Rabu, 21 Maret 2012

Hubungan Perilaku Agresif dengan Kesehatan Mental


Ilustrasi Kasus
Terdapat suatu kelompok teman bermain yang rata-rata berusia sama yaitu 14 tahun. Salah satu anak yang bernama Denny selalu menjadi kambing hitam dari kelompok tersebut. Apa pun yang dikatakan dan dilakukannya selalu diejek dan ia selalu menerima hal yang terburuk. Denny adalah korban dari lelucon, komentar sarkastis atau bahkan lebih buruk. Jika ada trik yang ingin dimainkan, Denny selalu menjadi alat percobaan terlebih dahulu. Ketika kelompok tersebut memilih teman untuk bertanding baseball, bola basket dan sepak bola, ia selalu terakhir dipilih. Parahnya lagi, tim yang mendapatkan Denny sebagai anggota mengeluh panjang dan keras karena merasa telah mendapatkan pecundang. Sampai pada suatu hari salah satu anggota dari kelompok tersebut, Radit, mengendarai sepeda untuk pulang ke rumah dan mengambil jalan pintas melewati taman. Tak sengaja, Di balik sebuah pohon Radit melihat Denny yang menangis tersedu-sedu sambil memukulkan kepalanya pada batang pohon tersebut. Radit pun turun dari sepeda dan bertanya “Apa yang sedang kau lakukan?” Denny berbalik, dan dengan segera terlihat penderitaan, frustasi dan kepedihannya. Radit terus mencoba membujuk Denny agar ia mau menjelaskan apa yang menganggunya, hingga akhirnya dia menjelaskan bahwa dia capek dan lelah karena ditolak dan dipermalukan terus menerus oleh teman-temannya.
  
