiderman dalam Matsumoto dan Juang, 2008).
Penelitian pada suku Afrika yang bertempat tinggal di hutan dan mencari makan ke berbagai tempat, dikenal dengan suku Efe, menunjukan perbedaan yang sangat banyak dalam pola kelekatan (attachment) yang sehat. Bayi dalam suku Efe dirawat oleh berbagai macam orang (pengasuh) dan juga ibunya. Waktu yang dihabiskan dengan pengasuh daripada dengan ibunya meningkat dari 39% dalam 3 minggu sampai 60% tiap 18 minggunya. Mereka memiliki hubungan kedekatan emosional pada berbagai orang daripada oleh ibu mereka sendiri dan menghabiskan wakttu yang sangat sedikit dengan ayah mereka. Akan tetapi bagaimanapun juga, ketika bayi berusia 1 tahun, mereka lebih memilih atau lebih ingin dirawat oleh ibu mereka dan menjadi frustasi ketika ditinggal oleh ibu mereka. Pada usia ini, sekali lagi ibu menjadi pengasuh utama (primary caregiver). Terdapat bukti bahwa kelekatan mereka dengan pengasuh utama tetap terbentuk dan anak-anak tersebut memiliki emosional yang sehat karena memiliki banyak pengasuh. Suku Efe memiliki keluarga yang besar dimana keluarga tersebut merupakan bagian yang permanen dalam pertumbuhan dan kehidupan anak-anak Efe (Tronick, Morelli, dan Ivey dalam Matsumoto dan Juang, 2008).
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Miyake dalam matsumoto dan Juang (2008), mengemukakan bahwa tidak ada jenis kelekatan avoidant di Jepang. Sedangkan di Amerika, kelekatan di karakterisasikan sebagai rasa aman (Secure). Terdapat beberapa penelitian yang mengungkapkan adanya hubungan antara temprament dan attachment. Penelitian ini mengukur besarnya rasa kesal atau marah yang timbul pada bayi ketika tidak diberi ASI. Mereka kemudian menggolongkan tangisan bayi berdasarkan suaranya, apakah suara tangisannya lembut (durasinya singkat, cepat diam dan tenang kembali) atau penuh upaya (suaranya serak, wajah dan vocalnya tidak beraturan). Mereka menemukan bahwa tangisan pada hari pertama dan kelima setelah mereka lahir, memprediksikan pola kelekatan 1 tahun kemudian, tangisan yang lembut diasosiasikan dengan kelekatan yang penuh rasa aman, sedangkan tangisan yang penuh upaya diasosiasikan dengan kelekatan yang tidak menimbulkan rasa aman atau bertentangan (seperti di Jepang). Namun juga banyak para peneliti yang tidak menemukan adanya hubungan antara tempramen dengan kelekatan. Hal tersebut masih sangat kontroversial karena belum ada penelitian yang akurat mengenai hal tersebut.


 
“Every View that becomes extinct, every culture that disappears, diminishes a possibility of life.” -Schonpflug-




 

Daftar Referensi

Sumber Buku:

Matsumoto, David dan Linda Juang. 2008. Culture and Psychology. USA: Wadsworth

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Sumber Jurnal:

Schlegel, Alice. 2011. Human Development and Cultural Transmission. http://www.schweizerbart.de/resources/downloads/paper_previews/76253.pdf. Diakses tanggal  5 oktober 2012

Sumber E-book:


Sumber Web:

Setyawan, Fendik. 2012. Kajian Antropologi Teknologi Pendidikan: Kasus Transmisi Budaya Belajar. http://www.imadiklus.com/2012/04/kajian-antropologi-teknologi-pendidikan-kasus-transmisi-budaya-belajar.html. Diakses tanggal 6 Oktober 2012
Anonim. 2008. Pengaruh Kebudayaan terhadap Pendidikan. http://dc440.4shared.com/doc/HWxKntmN/preview.html. Diakses tanggal 6 Oktober
Anonim. 2012. Komunikasi Antar Budaya. http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya. Diakses tanggal 6 Oktober 2012