Agresi adalah kata yang sudah tidak asing lagi ditelinga kita. Robert A Baron dan Donn Byrne dalam buku Psikologi Sosial 2 mengatakan bahwa agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan dengan tujuan untuk menyakiti makhluk hidup lain. Agresi dapat dibagi menjadi verbal maupun fisik. Agresi yang bersifat verbal dapat berupa perkataan kasar atau perkataan yang memalukan serta merugikan orang lain. Sedangkan agresi dalam bentuk fisik seperti pembunuhan, perampokan,dsb. Agresi bukanlah hal yang jarang terjadi melainkan sering kali muncul dalam bentuk yang lebih mematikan daripada keisengan masa kecil seperti ilustrasi kasus diatas. Masih ingatkah anda tentang apakah konsep sehat itu? Sehat adalah Keadaan berperilaku yang baik atau sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup beraktifitas dan berproduktif secara sosial dan ekonomis dalam lingkungan dan kehidupan sehari-hari. Dari konsep sehat tersebut maka dapat dianalisis bahwa ilustrasi kasus diatas menunjukkan pribadi-pribadi yang tidak sehat. Mengapa? Karena perilaku anak-anak dari kelompok itu buruk dan tidak baik. Aktifitas yang mereka lakukan tidak produktif baik secara sosial maupun ekonomis dalam kehidupan sehari-hari. Mereka melakukan aktifitas yang justru merugikan dan menyakiti orang lain.
Seseorang yang memiliki fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan hidup yang satu sama lain saling harmonis adalah orang yang dikatakan sehat mentalnya/jiwanya/psikisnya. Dari ilustrasi kasus diatas dapat disimpulkan bahwa kelompok anak-anak tersebut mempunyai mental yang tidak tersinkronisasi dengan baik. Mengapa? Karena antara fungsi-fungsi jiwa yaitu pikiran, perasaan, sikap satu sama lain belum berkembang secara sempurna (matang). Anak-anak tersebut hanya memikirkan kesenangan untuk diri mereka saja dengan memperlakukan Denny sebagai mainan percobaan dan korban ejekan. Mental yang tidak harmonis dalam ilustrasi kasus diatas bukan berarti bahwa anak-anak tersebut memiliki gangguan mental, mental mereka hanya belum terbentuk dengan matang. Perasaan mereka belum berkembang secara kompleks sehingga mereka belum peka, belum terbentuk perasaan empati dan simpati terhadap sesama. Pikiran mereka masih bersifat egosentris sehingga fokus pada kesenangan dirinya dan tidak memperhatikan orang lain. Pikiran dan perasaan yang belum matang inilah tercermin menjadi suatu sikap agresif seperti ilustrasi kasus diatas.
Jika kita lihat dari posisi Denny betapa sedihnya ia ditolak oleh teman-teman sekelompoknya. Bagaimana kesehatan mental pada dirinya? Kesehatan mental terkait dengan bagaimana kita memikirkan, merasakan dan menjalani kehidupan sehari-hari. Bagaimana kita memandang diri sendiri dan orang lain dan bagaimana kita mengambil keputusan. Untuk itu kesehatan mental sangat berkaitan dengan konsep diri. Jika kita lihat dari posisi denny, ia mungkin menjalani kehidupan dengan cukup berat, tidak nyaman, tidak bahagia dan putus asa. Diterimanya diri dalam suatu kelompok merupakan hal yang sangat penting bagi anak seusia Denny. Perasaan diterima dan dianggap dalam kelompok adalah hal yang cukup sensitif diusianya. Anak-anak remaja biasanya sampai melakukan konformitas agar dapat diterima dan dianggap oleh teman-temannya. Lalu bagaimana dengan kasus Denny yang ditolak oleh teman sekelompoknya secara terang-terangan? Memiliki perasaan ditolak maupun tidak diterima akan membuat konsep diri seseorang menjadi negatif. Konsep diri yang negatif akan membuat self esteem seseorang juga menjadi rendah.
Banyak para ahli yang mengatakan bahwa konsep diri adalah akar dari semua penyakit psikologis (penyakit mental). Orang yang memiliki konsep diri positif, juga akan memiliki emosi yang positif sehingga dapat melihat hidup dengan lebih baik. Sebaliknya orang yang memiliki konsep diri yang negative, juga akan memiliki emosi yang negatif sehingga melihat hidup dengan penuh penderitaan. Konsep diri terbentuk dari fisik, psikologis, sosial dan moral/spiritual. Konsep diri dipengaruhi oleh bagaimana penilaian diri kita sendiri terhadap diri (self), bagaimana penilaian orang lain terhadap diri (self) dan bagaimana kita melihat/mempersepsikan pandangan orang lain terhadap diri kita. Self knowledge adalah seberapakah kita memahami diri kita sendiri. Wiliam James mengemukakan mengenai dualitas persepsi yaitu The Known (aku yang diketahui) dan The Knower (aku yang mengetahui). The Known adalah berupa konsep diri yaitu pengetahuan mengenai siapakah diri kita, sedangkan The Knower adalah self awareness yaitu tindakan berfikir mengenai diri. Kesehatan mental seseorang sangat dipengaruhi oleh self knowledge orang tersebut.
          Kembali pada topik mengenai agresi diatas, mengapa manusia melakukan hal-hal yang menyakiti orang lain? Apa yang menyebabkan manusia berperilaku seprti itu? Apakah agresi bersifat bawaan (nature) atau nurture? Mungkin beberapa teori yang membahas mengenai perkembangan kepribadian seseorang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Teori yang paling awal dan klasik adalah teori psikoanalisa oleh Sigmund Freud. Pada penelitian awal mengenai perilaku agresif, Freud (1930-1963) percaya bahwa agresif adalah bagian dari sifat dasar manusia yang innate, independent, dan instinctive. Menurutnya, agresif adalah salah satu naluri dasar manusia yaitu naluri untuk mati (thanatos/death instinct) yang bertujuan untuk mempertahankan jenisnya (survival). Insting/naluri menurut Freud dibedakan menjadi 2, yaitu insting untuk hidup (libido) dan insting untuk mati (thanatos). Bentuk dari thanatos/death instinct ini adalah naluri agresif yang menyebabkan seseorang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah. Sedangkan insting untuk hidup berupa makan, minum dan sex.