Senin, 08 Oktober 2012

Pengertian dan Tujuan Psikologi Lintas Budaya serta Hubungannya dengan Disiplin Ilmu Lain



A.  Pengertian Psikologi Lintas Budaya dan Dampaknya terhadap Kebenaran-Kebenaran Psikologis

Psikologi Lintas Budaya merupakan salah satu cabang psikologi yang menaruh perhatian pada pengujian batas-batas pengetahuan dengan mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda. Menurut Matsumoto (2004), dalam pengertian yang paling sempit, penelitian lintas budaya adalah dilibatkannya partisipan dari latar belakang budaya yang berbeda dan pengujian terhadap kemungkinan terhadap adanya perbedaan antar para partisipan tersebut. Dalam pengertiannya yang lebih luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman apakah kebenaran dan prinsip psikologis bersifat universal (berlaku bagi semua orang di semua budaya) atau khas budaya (culture specific, berlaku bagi orang-orang tertentu dalam budaya-budaya tertentu). Psikologi lintas-budaya adalah cabang dari psikologi yang melihat bagaimana faktor-faktor budaya mempengaruhi perilaku manusia. The International Association of Cross-Cultural Psychology (IACCP) yang didirikan pada tahun 1972, menjadi lembaga yang terus tumbuh dan berkembang sejak saat itu. Psikologi lintas budaya tidak terbatas pada topik-topik tertentu saja, dengan kata lain, ahli psikologi lintas budaya tertarik pada beragam fenomena, dari persepsi sampai bahasa, dari pengasuhan anak sampai psikopatologi. Dengan demikian, yang membedakan psikologi lintas budaya dengan psikologi “tradisional” atau “mainstream” bukanlah pada fenomena yang diperhatikan, tetapi lebih kepada pengujian apakah suatu pengetahuan dapat diterapkan pada berbagai orang dengan latar belakang budaya yang berbeda (Matsumoto, 2004). Dengan begitu, para ahli psikologi dapat menerapkan teknik-teknik lintas budaya untuk menguji keuniversalan atau kekhasan budaya (cultural specifity) pada semua aspek perilaku manusia.
Menurut para ahli, pengertian psikologi lintas budaya meliputi :
Ecksenberger (1972)
Mengatakan bahwa penelitian lintas budaya dalam psikologi adalah perbandingan variabel psikologis secara sistematis dan jelas dalam kondisi budaya yang berbeda dalam rangka untuk menentukan pendahulu dan proses yang menengahi munculnya perbedaan perilaku.

Brislin, Lonner, Thorndike (1973)
Mengatakan bahwa Psikologi Lintas Budaya adalah studi empiris mengenai anggota berbagai kelompok budaya yang telah memiliki perbedaan pengalaman yang mengarah pada tanda dan perilaku berbeda yang dapat diprediksi. Mayoritas penelitian yang dilakukan adalah penelitian pada kelompok yang berbicara dengan bahasa yang berbeda dan diatur oleh unit politik yang berbeda.

Matsumoto (2004)
Mengatakan bahwa penelitian tentang psikologi lintas budaya adalah berbagai macam tipe penelitian tentang perilaku manusia yang memperbandingkan antara dua atau lebih budaya yg ada.

Berry (1992)
Mengatakan bahwa Psikologi Lintas Budaya adalah studi tentang persamaan dan perbedaan fungsi psikologis individu dalam berbagai budaya dan kelompok etnis, serta hubungan antara variabel psikologis dan budaya sosial, ekologi, variabel biologi, serta perubahan variabel-variabel tersebut. Psikologi lintas budaya berkutat dengan kajian sistematis mengenai peilaku dan pengalaman, sebagaimana pengalaman itu terjadi dalam budaya berbeda yang dipengaruhi budaya yang bersangkutan.