Menurut freud struktur kepribadian terdiri dari id, ego, dan superego. Id merupakan libido murni atau energi psikis yang bersifat irasional. Id merupakan sebuah keinginan yang dituntun oleh prinsip kenikmatan (pleasure principle) dan berusaha untuk memuaskan kebutuhannya dengan segera. Ego merupakan sebuah pengatur agar id dapat dipuaskan atau disalurkan dalam lingkungan sosial. Sistem kerjanya pada lingkungan adalah menilai realita untuk mengatur dorongan-dorongan id agar tidak melanggar nilai-nilai superego. Sedangkan Superego sendiri adalah bagian moral dari kepribadian manusia, karena ia merupakan nilai baik buruk, salah benar, dan boleh tidaknya sesuatu yang dilakukan oleh dorongan id. Pada ilustrasi kasus diatas kelompok anak-anak yang melakukan tindakan agresi memiliki superego yang lemah, ego tidak dapat menyesuaikan diri antara id dengan nilai-nilai moral (superego) sehingga superego dalam kasus ini kalah sedangkan id yang bersifat instingtif mendominasi. Superego yang lemah dapat disebabkan karena kurangnya penanaman nilai-nilai moral oleh orang tua kepada anak. Semestinya orang tua mengajarkan mana yang boleh dilakukan (ego ideal) dan mana yang tidak boleh dilakukan (conscience).
Pandangan serupa juga diajukan oleh Konrad Lorenz, ilmuwan pemenang hadiah nobel. Menurut Lorenz (1974), perilaku agresif terutama berasal dari insting berkelahi (fighting instinct) yang diwariskan (inherited) untuk memastikan bahwa hanya pria yang terkuat yang akan mendapatkan pasangan dan mewariskan gen mereka pada generasi berikutnya.
Di sisi yang lain, kritik banyak bermunculan mengenai perilaku agresif yang menurut aliran psikoanalisa dianggap bersifat bawaan (nature). Kelompok pendukung nurture mengemukakan bahwa teori psikoanalis belum dapat menjelaskan dengan tepat pengaruh faktor disposisi/kepribadian terhadap perilaku agresif. Kekurangan dari teori ini adalah tidak memperhatikan keanekaragaman yang terdapat pada tiap individu yang disebabkan oleh faktor lingkungan. Jika perilaku agresif memang disebabkan oleh faktor bawaan (misal: naluri, gen), seharusnya perilaku agresif tersebut sama untuk setiap orang yang memiliki naluri atau gen tersebut kapan saja dan dimana saja. Pada kenyataannya, frekuensi dan cara tiap individu dalam mengekspresikan agresifitasnya berbeda-beda tergantung lingkungan tempat ia tinggal.
Melihat banyaknya kritik yang bermunculan, para ahli psikologi lainnya berusaha untuk menjelaskan perilaku agresif dari sudut pandang yang berbeda yaitu berdasarkan faktor situasional (nurture). Salah satu teori yang muncul adalah teori social learning perspective ( Bandura, 1997) yang berawal dari sebuah ide bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya (Anderson & Bushman, 2001; Bushman & Anderson, 2002). Dengan demikian, berdasarkan pengalaman masa lalu mereka dan kebudayaan dimana mereka tinggal, individu mempelajari: (1) berbagai cara untuk menyakiti manusia yang lain, (2) kelompok mana yang tepat untuk target agresi, (3) tindakan apa yang dibenarkan sebagai tindakan balas dendam, (4) situasi atau konteks apa yang mengizinkan seseorang untuk berperilaku agresif. Singkatnya, teori social learning perspective berusaha menjelaskan bahwa kecenderungan seseorang untuk berperilaku agresif tergantung pada banyak faktor situasional (lingkungan), yaitu: pengalaman masa lalu orang tersebut, rewards (imbalan) yang diasosiasikan dengan tindakan agresif pada masa lalu atau saat ini, dan sikap serta nilai yang membentuk pemikiran orang tersebut mengenai perilaku agresif.
Perilaku agresif dalam kasus diatas jika dilihat dari sudut pandang behavioristik yang lebih menekankan pada konsekuensi, mungkin perasaan senang dan puas ketika mengejek temannya (Denny) adalah konsekuensi (reward) yang mereka dapatkan. Menurut aliran behavioristik, hal-hal yang menghasilkan kesenangan dan kenikmatan akan cenderung dilakukan berulang-ulang. Dalam kasus ini, perasaan senang dan puas yang didapat setelah mengejek, yang membuat perilaku agresif tersebut diulang dan diulang kembali. Berbeda lagi jika dilihat dari sudut pandang teori SociaL Learning yang dikemukakan oleh Bandura. Menurut teori Social Learning, perilaku agresif pada kelompok anak tersebut disebabkan karena anak-anak tersebut pernah melihat hal serupa di lingkungan sekitarnya, seperti menonton sinetron yang ada perilaku agresi mengejek di dalam ceritanya, menonton film Smack Down, dan masih banyak lagi. Kemungkinan lainnya yaitu anak-anak tersebut mungkin pernah mendapatkan pengalaman diejek sehingga pada akhirnya ditiru dan diterapkan kepada temannya yang terlihat lebih lemah.  
Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku agresif:
1. Classical conditioning.
Perilaku agresif terjadi karena adanya proses mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: Kelompok pelajar dengan tim GALAU yang sering tawuran dengan kelompok pelajar tim LOOSER akan mengasosiasikan tim LOOSER sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan berperilaku agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat kelompok pelajar tim LOOSER atau orang yang memakai seragam bertuliskan LOOSER.

2. Operant Conditioning.
Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial (dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu temannya karena ia merasa disegani oleh teman-temannya dengan melakukan tindakan agresif tersebut.

3. Modelling (meniru)
Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.

4. Observational Learning
 Perilaku agresif terjadi karena seseorang mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maaupun tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil membanting tubuh temannya setelah menonton acara Smack Down.

5. Social Comparison
 Perilaku agresif terjadi karena seseorang membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai. Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok berandalan jadi ikut-ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya.

6. Learning by Experience.
Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi anak yg agresif (suka berkelahi).

Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, secara logis dapat dikatakan bahwa perilaku agresif itu lebih besar ditimbulkan oleh nurture (lingkungan/faktor situasional). Seperti yang dikemukakan oleh Anderson & Bushman bahwa manusia tidak lahir dengan sejumlah respons-respons agresif tetapi mereka harus memperoleh respons ini dengan cara mengalaminya secara langsung (direct experience) atau dengan mengobservasi tingkah laku manusia lainnya (imitasi). Individu yang tidak mempunyai sifat agresif cenderung akan menampilkan perilaku agresif jika ia telah mempelajarinya dari lingkungannya. Sebaliknya, individu yang mempunyai sifat agresif cenderung tidak akan menampilkan perilaku agresif jika lingkungannya tidak mendukung atau mengajarinya berperilaku agresif. Penyebab perilaku agresif jika ditelaah satu persatu melalui berbagai pandangan teoritis mungkin akan sangat beragam dan lebih luas lagi. Dalam artikel ini perilaku agresif hanya difokuskan oleh 2 pandangan yang saling bertolak belakang yaitu nature (psikoanalisa) dan nurture (behavioristik).


Daftar Pustaka

Handout Psikologi Sosial II: Self Knowledge/M.M. Nilam Widyarini
Baron, R.A., Byrne, D., & Branscombe, N.R. (2006). Social psychology (11th ed.). Boston: Pearson Education, Inc.
Sarwono, S.W. (2002). Psikologi sosial: Individu dan teori-teori psikologi sosial. Jakarta: Balai Pustaka.
Sarwono, S.W. (2002). Berkenalan dengan aliran-aliran dan tokoh-tokoh psikologi. Jakarta: Bulan Bintang.
Wortman, C.B., Loftus, E.F., & Weaver, C. (1999). Psychology (5th ed.). Boston: McGraw-Hill College.
http://www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/01/01/brk,20050101-01,id.html






    

Mungkinkah Kurangnya Cahaya Matahari Berakibat Terganggunya Kesehatan Mental?

Sebelum kita mengulas topik diatas, kita perlu memahami terlebih dahulu bagaimana konsep sehat itu, apa itu kesehatan mental, apa yang membedakan antara orang yang sehat mentalnya dengan orang yang sakit mentalnya, apa saja faktor-faktor yang dapat menyebabkan mental seseorang terganggu. Dari pembahasan mengenai hal-hal tersebut maka kita akan memiliki skema mengenai: bagaimanakah  kesehatan mental yang terganggu dan faktor apa saja yang dapat menyebabkan terganggunya kesehatan mental seseorang.
Konsep sehat
          “Sehat” itulah satu kata yang selalu di dambakan oleh setiap orang. Sehat artinya tidak sakit. Sehat itu bukan hanya dalam hal fisik saja melainkan juga dalam hal emosi, pikiran, sosial dan spiritual. Sehat adalah Keadaan berperilaku yang baik atau sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup beraktifitas dan berproduktif secara sosial dan ekonomis dalam lingkungan dan kehidupan sehari-hari. Jadi, sehat itu tidak hanya terbatas pada fisik saja melainkan pada jiwa dan hubungan social.
Kesehatan Mental
          ”upaya pemeliharaan mental yang sehat dapat mencegah agar mental tidak sakit” itulah yang dikatakan oleh Hadfield. Lalu apakah kesehatan mental itu? Ingatkah anda pepatah zaman Romawi yang mengatakan “Mens Sana In Corpore Sano” (di dalam tubuh yang kuat terdapat jiwa yang sehat)? Kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan fisik, kesehatan mental meliputi upaya-upaya mengatasi stres, berhubungan baik dengan orang lain dan dapat mengambil keputusan dengan tepat. Kesehatan mental terkait dengan bagaimana kita memikirkan, merasakan dan menjalani kehidupan sehari-hari, bagaimana kita memandang diri sendiri dan orang lain, dan bagaimana kita mengevaluasi berbagai alternatif juga mengambil keputusan. Seseorang yang memiliki fungsi-fungsi jiwa seperti pikiran, perasaan, sikap, pandangan dan keyakinan hidup yang satu sama lain saling harmonis adalah orang yang dikatakan sehat mentalnya/jiwanya/psikisnya.

Perbedaan Orang yang mentalnya sehat dengan yang sakit

          Menurut Syamsu Yusuf LN (1987) karakteristik pribadi yang memiliki mental yang sehat adalah sebagai berikut:
1.     Fisik, meliputi:
a.   Perkembangannya normal.
b.  Berfungsi untuk melakukan tugas-tugasnya.
c.   Sehat, tidak ada penyakit secara fisiologis.

2.    Psikis, meliputi:
a.   Menghargai diri sendiri dan orang lain.
b.  Memiliki Insight dan rasa humor.
c.   Memiliki respons emosional yang wajar.
d.  Mampu berpikir realistik dan objektif.
e.  Terhindar dari gangguan-gangguan psikologis.
f.   Bersifat kreatif dan inovatif.
g.  Bersifat terbuka dan fleksibel, tidak defensif.
h.  Memiliki perasaan bebas untuk memilih, menyatakan pendapat dan bertindak.