       Segall, Dasen, dan Poortinga (1990)
Mengatakan bahwa Psikologi Lintas Budaya adalah kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan penyebarannya, skaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial budaya. Definisi ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok yaitu, keragaman perilaku manusia didunia dan kaitannya antara perilaku individu dengan konteks budaya.
            Dengan begitu dapat disimpulkan, Psikologi Lintas Budaya adalah suatu cabang dari ilmu psikologi yang mempelajari dan menelaah setiap perilaku manusia dalam budaya yang berbeda-beda sehingga diperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai perbedaan dan persamaan perilaku, pikiran, dan emosi setiap manusia dalam budaya yang berbeda.

B.  Definisi Budaya

Budaya adalah sebuah konsep yang cukup sulit didefinisikan secara formal. Menurut (Barnouw dalam Matsumoto,2004) budaya adalah sekumpulan sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki bersama oleh sekelompok orang, yang dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya lewat bahasa atau beberapa sarana komunikasi lain. Definisi budaya menurut tokoh tersebut bersifat “kabur”, artinya tidak ada aturan yang baku dan ketat untuk menentukan siapa-siapa dan bagaimana orang-orang yang termasuk dalam budaya tersebut. Jadi dalam pengertian budaya di atas, bukan berarti orang dengan bangsa indonesia, misalnya, harus menganut budaya indonesia (yang lebih dikenal dengan budaya timur). Tidak menutup kemungkinan orang yang tinggal dan hidup di indonesia tetapi menganut sikap, nilai dan keyakinan-keyakinan dari negeri barat.
Budaya tidak harus berakar dalam biologi. Dengan kata lain, budaya tidak sama dengan ras. Memang benar bahwa orang-orang dengan warisan ras yang sama secara umum mengalami proses sosialisasi yang sama, dan enkulturisasi dengan cara yang mirip. Namun juga benar bahwa ras tidak harus berkorespondensi satu lawan satu dengan budaya. Terlahir dalam suatu ras (bangsa) tertentu tidak berarti harus mengadopsi budaya yang secara stereotip tipikal khas ras tersebut.
Budaya juga bukan kebangsaan (nasionalitas). Bila seseorang berasal dari korea, misalnya, belum tentu ia akan bertindak sesuai dengan budaya dominan korea atau sesuai dengan stereotip orang korea. Seperti halnya budaya tidak harus sesuai dengan ras atau stereotip-stereotip rasial, budaya juga tidak harus sesuai dengan kebangsaan atau kewarganegaraan. Dalam pengertian ini, budaya merupakan suatu konstruk individual-psikologis sekaligus suatu konstruk sosial-makro. Artinya, sampai batas tertentu, budaya ada di dalam masing-masing diri kita secara individual sekaligus ada sebagai konstruk sosial-global.

C.  Ruang Lingkup dan Kajian Psikologi Lintas Budaya

Ruang lingkup psikologi lintas budaya, meliputi penelaahan terhadap perbedaan dan persamaan perilaku, pikiran, dan emosi masyarakat dalam suatu etnis tertentu dalam konteks budaya. Sebagai contoh, menelaah perbedaan perilaku dalam suatu kelompok etnis dengan kelompok etnis lainnya, misalnya, suku dayak dengan suku badui. Sedangkan kajian psikologi lintas budaya menurut Matsumoto (2004), terdiri dari:
1.      Pewarisan dan perkembangan Budaya
2.      Budaya dan Diri
3.      Persepsi (Pengaruh Budaya terhadap Persepi)
4.      Kognisi dan Perkembangannya
5.      Psikologi Perkembangan
6.      Bahasa
7.      Emosi
8.      Psikologi Abnormal
9.      Psikologi Sosial

D.  Tujuan Psikologi Lintas Budaya

Tujuan dari psikologi lintas-budaya adalah untuk mengetahui, membedakan dan memperoleh pemahaman mengenai fungsi psikologis (seperti, pikiran, emosi, dan perilaku individu) dalam berbagai etnis dan budaya. Hal tersebut mencakup pengetahuan mengenai apa saja perilaku yang bersifat universal (berlaku sama dalam semua budaya di dunia, bersifat lintas budaya) dan apa saja perilaku yang bersifat spesifik (hanya berlaku dalam suatu budaya tertentu). Selain itu juga untuk melihat dan mengidentifikasi dampak yang ditimbulkan budaya terhadap perilaku, pikiran dan emosi tesebut. Secara garis besar, adanya psikologi lintas budaya adalah untuk menguji apakah suatu pengetahuan dapat diterapkan pada berbagai orang dengan latar belakang budaya yang berbeda.

E.   Etik, Emik, Etnosentrisme dan Stereotip

Etik dan emik adalah kedua istilah yang sangat terkait dengan keuniversalan atau kekhasan budaya pengetahuan dan kebenaran. Etik mengacu pada temuan-temuan yang tampak konsisten atau tetap di berbagai budaya, dengan kata lain sebuah etik mengacu pada kebenaran atau prinsip yang universal. Emik sebaliknya, mengacu pada temuan-temuan yang tampak berbeda untuk budaya yang berbeda, dengan demikian emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas budaya (specific culture). Jika kita mengetahui sesuatu tentang perilaku manusia dan menganggapnya sebagai kebenaran, dan hal itu adalah suatu etik (universal), maka kebenaran tersebut adalah kebenaran bagi semua orang dari budaya apapun. Kemudian jika yang kita ketahui tetang perilaku manusia ternyata adalah suatu emik (bersifat khas budaya), maka apa yang kita anggap kebenaran tersebut belum tentu merupakan kebenaran bagi orang dari budaya lain. Kebenaran dalam hal ini adalah hal yang relatif bukan absolut.
Terdapat banyak contoh etik dan emik dalam psikologi lintas budaya. Bahkan mungkin bisa dikatakan bahwa tujuan utama psikologi lintas budaya sebagai sebuah disiplin adalah untuk memeriksa mana aspek perilaku manusia yang merupakan etik dan mana yang merupakan emik. Secara umum, sebagian besar ahli psikologi lintas budaya sepakat bahwa jumlah emik sama dengan, atau bahkan lebih banyak dari etik. Artinya, orang dari budaya yang berbeda menemukan cara yang berbeda dalam kebanyakan aspek perilaku manusia. Setiap budaya berevolusi dengan cara khasnya masing-masing untuk menangani perilaku manusia dengan gaya yang paling efisien dan sesuai agar sukses bertahan hidup. Cara-cara ini akan berbeda tergantung pada kepadatan penduduk, ketersedian makanan dan sumber-sumber lain, dst.
Adanya banyak emik, atau perbedaan kultural bukan sesuatu yang problematis. Namun, permasalahan secara potensial akan muncul ketika kita mencoba menafsirkan alasan yang mendasari atau yang menyebabkan adanya berbagai perbedaan itu. Hal itu terjadi karena setiap orang memiliki budaya yang berbeda-beda, untuk itu kita cenderung melihat sesuatu dari kacamata latar belakang budaya kita sendiri. Tidak jarang jika kita sering menarik kesimpulan mengenai perilaku orang lain berdasarkan keyakinan atau budaya kita. Maka dari itu penafsiran kita tentang perilaku orang lain dapat sangat melenceng jauh. Sebagai contoh ketika kita sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita dari suatu budaya lain. Kemudian wanita itu tidak melakukan kontak mata dengan kita ketika sedang berbicara. Ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya bila antar mata saling bertemu pandang. Jika dipandang dari budaya barat, mungkin wanita tersebut merasa tidak nyaman dengan kita. Namun wanita tersebut bisa saja berasal dari sebuah budaya dimana orang tidak dianjurkan untuk menatap/memandang secara langsung, karena itu dianggap sebagai tanda keangkuhan atau penghinaan.
Terkadang kita tidak bisa memisahkan diri kita dari latar belakang dan bias-bias budaya kita sendiri dalam memahami perilaku orang lain. Hal ini disebut sebagai etnosentrisme. Etnosentrisme berkaitan erat dengan stereotip, yaitu sikap, keyakinan, atau pendapat yang baku tentang orang-orang yang berasal dari budaya lain (Matsumoto,1994).