3.    Sosial, meliputi:
a.   Memiliki perasaan empati dan rasa kasih sayang (affection) terhadap orang lain, serta senang untuk memberikan pertolongan kepada orang-orang yang memerlukan pertolongan (sikap alturis).
b.  Mampu berhubungan dengan orang lain secara sehat, penuh cinta kasih dan persahabatan.
c.   Bersifat toleran dan mau menerima tanpa memandang kelas sosial, tingkat pendidikan, politik, agama, suku, ras, atau warna kulit.

4.    Moral-Religius, meliputi:
a.   Beriman kepada Allah, dan taat mengamalkan ajaran-Nya.
b.  Jujur, amanah (bertanggung jawab), dan ikhlas dalam beramal.

Sedangkan ciri-ciri mental yang tidak sehat adalah sebagai berikut :
·    Perasaan tidak nyaman (inadequacy) 
·    Perasaan tidak aman (insecurity) 
·    Kurang memiliki rasa percaya diri (self-confidence) 
·    Kurang memahami diri (self-understanding) 
·    Kurang mendapat kepuasan dalam berhubungan sosial 
·    Ketidakmatangan emosi 
·    Kepribadiannya terganggu 
·      Mengalami patologi dalam struktur sistem syaraf (thorpe, dalam schneiders, 1964;61).

Sejarah Kesehatan Mental

Kesehatan mental bukanlah suatu hal yang baru bagi peradaban manusia. Perhatian masyarakat mengenai kesehatan mental berkembang pesat setelah Perang Dunia II. Beratus-ratus tahun yang lalu orang-orang menduga bahwa penyebab penyakit mental adalah syaitan-syaitan, roh-roh jahat dan dosa-dosa. Maka dari itu para penderita penyakit mental dimasukkan dalam penjara-penjara bawah tanah atau dihukum dan diikat erat-erat dengan rantai besi yang berat dan kuat. Lambat laun ada usaha-usaha kemanusiaan yang mengadakan perbaikan dalam menanggulangi orang-orang yang terganggu mentalnya, seperti Philippe Pinel dari Perancis, Wiliam Tuke dari Inggris dan Dorothie Dix dari Amerika. Masa-masa Pinel dan Tuke dikenal sebagai masa pra-ilmiah karena hanya usaha dan praksis yang mereka lakukan tanpa adanya teori-teori yang dikemukakan. Kemudian masa selanjutnya adalah masa ilmiah, dimana tidak hanya praksis yang dilakukan tetapi berbagai teori mengenai kesehatan mental dikemukakan.
Dorothea Dix merupakan seorang pionir wanita. Ia berusaha menyembuhkan dan memelihara para penderita penyakit mental dan orang-orang gila. Sangat banyak jasanya dalam memperluas dan memperbaiki kondisi dari 32 rumah sakit jiwa di seluruh negara Amerika bahkan sampai ke Eropa. Atas jasa-jasa besarnya inilah Dix dapat disebut sebagai tokoh besar pada abad ke-19. Tokoh lain yang banyak pula memberikan jasanya pada ranah kesehatan mental adalah Clifford Whittingham Beers (1876-1943). Beers pernah sakit mental dan dirawat selama dua tahun dalam beberapa rumah sakit jiwa. Di dalam bukunya ”A Mind That Found Itself”, Beers tidak hanya melontarkan tuduhan-tuduhan terhadap tindakan-tindakan kejam dan tidak berperikemanusiaan dalam asylum-asylum, tapi juga menyarankan program-program perbaikan yang definitif pada cara pemeliharaan dan cara penyembuhannya. Pengalaman pribadinya itu meyakinkan Beers bahwa penyakit mental itu dapat dicegah dan pada banyak peristiwa dapat disembuhkan pula. Oleh keyakinan ini ia kemudian menyusun suatu program nasional.
Kemudian Adolf Meyer menyarankan agar ”Mental Hygiene” dipopulerkan sebagai satu gerakan kemanusiaan yang baru. Pada tahun 1908 terbentuklah organisasi Connectitude Society for Mental Hygiene. Dan tahun 1909 berdirilah The National Committee for Mental Hygiene, dimana Beers sendiri duduk di dalamnya hingga akhir hayatnya. 