Hubungan Psikologi Lintas Budaya dengan Disiplin Ilmu Lain
Adanya hubungan dengan disiplin ilmu lainnya membuat psikologi lintas budaya menjadi lebih kaya akan ilmu, lebih luas, lebih fleksibel, lebih berkembang dan tidak bersifat statis dalam mempelajari perilaku manusia dalam konteks budaya yang beragam. Berikut disajikan hubungan berbagai disiplin ilmu lainnya terhadap psikologi lintas budaya.   

·      Psikologi Lintas Budaya dengan Kepribadian

Pada ranah individual, budaya diawali ketika individu-individu bertemu untuk membangun kehidupan bersama dimana individu-individu tersebut memiliki keunikan masing-masing dan saling memberikan pengaruh. Ketika budaya sudah terbentuk, setiap individu merupakan agen-agen budaya yang memberi keunikan, membawa perubahan, sekaligus penyebar. Individu-individu membawa budayanya pada setiap tempat dan situasi kehidupannya sekaligus mengamati dan belajar budaya lain dari individu-individu lain yang berinteraksi dengannya. Dari sini terlihat bahwa budaya sangat mempengaruhi perilaku individu. Kajian lintas budaya merupakan pendekatan yang digunakan oleh ilmuan sosial dalam mengevaluasi budaya-budaya yang berbeda dalam dimensi tertentu dari kebudayaan.  Salah satu tokoh psikologi, Kurt Lewin, menjelaskan mengenai peranan penting hubungan pribadi dengan lingkungan.  Meksipun terdapat konstruk psikologis individu yang sulit ditembus oleh lingkungan luar, lingkungan masih tetap memiliki kontribusi dalam perkembangan individu.  Dalam teori Medan yang digagas Lewin ini, pribadi tak dapat dipikirkan secara terpisah dari lingkungannya. Sedangkan Kelly mendefinisikan budaya sebagai bagian yang terlibat dalam proses harapan-harapan yang dipelajari/dialami. Orang-orang yang memiliki kelompok budaya yang sama akan mengembangkan cara-cara tertentu dalam mengonstruk peristiwa-peristiwa, dan mereka pun akan mengembangkan jenis-jenis harapan yang sama mengenai jenis-jenis perilaku tertentu. Terdapat suatu benang merah antara pendapat Lewin dan Kelly. Individu senantiasa bersinggungan dengan dunianya (lingkungan).  Sementara itu, sebagai masyarakat dunia, manusia mungkin saja mengembangkan kebudayaan yang hampir sama antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
Jika diamati, saat ini manusia sering kali menghadapi permasalahan yang disebabkan oleh budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya buruk mempengaruhi kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya berbagai masalah yang tidak di inginkan akan terjadi secara terus-menerus.  Sebagai contoh, ketika budaya berpakaian minim bagi kaum perempuan masuk ke Indonesia, muncul berbagai perdebatan.
Hal pertama yang menjadi perhatian dalam studi lintas budaya dan kepribadian adalah perbedaan diantara keberagaman budaya dalam memberi definisi kepribadian. Dalam literatur-literatur Amerika umumnya, kepribadian dipertimbangkan sebagai perilaku, kognitif dan predisposisi yang relatif abadi. Definisi lain menyatakan bahwa kepribadian adalah serangkaian karakteristik pemikiran, perasaan dan perilaku yang berbeda antara individu dan cenderung konsisten dalam setiap waktu dan kondisi. Ada dua aspek dalam definisi ini, yaitu kekhususan (distinctiveness) serta stablilitas dan konsistensi (stability and consistency). Semua definisi di atas menggambarkan bahwa kepribadian didasarkan pada stabilitas dan konsistensi di setiap konteks, situasi dan interaksi. Dalam budaya timur, asumsi stabilitas kepribadian sangatlah sulit diterima. Budaya timur melihat bahwa kepribadian adalah kontekstual (contextualization). Kepribadian bersifat lentur yang menyesuaikan dengan budaya dimana individu berada. Kepribadian cenderung berubah, menyesuaikan dengan konteks dan situasi.