Winter blues

Beberapa jenis gangguan kesehatan mental yang mungkin sering kita dengar adalah autisme, mood disorder (gangguan suasana hati), schizophrenia, retardasi mental dan masih banyak lagi. Dari yang sudah kita bahas sebelumnya dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor umum yang menyebabkan berbagai macam gangguan mental pada umumnya sama namun pencetus utamanya yang berbeda. Jadi apakah benar bahwa kurangnya cahaya matahari dapat menyebabkan gangguan mental? Orang-orang yang bertempat tinggal di daerah yang memiliki 4 musim harus selalu menyesuaikan diri dengan perubahan cuaca.Terutama perubahan dari musim panas ke musim dingin yang terasa sangat tajam perubahannya. Bagi beberapa orang mungkin mudah melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan cuaca tersebut, tapi bagi beberapa orang lainnya mungkin sulit. Daerah-daerah yang terletak jauh dari garis equator memiliki musim panas yang lebih panjang dibandingkan dengan daerah-daerah yang terletak dekat dengan garis equator.
Seiring waktu musim panas berubah menjadi musim gugur lalu musim dingin. Ketika musim dingin datang, beberapa orang merasa terkejut akan perubahan cuaca yang tadinya terang bercahaya menjadi gelap, mendung dan sendu. Beberapa orang yang tidak dapat menyesuaikan diri biasanya mengalami depresi, cemas, dll. Gangguan seperti ini biasanya disebut dengan Seasonal Affective Disorder (SAD). Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV), SAD bukan lagi dikenal sebagai gangguan mood yang unik, tetapi sudah mengarah pada ” a specifier of major depression “. SAD yang biasanya disebut juga sebagai winter depression, winter blues, atau seasonal depression merupakan gangguan suasana hati yang berkaitan dengan depresi dan berhubungan dengan variasi cahaya musiman. Jadi dapat dikatakan bahwa SAD adalah depresi yang disebabkan oleh perubahan cuaca (biasanya perubahan dari musim panas ke musim dingin) yang mempengaruhi suasana hati.
Seasonal Affective Disorder sejak lama tidak diketahui sebagai suatu diagnosa yang resmi. Istilah pertama muncul pada tahun 1985. SAD paling banyak terjadi pada orang-orang yang tinggal sangat jauh dari equator, yaitu pada daerah yang memiliki musim panas sangat panjang dan musim dingin yang pendek. Tingkat keparahan SAD tergantung pada kerentanan seseorang terhadap gangguan dan pada  lokasi geografisnya. Kurang lebih hampir setengah juta orang yang terdiagnosis SAD setiap musim dingin antara September dan April, yang memuncak pada Desember, Januari dan Februari. Tiga dari empat penderita SAD adalah wanita. Wanita lebih cenderung terkena SAD dibandingkan pria. Selain itu orang yang mempunyai riwayat keluarga penderita SAD juga lebih besar kemungkinan menderita SAD. Penderita biasanya berada pada umur 18-30 tahun. Sedangkan umur rata-rata orang yang terkena penyakit ini adalah 23 tahun. Sekitar 6 dari 100 orang mengalami SAD.

Sejarah Munculnya SAD

Penjelasan SAD scara sistematis pertama kali dilaporkan dan dikenal pada awal tahun 1980 oleh Norman E. Rosenthal, MD, dan rekan-rekannya dari the National Institute of Mental Health (NIMH). Rosenthal awalnya dimotivasi oleh keinginannya untuk menemukan penyebab dari pengalamannya sendiri ketika mengalami depresi selama berhari-hari dalam gelap ketika musim dingin di AS utara.  Dia berteori bahwa jumlah cahaya yang lebih rendah pada musim dingin adalah penyebabnya. Orang yang menderita SAD  menjadi sangat lelah dan merasa tertekan sepanjang musim atau saat cuaca ekstrem terjadi.  Biasanya pada musim hujan yang panjang atau dingin, kita mungkin jarang melihat cahaya yang cukup seperti biasanya, apalagi bagi mereka yang menghabiskan sebagain hari di ruang kelas, kantor atau bahkan di rumah.
Biasanya ketika terkena sinar matahari, tubuh kita akan menghasilkan banyak Vitamin D3, dan  karena itu tubuh kita biasanya menghasilkan lebih banyak zat yang disebut Serotonin. Serotonin adalah cairan kimia (neurotransmitter) yang dihasilkan oleh otak yang berfungsi untuk mengatur suasana hati. Oleh sebab itu, pada saat tidak memiliki cukup cahaya atau kekurangan serotonin maka dapat menyebabkan depresi. Masalah SAD sebenarnya tidak disebabkan hanya oleh masalah cuaca. Beberapa percobaan menunjukkan bahwa suasana hati masyarakat juga berubah tergantung pada bagaimana terionisasinya udara di sekitar mereka. Namun ternyata masalah udara juga berhubungan erat dengan masalah cuaca.
Ionisasi yang terjadi pada udara sebelum atau selama badai mempengaruhi perilaku seseorang. Salah satu percobaan yang dilakukan oleh Charry JM. Hawkinshire dalam jurnalnya yang berujudul “Effects of atmospheric electricity on some substrates of disordered social” dan juga oleh Baron RA. Russell GW. Arms RL. Dalam jurnalnya yang berjudul “Negative ions and behavior: impact on mood, memory, and aggression among type A and type B persons“, menyebutkan bahwa kebanyakan orang menjadi  lebih kesal bila terkena ion positif di atmosfer. Di Amerika Serikat, jika kita ingin membandingkan catatan polisi dengan catatan cuaca itu dapat ditunjukkan bahwa kecelakaan mobil, kejahatan dan bunuh diri sering terjadi dalam jenis cuaca tertentu yang biasanya berubah secara ekstrem.
Awalnya para ahli tidak mengetahui dengan pasti apa yang menyebabkan timbulnya Seasonal Affective Disorder ini. Namun setelah dilakukan penelitian lebih lanjut, para ahli menemukan bahwa SAD disebabkan oleh kurangnya cahaya matahari. Kurangnya cahaya dapat mempengaruhi suasana hati. Cahaya adalah stimulus untuk kita melihat. Sel-sel saraf di retina (nervus opticus) mengirim pesan ke area otak untuk membentuk proses visual. Jalan yang dilalui oleh sel saraf ini salah satunya melalui suprachiasmatic nucleus, yaitu bagian dari hipotalamus yang banyak membantu dalam mengatur proses fisiologis (seperti tidur, suhu tubuh) yang disebut sebagai jam biologis/circadian ryhthm.
Sesuai dengan teori di atas, orang yang menderita SAD mempunyai jam biologis yang tidak terkendali (tidak terkontrol) yang disebabkan karena terganggunya suprachiasmatic nucleus. Suprachiasmatic nucleus yang terganggu mengakibatkan otak mensekresikan melatonin yang berlebihan. Hormon melatonin yang berlebihan menyebabkan jam tidur dan jam bangun anda terganggu. Seperti tidur menjadi terlalu lama, sulit bangun di pagi hari atau sebaliknya menjadi tidak bisa tidur. Teori lainnya mengatakan bahwa kurangnya cahaya matahari akan mengganggu proses otak dalam menghasilkan serotonin dan dopamin, yaitu cairan kimiawi otak yang berperan dalam mengatur suasana hati, sehingga suasana hati menjadi berubah-ubah tidak menentu.

Gejala (symptom) SAD

          Musim dingin versi SAD sering dibandingkan dengan hibernasi. Menurut Psikiater Dr Jyoti Sangle gejalanya meliputi:
ü Depresi
Seperti merasa bersalah, kehilangan Self-Esteem, putus asa, kecewa, dan apati.
ü Cemas
Seperti tegang dan tidak mampu toleransi terhadap stres.
ü Berubah-ubahnya suasana hati
Seperti merasa sedih atau menjadi diam yang tidak seperti biasanya.
ü Masalah tidur
Seperti tidur terlalu lama, sulit untuk bangun (terutama untuk bangun pagi hari).
ü Lethargy
Seperti merasa tidak bertenaga seperti kekurangan energi, dan kehilangan minat (ketertarikan) pada aktivitas rutin sehari-hari.
ü Nafsu makan meningkat  
Yaitu keinginan untuk memakan makanan yang berkabrohidrat (seperti roti, pasta) yang hasilnya berat badan akan naik.
ü Masalah Sosial
Seperti mudah kesal, memiliki keinginan untuk menghindari kontak sosial, mengasingkan diri atau menjauhkan diri dari lingkungan sosial.
ü Masalah Sex
Seperti kehilangan hasrat sexual dan menurunnya ketertarikan pada kontak fisik.
ü Sulit untuk berkonsentrasi

Treatment untuk SAD
     
          Seasonal Affective Disorder dapat disembuhkan dengan 2 macam treatment yaitu dengan terapi cahaya (phototherapy) dan dengan obat antidepresan. Treatment ini dapat dilakukan dua-duanya ataupun salah satunya saja.

Terapi Cahaya (Phototherapy)

Studi mengenai terapi cahaya untuk SAD sudah ada dari tahun 1980. Terapi cahaya dibagi menjadi 2, yaitu Bright Light dan Dawn Simulation. Pada Bright Light, anda harus duduk di depan kotak cahaya selama setengah jam atau lebih, yang biasanya dilakukan di pagi hari. Alat yang digunakan adalah kotak lampu neon putih yang menggunakan reflektor logam dan perisai dengan layar plastik. Sedangkan Dawn Simulation adalah treatmen berupa lampu redup yang diberikan ketika tidur dimana lampu tersebut akan menjadi terang dan lebih terang seiring dengan berjalannya waktu (seperti matahari terbit). Terapi cahaya akan lebih efektif jika dilakukan di pagi hari daripada di siang hari. Penderita SAD rata-rata membutuhkan 30 sampai 45 menit pencahayaan dengan sumber cahaya 10.000 lux. Lux adalah satuan ukuran intensitas cahaya, sedangkan 10.000 menunjukan intensitas cahaya yang diperlukan. Terapi cahaya telah di tes untuk berbagai macam kondisi seperti bulimia nervosa (yang biasanya tumpang tindih dengan SAD), postpartum depression dan penyakit parkinson. Terapi cahaya memakan banyak waktu dan sikap disiplin.
          Terapi cahaya 85% lebih efektif dibandingkan dengan obat antidepresan. Terapi cahya akan menghambat otak untuk mensekresikan (menghasilkan) melatonin. Melatonin adalah hormon yang berfungsi untuk menjaga tubuh agar tetap bangun, sehingga jika hormon ini berlebihan di dalam tubuh akan menyebabkan kita sulit tidur. Kebanyakan orang yang SAD merasa lebih baik setelah melakukan terapi cahaya, hal ini dikarenakan terapi cahaya menggantikan cahaya matahari yang hilang dan mengatur ulang jam biologis/circadian rhythms yang mengontrol kapan harus tidur dan kapan harus bangun.Terapi ini baru efektif jika dilakukan setiap hari sampai terjadi pergantian musim, jika tidak maka depresi tersebut akan kembali lagi. Untuk gejala SAD yang ringan, terapi cahaya cukup digantikan dengan menghabiskan waktu di luar rumah atau menata rumah atau ruang kerja sehingga dapat menerima banyak cahaya matahari dengan lebih berguna. Terdapat studi yang menemukan bahwa berjalan-jalan di bawah cahaya matahari pada musim salju lebih efektif dibandingkan dengan menerima cahaya buatan.