Budaya dan Perkembangan Kepribadian
Kepribadian manusia selalu berubah sepanjang hidupnya menuju arah karakter yang lebih jelas dan matang. Perubahan-perubahan tersebut yang mempengaruhi lingkungan dengan fungsi–fungsi bawaan sebagai dasarnya. Stern menyebutnya sebagai Rubber Band Hypothesis (Hipotesa Ban Karet). Seseorang diumpamakan sebagai ban karet dimana faktor-faktor genetik menentukan sampai mana ban karet tersebut dapat ditarik (direntangkan) dan faktor lingkungan menentukan sampai seberapa panjang ban karet tersebut akan ditarik atau direntangkan. Dari hipotesa di atas dapat disimpulkan bahwa budaya memberi pengaruh pada perkembangan kepribadian seseorang. Perubahan-perubahan yang terjadi pada seorang anak yang tinggal bersama orangtua ketika beranjak dewasa tentunya sangat berbeda dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada anak yang tinggal di panti asuhan. Selain itu, perkembangan kepribadian seseorang dipengaruhi pula oleh semakin bertambahnya usia seseorang. Semakin bertambah tua seseorang, tampak semakin pasif, motivasi berprestasi dan kebutuhan otonomi semakin turun, dan locus of control dirinya semakin mengarah keluar (eksternal).

Psikologi Indigenous dan Budaya
    Suatu kenyataan merangsang perlunya kajian-kajian yang bersifat lokal atau indigenous personality yang mampu memberi penjelasan mengenai kepribadian individu dari suatu budaya secara mendalam. Indigenous Personality merupakan konseptualisasi mengenai kepribadian yang dikembangkan dalam sebuah budaya tertentu dan relevan hanya pada budaya tersebut.Sebagai contoh kajian indigenous personality adalah penelitian yang dilakukan Doi (1973). Doi mengemukakan  "Amae" yang dikatakan sebagai inti konsep dari kepribadian orang-orang Jepang. Amae berakar pada kata ‘manis’, dan secara perlahan dirujukkan sebagai sifat pasif, ketergantungan antar individu. Dipaparkan pula bahwa Amae berakar pada hubungan antara bayi dengan ibunya. Menurut Doi, hubungan seluruh orang Jepang dipengaruhi dan berkarakteristik  Amae, sebagaimana Amae ini secara mendasar mempengaruhi budaya dan kepribadian orang Jepang. Suatu konsep yang memandang kepribadian sebagai bagian tak terpisahkan dari konsep hubungan sosial.
Temuan mengenai Amae di atas menunjukkan adanya perbedaan konsep kepribadian antara orang Jepang dan orang Amerika. Para Psikolog Amerika memandang bahwa yang menjadi inti kepribadian adalah konsep Ego. Ego disebut ekslusif kepribadian karena Ego mengontrol pintu-pintu kearah tindakan, memilih segi-segi lingkungan kemana ia dan bagaimana caranya, serta memiliki kuasa mengontrol proses-proses kognitif berupa persepsi, memori dan berpikir. Tujuan terpenting dari Ego adalah mempertahankan kehidupan individu. Konsep yang memandang kepribadian sebagai suatu yang bersifat otonom.