Obat Antidepresan

Treatment dengan obat antidepresan mungkin lebih nyaman digunakan. Obat-obat ini dapat menyeimbangkan zat kimiawi di otak yang mempengaruhi suasana hati. Obat antidepresan yang bisa digunakan untuk menyembuhkan SAD yaitu:
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
·         Citalopram (Celexa)
·         Fluoxetine (such as Prozac)
·         Sertraline (Zoloft) 
     
Obat antidepressan lainnya
·         Bupropion (Wellbutrin, Wellbutrin XL, or Zyban)
·         Desipramine (Norpramin)
·         Venlafaxine (Effexor)

SSRIs biasanya adalah obat tipe 1 untuk menyembuhkan SAD. SSRIs juga mempunyai efek samping yang serius tetapi mudah di toleransi. Anda akan merasa lebih baik jika memakai obat tersebut untuk 1 sampai 3 minggu, dan untuk pemakaian 6 sampai 8 minggu maka anda akan merasakan perubahan. Semua obat antidepresan dimulai dengan dosis yang rendah dan akan meningkat secara berangsur-angsur. Efek samping obat antidepresan secara umum yaitu mual, kehilangan nafsu makan, mulut kering, diare, sulit tidur, kehilangan hasrat seksual dan sakit kepala.

Apa yang bisa kita lakukan untuk penderita SAD?

      Terdapat beberapa sugesti untuk membantu seseorang yang terkena SAD, diantaranya yaitu:
Pertama, habiskan waktu dengan orang yang anda cintai walaupun orang tersebut mungkin menarik diri dalam lingkungan atau menjadi lebih diam.
Kedua, ingatkan orang tersebut bahwa dia akan merasa lebih baik setelah di treatmen.
Ketiga, tawarkan bantuan untuk mengerjakan tugas sehari-hari yang mungkin sulit jika dilakukan sendiri.
Keempat, jalan-jalan bersama atau berolahraga bersama di pagi hari.
    
Kesimpulan artikel diatas adalah bahwa kita harus banyak bersyukur dengan kesehatan yang telah diberikan oleh Allah SWT. Jika setelah membaca artikel ini anda merasa belum memiliki mental yang sehat, maka jangan khawatir. Terdapat beberapa cara untuk menjaga agar mental tetap sehat, yaitu dengan berolahraga secara teratur, berfikir secara seimbang (menyeimbangkan pikiran dengan melihat berbagai sudut pandang dalam menghadapi masalah, jangan hanya melihat sisi negative saja), relaksasi (belajar menenangkan diri dengan meditasi salah satunya ketika pikiran kita sedang didominasi dengan masalah, sehingga kita dapat tetap tenang dan fokus dengan apa yang sedang kita kerjakan), dan berekspresi (emosi yang terpendan akan menjadi penyakit bagi mental kita untuk itu kita perlu mengeluarkan emosi/ mengekspresikan emosi seperti dengan bermain musik, menulis suatu cerita, dll sehingga kesehatan mental tetap terjaga). Mari kita jaga kesehatan mental kita mulai dari sekarang. Sesungguhnya orang yang memiliki mental yang sehat itu yang bisa berhasil dan sukses dalam mencapai cita-citanya.

Daftar Pustaka

Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002, hal. 14.
Baihaqi, MIF. (2008). Psikologi Pertumbuhan, Kepribadian Sehat Untuk Mengembangkan Optimisme. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hlm. 4-6.
Brennan, James F. 2006. Sejarah dan Sistem Psikologi. Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada Sarlito W. Sarwono. 2002. Berkenalan dengan ALiran-Aliran dan Tokoh-tokoh Psikologi. Jakarta : PT Bulan Bintang
http://www.health.harvard.edu/fhg/updates/Seasonal-affective-disorder.shtml
http://kosmo.vivanews.com/news/read/206089-ingin-bahagia--ini-caranya