·      Psikologi Lintas Budaya dengan Psikologi Indigenous

Psikologi Indigenous sangat berkaitan erat dengan pengaplikasian teori psikologi barat ke dalam psikologi timur. Membahas Psikologi Indigenous maka berarti juga akan berbicara mengenai perkembagan ilmu psikologi itu sendiri, kemudian mengarah kepada budaya orang setempat, dan terakhir penelitian psikologi. Di satu sisi psikologi barat memang dibutuhkan, namun di lain pihak karakteristik kultural budaya setempat juga mulai mendapatkan perhatian. Artinya, untuk memahami perilaku manusia di belahan bumi lain harus digunakan basis kultur dimana manusia itu hidup. Selain itu, diperlukan juga adanya integrasi antara perspektif barat dan timur untuk mencari kesamaan-kesamaan dan atau menjawab permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat setempat.
Kuang-Kuo Hwang (2004) dalam artikelnya berjudul “The epistemological goal of indigenous psychology: The perspective of constructive realism,” Psikologi Indigenous muncul pertama kali pada tahun 1970an di kawasan Asia. Pada waktu itu, banyak psikolog di negara non-barat yang mengadopsi konsep-konsep dan metodologi penelitian yang berkembang di barat untuk diaplikasikan di tempat asal mereka. Namun, setelah diterapkan di tempat asal, ditemukan adanya ketidakrelevanan antara konsep barat dengan bahasan psikologi masyarakat di bagian timur. Konsep dan metodologi penelitian dari barat juga tidak mampu dalam memecahkan permasalahan yang tengah dihadapi oleh masyarakat setempat dalam kehidupan sehari-harinya. Sehingga, kemudian muncul Psikologi Indigenous sebagai jawaban atas keprihatinan para psikologi non-barat.

·      Psikologi Lintas Budaya dengan Antropologi

Ilmu antropologi menekankan pada pengertian tentang manusia dengan mempelajari aneka warna kulit, bentuk fisik, kepribadian masyarakat serta kebudayaannya. Kaitannya dengan psikologi lintas budaya yaitu bagaimana manusia dapat memahami adanya perbedaan aneka warna kulit, bentuk fisik, dan kepribadian antara sesama manusia sehingga manusia  itu dapat menyesuaikan perilakunya dengan berbagai kebudayaan lainnya. Dengan begitu, manusia dapat berelasi baik dan harmonis dengan manusia lainnya yang memiliki budaya berbeda.

·      Psikologi Lintas Budaya dengan Sosiologi

Sosiologi sendiri berasal dari bahasa latin, yaitu Socius yang berarti kawan atau teman dan Logos yang berarti ilmu pengetahuan. Sosiologi bisa diartikan sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat, “ Cours De Philosophie Positive” karangan August Comte (1798-1857). Menurut Allan Jhonson, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut mempengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat didalamnya mempengaruhi sistem tersebut. Definisi lain mengenai sosiologi dikemukakan oleh Emile Durkheim, sosiologi dalam definisinya adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta-fakta sosial, yakni fakta yang mengandung cara bertindak, berpikir, berperasaan yang berada di luar individu di mana fakta-fakta tersebut memiliki kekuatan untuk mengendalikan individu.
Dari penjelasan-penjelasan tersebut, terlihat jelas adanya keterkaitan yang erat antara psikologi lintas budaya dengan ilmu sosiologi, pada dasarnya kedua-duanya memiliki fokus yang tidak berbeda jauh, yaitu manusia secara individu dan kelompok serta interaksi yang terjadi di dalamnya. Dari interaksi itulah timbul sikap saling mempengaruhi antara satu dan yang lainnya, yang lambat laun akan menghasilkan budaya-budaya unik berdasar pada kebiasaan ataupun pola hidup yang secara terus-menerus dijalani sekelompok individu bersama-sama.





Sumber Referensi:
Matsumoto, David. 2004. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Matsumoto, David dan Linda Juang. 2004. Culture and Psychology. Canada:Wadsworth